Ads

Saturday, January 12, 2019

Pendekar Buta Jilid 010

Kun Hong mengerutkan kening. Tentu saja berbahaya baginya kalau dia sampai menyerah dan menjadi tawanan orang-orang kejam ini. Besar kemungkinan dia akan dibunuh mati. Sebaliknya, kalau tidak menyerah dan mengamuk, sungguhpun dia mampu mengalahkan mereka, namun gadis puteri Tan Beng Kui itupun terancam keselamatan nyawanya.

Gadis yang menurut suaranya baru belasan tahun usianya itu benar-benar amat sayang kalau harus mati, apalagi ia puteri Tan Beng Kui, atau lebih tepat lagi, ia apalagi kemenakan Tan Beng San Taihiap! Berbeda dengan dia, seorang buta yang tidak berharga, baik jiwa maupun raganya. Mati baginya hanya berarti mempercepat persatuan kembali dengan mendiang Tan Cui Bi, kekasihnya, matahari hidupnya!

“Baiklah, aku menyerah. Kalian bebaskan gadis itu!” katanya sambil menarik napas panjang.

“Ha-ha, pengemis buta! Jangan kira kami begitu bodoh. Kau harus menyerah untuk dibelenggu kedua tanganmu!” Bhe Ham Ko tertawa mengejek.

Kun Hong tersenyum masam, menahan kemarahannya, lalu mengulurkan kedua lengan disejajarkan ke depan.

“Boleh, kalian belenggulah.”

Seorang anak buah Kiang-liong-pang yang diberi isyarat oleh ketuanya lalu melangkah maju, membawa tambang kulit kerbau yang kuat sekali.

“Jangan mau menyerah! Kau akan dibunuh oleh penjahat-penjahat jahanam ini!” tiba-tiba Bi-yan-cu berseru nyaring.

Kun Hong menggelengkan kepala.
“Lebih baik aku yang dibunuh, apa sih artinya orang seperti aku? Hayo, kalian belenggulah aku, tapi lepaskan dulu gadis itu!”

“Kau harus dibelanggu lebih dulu!”

Kata Bhe Ham Ko. Tentu saja dia tidak menghendaki si buta ini kemudian tidak memegang janjinya setelah si gadis dibebaskan.

“Hah, kalian tidak percaya kepadaku. Hemmm, sebaliknya bagaimana aku dapat percaya kepada kalian?”

“Jangan mau diperdayai!” kembali gadis itu mencela nyaring. “Kalau mereka berani menggangguku, ayah akan datang menghancurkan jiwa anjing mereka, tidak seekorpun akan diampuni!”

Kun Hong tidak membantah ketika anak buah bajak itu membelenggu kedua pergelangan tangannya dengan tali kulit yang amat kuat itu, Juga mahkota itu diambil dari buntalannya dan diserahkan orang kepada Souw Ki yang lalu tertawa bergelak.

“Lepaskan gadis liar itu,” kata Souw Ki. “Jangan sampai dunia kang-ouw mengatakan kita tidak memegang janji. Nona, katakan kepada ayahmu bahwa bukan sekali-kali kami hendak memusuhinya, akan tetapi karena kau sendiri yang memusuhi kami, terpaksa kami bertindak. Kau harus tahu bahwa aku adalah pengawal kaisar dan karena benda ini adalah milik istana, sudah menjadi kewajibanku untuk mengambilnya kembali.”

Nona itu dibebaskan. Ia meloncat berdiri akan tetapi terhuyung-huyung. Kakinya terasa kaku dan tangan kanannya tak dapat digerakkan, agaknya ada tulang yang patah. Ia pergi menjemput pedangnya yang menggeletak diatas tanah, memegangnya dengan tangan kiri, dipegangnya erat-erat sambil menggigit bibir.

Ingin ia mengamuk dan membunuh semua penjahat ini untuk merampas mahkota dan menolong si buta, akan tetapi ia tidak begitu bodoh dan tahu pula bahwa usahanya ini akan sia-sia dan hanya akan mengorbankan nyawa dengan sia-sia belaka. Andaikata belum terluka lengan kanannya tentu ia takkan menyerah mentah-mentah.

Ia berdiri seperti patung melihat betapa ujung belenggu yang masih panjang ditarik orang dan si buta itu diseret seperti orang menuntun kerbau saja. Beberapa kali Kun Hong tersandung batu dan terhuyung-huyung akan jatuh, ditertawai oleh anak buah bajak dan rampok.

Tanpa menggunakan tongkatnya untuk meraba jalan di depan kakinya, tentu saja dia tak dapat berjalan dengan baik, tidak melihat adanya batu-batu yang menghalang kedua kakinya, apalagi diseret seperti itu. Tongkat itu masih dipegangnya, akan tetapi tidak dapat digunakan karena kedua tangannya harus diangkat agak tinggi ketika diseret.

“Kenapa………. kenapa kau lakukan ini………..?” gadis itu berteriak, menahan isak.





Kun Hong mendengar ini, biarpun teriakan itu sebetulnya hanya nyaring di dalam hati gadis itu, yang keluar dari bibirnya keluhan perlahan. Dia menengok dan tersenyum, berkata,

“Nona, mengingat pamanmu, Tan Beng San taihiap, aku rela melakukan ini………..”

Sementara itu, kesibukan nampak pada para pimpinan kedua perkumpulan yang tadinya saling bermusuhan tapi sekarang telah berbaik kembali.

“Souw-ciangkun, dalam merampas kembali mahkota dari tangan bekas pembesar Tan, kamipun mempunyai jasa, jangan lupakan ini!” terdengar Lauw Teng berkata.

Tiat-jiu Souw Ki tertawa.
“Jangan khawatir, Lauw-pangcu. Aku akan membawa kembali mahkota ini ke kota raja dan didepan sri baginda kaisar pasti akan kulaporkan tentang jasa Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang. Tunggu saja, tak lama kalian semua akan memperoleh anugerah dari kaisar.”

Para anak buah bajak dan rampok bersorak gembira. Souw Ki lalu memilih sepuluh orang dari Hui-houw-pang dan sepuluh orang lagi dari Kiang-liong-pang untuk mengawalnya kekota raja. Malah Ban Kwan Tojin yang hendak berpesiar ke kota raja pun menyertai rombongan ini.

Hui-houw-pang yang merasa berterima kasih bahwa adik ipar dari bekas musuhnya ini ternyata tidak memusuhinya cepat menyediakan dua puluh dua ekor kuda yang kuat-kuat untuk rombongan itu.

Berangkatlah dua puluh dua orang itu naik kuda. Anak buah yang berkuda paling belakang memegang ujung tali belenggu tangan Kun Hong. Begitu kuda bergerak, tubuh Kun Hong tersentak ke depan dan terpaksa pemuda buta ini lari pontang-panting, meloncat-loncat agar jangan tersandung batu, dengan kedua tangan diacungkan ke depan. Dia terhuyung-huyung kedepan dan agaknya penglihatan ini amat lucu bagi kedua golongan hitam buktinya mereka tertawa bergelak-gelak dengan geli.

Bi-yan-cu menyelinap pergi diantara pepohonan, tangan kiri yang menggenggam gagang pedang diusapkan ke depan muka untuk menghapus air mata yang berderai jatuh keatas kedua pipinya.

Tiat-jiu Souw Ki memang seorang yang amat cerdik. Ketika mendengar bahwa pemuda buta ini pandai ilmu pengobatan, timbul niat hatinya untuk memaksa pemuda itu ikut ke kota raja agar dapat dipergunakan kepandaiannya itu. Tentang kepandaiannya ilmu silat yang demikian hebatnya, ah, tak usah dikhawatirkan karena betapapun pandainya seorang buta tentu mudah ditipu.

Biarpun kuda-kuda itu berlari tidak terlalu cepat, namun keadaan Kun Hong yang diseret-seret cukup sengsara. Berkali-kali dia terperosok ke dalam lubang di tanah, atau tersandung batu sehingga dia terjungkal ke depan dan terseret oleh kuda.

Baiknya pemuda ini memang memiliki ginkang yang tinggi dan tubuhnya sudah memiliki hawa murni yang membuat kulitnya kebal sehingga biarpun tampaknya dia tersiksa sedemikian hebatnya, namun sesungguhnya dia tidak sampai menderita nyeri dan tidak terluka sama sekali.

Tadi memang dia menyerahkan diri untuk menggantikan gadis itu, dan dia sengaja menurut saja diseret-seret sampai beberapa jam lamanya untuk memberi kesempatan kepada gadis itu pergi menjauhkan diri. Selain itu, juga lebih mudah baginya untuk turun gunung dengan cara “membonceng” seperti ini daripada harus mencari jalan sendiri di tempat yang asing baginya. Memang cocok sekali harapannya, dia diseret turun gunung dan hari telah menjelang senja ketika rombongan itu memasuki sebuah dusun di kaki gunung.

Bukan hal aneh pada masa itu bahwa rakyat amat takut terhadap setiap rombongan orang yang bersenjata, baik rombongan ini merupakan pasukan tentara pemerintah atau bukan. Ini terjadi akibat tekanan-tekanan dan gangguan yang selalu dilakukan oleh rombongan-rombongan macam itu untuk menyenangkan diri sendiri tiap kali mereka melewati sebuah dusun.

Merampas makanan tanpa bayar, memaksa penduduk membawakan beban, merampas kaum wanita dan sebagainya. Maka ketika pada sore hari itu rombongan Tiat-jiu Souw Ki memasuki dusun di kaki gunung ini, penduduknya sudah pada lari menyembunyikan diri, rumah-rumah sebagian besar ditutup pintunya.

Rombongan itu berhenti di tengah-tengah dusun, di depan sederetan rumah-rumah gubuk kecil terbuat daripada bambu, rumah orang-orang miskin. Juga rumah-rumah ini biarpun tidak ditutup pintunya, kelihatan sunyi tiada penghuninya. Memang perlu apa rumah-rumah ini ditutup pintunya kalau di dalamnya tiada sesuatu yang cukup berharga untuk dicuri orang?

Tiat-jiu Souw Ki yang merasa lapar dan haus, yang lelah setelah tadi mengalami pertempuran, ingin beristirahat dan bermalam di kampung ini. Melihat kesunyian tempat itu, dia mengerutkan kening dan mengomel.

“Sungguh tidak sopan penduduk dusun ini!” Ban Kwan Tojin menjawab.

“Memang sebagian besar dusun-dusun seperti ini selalu dikosongkan kalau ada rombongan orang-orang asing lewat, Ciangkun. Karena itu, kalau pemerintah yang baru sekarang ini benar-benar sudah lengkap, harus segera mengusahakan adanya penjabat-penjabat kecil di setiap dusun sehingga segala sesuatu mengenai penghuni dusun-dusun dapat diatur sebaiknya.”

Tiat-jiu melirik ke arah tosu itu dan diam-diam dia dapat menjeguk isi hati tosu ini yang seperti juga orang-orang lain ternyata mempunyai ambisi untuk menjadi orang berpangkat. Dia sedang hendak memerintahkan orang-orangnya untuk mencari tempat penginapan yang baik baginya, tentu saja bukan rumah penginapan umum karena di dusun sekecil itu mana ada losmen? Yang dia maksudkan adalah rumah terbaik, tak perduli tempat tinggal siapapun, untuk dia mengaso malam itu.

Akan tetapi tiba-tiba dari sebuah diantara rumah-rumah gubuk itu keluarlah seorang anak laki-laki kecil. Usianya paling banyak lima tahun, tubuhnya kurus kering dan setengah telanjang. Anak ini keluar setengah berlari, akan tetapi tiba-tiba terhenyak di depan pintunya ketika dia melihat begitu banyak kuda-kuda besar ditunggangi orang berkumpul di depan rumahnya. Sepasang matanya yang bening itu berseri gembira dan mulutnya segera berseru,

“Kuda bagus……. kuda bagus…….!”

“……….. A Wan………. A Wan ……..” tiba-tiba terdengar suara wanita memanggil dari dalam gubuk itu, suaranya yang terdengar gemetar ketakutan.

Akan tetapi anak kecil itu berjalan tertatih-tatih menonton kuda sampai dia tiba di bagian paling belakang rombongan itu. Sejenak dia tertegun memandang kepada Kun Hong. Pemuda buta ini berdiri dalam keadaan terbelenggu kedua tangannya, ujung tambang belenggu dipegang si penunggang kuda. Pakaian si buta itu di bagian punggung robek-robek semua, di bagian lain sudah kotor oleh debu, juga mukanya berkeringat penuh debu, membuat muka itu kotor dan hitam.

Akan tetapi orang buta ini mulutnya tersenyum karena sesungguhnya Kun Hong girang juga ketika mendapat kenyataan bahwa dia telah dapat “membonceng” rombongan itu sampai ke sebuah dusun. Kalau dia sendiri yang turun dari puncak tanpa penunjuk jalan, kiranya dia akan tersesat dan entah sampai kapan dapat bertemu dengan dusun atau orang.

“Kasihan paman buta……….. lepaskan……….. lepas………..!” Anak itu berteriak-teriak sambil mendekati Kun Hong.

“Anak baik………..!” Kun Hong berkata halus, suara anak itu menggetarkan jantungnya.

“Anak haram, minggat!” seorang diantara para pengiring Souw Ki membentak dan “tar! tar!” cambuknya menyambar ke tubuh anak itu.

Anak itu menjerit dan lari mundur sambil menangis. Dari dalam gubuk berlari keluar seorang wanita yang serta merta menubruk anaknya, lalu bersama anak itu ia berlutut.

“Ampun, Tai-ya……….. ampunkan kami………..”

Wanita itu memohon sambil mengangguk-anggukkan kepalanya sampai menyentuh tanah, wajahnya pucat dan ketika ia melirik ke arah Kun Hong, melihat orang buta ini dibelenggu dan pakaiannya rompang-ramping mukanya kotor penuh debu, ia menjadi makin ngeri dan ketakutan sampai tubuhnya menggigil!

Kun Hong tidak tahu mengapa si kejam itu menahan cambuknya, lalu terdengar orang-orang itu tertawa kecil, malah si pemegang cambuk berkata perlahan,

“Aiihh, cantik………..”

Lalu terdengar suara Tiat-jiu Souw Ki,
“Suruh dia melayaniku nanti!”






No comments:

Post a Comment