Ads

Monday, March 11, 2019

Jaka Lola Jilid 121

“Apa gunanya aku memberi tahu kalau kau akhirnya toh membunuhku? Berjanji dulu bahwa kau takkan membunuhku, baru aku mau menunjukkan tempatnya.”

Karena amat khawatir akan keadaan Siu Bi, Swan Bu segera berkata,
“Baiklah kau akan kubebaskan. Lekas tunjukkan tempatnya.”

la menotok bebas bajak itu dan menyeret tangannya diajak lari ke tempat yang ditunjukkan oleh Yauw Leng. Tibalah mereka di depan batu-batu karang di tepi laut, dimana terdapat banyak sekali gua-gua batu karang yang liar. Kadang-kadang kalau ombak laut besar, air laut sampai di mulut gua-gua ini, dan batu-batu karang di tempat ini amat runcing, tajam dan licin.

“Di sinilah tadi malam Bong Kwan membawa Siu Bi. Kau carilah sendiri kedalam gua, aku tidak berani,” kata Yauw Leng.

Cepat bagaikan kilat menyambar, tangan kanan Swan Bu menotok Yauw Leng roboh.
“Akan kubuktikan, kalau kau tidak membohong, kau kubebaskan. Akan tetapi awas kalau kau bohong!”

Dengan pedang di tangan, Swan Bu lalu meloncat memasuki gua itu dengan gerakan tangkas. la meloncat keatas batu-batu karang yang runcing, terus memasuki gua yang amat dalam itu.

“Siu Bi…..!!”

la memanggil. Tidak ada jawaban kecuali gema suaranya dari dalam gua. la meloncat ke atas batu karang sebelah dalam lagi.

“Siu Bi…..!'”

Mendadak telinganya menangkap suara yang terdengar dari jauh.
“Swan Bu…..!!”

Itulah suara Siu Bi! Tak salah lagi! Gemetar kaki Swan Bu mendengar suara ini, suara yang sukar diketahui dari mana datangnya, akan tetapi terpengaruh oleh keterangan Yauw Leng tadi, ia menduga bahwa suara itu pasti datang dari dalam gua ini. Dengan cepat dia meloncat terus, memasuki bagian yang gelap.

Tiba-tiba terdengar angin menyambar dari kanan kiri. Swan Bu terkejut, pedangnya bergerak cepat, diputar sedemikian rupa sehingga dia berhasil menangkis banyak anak panah yang beterbangan dari kanan kiri menyambarnya. Anak-anak panah itu runtuh ke bawah dan dia meloncat lagi ke depan. Sekali lagi dia menangkis sambaran senjata-senjata gelap yang terbang dari depan.

Tiba-tiba terdengar suara keras dan asap hitam tebal memenuhi tempat itu. Swan Bu terbatuk-batuk dan cepat menahan napas, maklum bahwa asap itu beracun, akan tetapi karena tempat itu gelap, ketika meloncat keatas batu karang di sebelah kanan yang kelihatah hanya hitam saja, dia tergelincir.

Pada, saat itu dia merasa pundak kanannya sakit. Sebatang senjata piauw telah menancap di pundaknya. Tak tertahan lagi Swan Bu roboh terguling, tubuhnya terbanting diatas batu-batu karang yang runcing dan tajam. Lalu sunyi senyap!

Bagaikan terbang cepatnya, Siu Bi datang berlari-lari. la tadi mendengar suara Swan Bu yang memanggilnya dan ia telah menjawab dengan menyerukan nama pemuda itu sambil berlari kearah datangnya suara. Ketika ia tiba di depan gua, dari dalam gua berlompatan empat orang bajak yang tadi bersembunyi disitu dan menghujankan anak panah kepada Swan Bu.

Siu Bi marah sekali melihat Yauw Leng menggeletak dalam keadaan tertotok, pedangnya menyambar dan putuslah leher kepala bajak itu. Empat orang bajak menjadi marah, beramai menyerbu. Namun Siu Bi memutar pedangnya dan dalam beberapa menit saja empat orang bajak itu sudah roboh tak bernyawa lagi, mandi darah!

“Swan Bu.” Siu Bi menjerit ke dalam gua.

Tiba-tiba dari dalam gua itu terdengar suara orang tertawa bergelak, menyeramkan suara ini.

“Ha-ha-ha, Manis! Kau mencari kekasihmu? Si buntung lengan? Ha, ha, ha, dia disini. Masuklah!”






Siu Bi terkejut. Itulah suara Bong Kwan yang katanya kemarin dibuntungi lengannya oleh Swan Bu. la tidak percaya dan memanggil lagi.

“Swan Bu…..!!”‘

“Ha-ha-ha, kau tidak percaya? Lihat, apakah ini?”

Dari dalam gua itu melayang sebatang pedang yang mengkilap putih, menyambar kearah Siu Bi. Dengan cekatan Siu Bi menyambar pedang itu dengan tangan kirinya. Tangannya menggigil. Itulah pedang Kim-seng-kiam, pedang kekasihnya!

“Swan Bu…..!”

“Masuklah kalau hendak menemui kekasihmu!” kembali suara Bong Kwan mengejek.

Pada saat itu, Cui Sian dan Cui Kim datang berlari-lari. Melihat Siu Bi dengan sepasang pedang berdiri di depan gua, timbul kemarahan mereka berdua. Gadis liar ini telah bersekutu dengan Yosiko dan terang bahwa Yosiko telah bersikap curang, melanggar janji dan diam-diam melakukan penyerbuan yang menewaskan banyak perajurit. Terang bahwa Siu Bi ini membantu penyerbuan Yosiko.

“Gadis jahat!”

Cui Sian melompat maju hendak menyerang. Kemudian ia mengenal pedang Kim-seng-kiam di tangan Siu Bi.

“Eh, itu pedang Kim-seng-kiam milik Swan Bu! Dimana dia? Kau apakan dia?” bentaknya.

Muka Siu Bi pucat sekali.
“Dia….. dia….. entah bagaimana keadaannya, tapi….. dia….. dia didalam gua ini, ditawan…..!”

Sambil berkata demikian. Siu Bi lalu melompat memasuki gua dengan sepasang pedang di tangan.

“Swan Bu…..!”

la berseru lagi sambil berlari dan berloncatan dari batu karang ke batu karang sebelah dalam.

Tiba-tiba terdengar ledakan keras dan asap hitam memenuhi tempat di sebelah dalam gua dimana Siu Bi berdiri. Gadis ini menjadi limbung, pandang matanya gelap dan dalam keadaan matanya gelap dan dalam keadaan setengah sadar itu, tiba-tiba ia merasa dadanya sakit sekali. la terhuyung-huyung dan terbanting roboh di samping Swan Bu yang menggeletak pingsan diantara batu-batu karang.

“Swan Bu……” Siu Bi merintih lemah, merangkak dan merangkul pemuda itu.

Cui Sian dan Cui Kim terkejut sekali. Mereka lalu meloncat masuk pula dengan pedang terhunus, bergerak hati-hati sekali. Cui Sian di depan, Cui Kim di belakangnya.

“Mundur…..!” teriak Ciui Sian sambil melompat keluar lagi ketika dia mencium bau yang memuakkan, bau asap hitam yang masih tergantung tebal di dalam gua. Terpaksa keduanya melompat keluar lagi dan berdiri bingung.

Tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu di depan gua itu sudah berdiri sepasang suami isteri yang gagah perkasa. Mereka ini bukan lain adalah Pendekar Buta sendiri bersama isterinya.

Kedatangan mereka ini sebetulnya bersama Tan Loan Ki. Seperti kita ketahui. Tan Loan Ki mencari Pendekar Buta untuk memaksa pendekar ini menjodohkan muridnya, Yo Wan dengan puterinya, Yosiko.

Mendengar permintaan yang aneh ini, Pendekar Buta yang kebetulan bertemu di jalan dengan Tan Loan Ki sepulang mereka dari Thai-san, segera ikut dengan wanita aneh itu. Perjalanan dilakukan cepat bukan main karena biarpun sudah setengah tua, Tan Loan Ki masih berwatak keras dan tidak mau kalah, maka dia seakan-akan mengajak suami-isteri dari Liong-thouw-san itu berlumba adu lari cepat!

Setiba di daerah Po-hai, melihat kekacauan dan peperangan, Tan Loan Ki merasa khawatir sekali dan cepat-cepat ia mencari puterinya sehingga ia bertemu Yo Wan didepan gua dimana puterinya tertawan. Adapun Pendekar Buta dan isterinya, mendengar keterangan dari para perajurit bahwa Swan Bu putera mereka juga berada disitu malah ikut bertempur. Atas petunjuk para prajurit inilah mereka berdua mencari dan akhirnya mereka bertemu dengan Cui Sian dan Cui Kim yang berloncatan keluar dari dalam gua yang penuh asap hitam beracun!

“Cui Sian…… apa yang terjadi? Apa kau melihat Swan Bu?” tanya Hui Kauw, isteri Pendekar Buta, tak sabar lagi.

“Saya khawatir….. Swan Bu berada di dalarn gua….. dan Siu Bi baru saja meloncat masuk untuk mencarinya, akan tetapi agaknya….. agaknya dia mengalami kecelakaan. Gua ini penuh asap hitam beracun….”

“Ahhh…..!”

Hui Kauw rnencabut pedangnya dan bergerak hendak meloncat masuk, akan tetapi cepat Kwa Kun Hong si Pendekar Buta menyambar lengan isterinya.

“Tunggu! Biar aku yang masuk!” katanya dan sebelum isterinya sempat membantah, tubuhnya sudah bertindak ke depan, dengan hati-hati dia melangkah masuk, meraba-raba dengan kedua kakinya. Segera dia mencium bau asap hitam yang beracun.

“Bahan ledak berbahaya…..” katanya perlahan, kemudian Pendekar Buta menggerak-gerakkan kedua tangannya, mendorong ke dalam gua.

Asap hitam itu yang tadinya mengambang di dalam gua, menjadi buyar, terdorong oleh angin pukulan dahsyat yang memenuhi gua. Karena dorongan ini, asap itu lalu terbang keluar gua dan sebentar saja habislah asap hitam itu. Kemudian dari dalam gua menyambar senjata-senjata rahasia piauw bagaikan hujan lebatnya. Namun, hanya dengan gerakan kedua tangannya yang mengeluarkan angin pukulan luar biasa, semua piauw itu terpental, ada pula yang membalik dan menyambar lebih cepat lagi kedalam gua. Terdengar pekik kesakitan ketika piauw-piauw beracun itu menyambar tubuh Bong Kwan sendiri yang segera terjungkal dari atas batu karang di sudut gua, tewas seketika itu juga.

Pada saat itu, matahari telah naik tinggi dan sinarnya memasuki gua. Hui Kauw, Cui Sian dan Cui Kim sudah berani memasuki gua setelah asap hitam itu buyar semua.

“Swan Bu…..!”

Hui Kauw menjerit ketika melihat puteranya yang kini sudah buntung lengannya itu menggeletak seperti mayat, dipeluki oleh Siu Bi yang tubuhnya mandi darah.

Sekali lagi Kun Hong mencegah isterinya, malah dia berjongkok dan memeriksa puteranya dengan rabaan tangannya. Hatinya lega karena luka di pundak puteranya tidak berbahaya. Swan Bu hanya pingsan karena ketika tadi terguling, kepalanya tertumbuk batu. Hanya keadaan Siu Bi yang payah. Ketika Kun Hong memeriksanya sebentar, pendekar ini mengerutkan keningnya.

“Biarkan dia sebentar…..” katanya, hatinya penuh keharuan.

Tiga batang piauw beracun yang menancap di dada Siu Bi tak mungkin dapat dicegah pengaruhnya lagi.

“Swan Bu…..” Siu Bi berbisik, tetap merangkul leher pemuda itu erat-erat.

“Swan Bu…… aku hanya punya engkau…..”

Ucapan ini gemetar dan lemah, mendatangkan rasa haru kepada mereka yang menyaksikan dan mendengar. Mata gadis itu penuh air mata, akan tetapi sinarnya sudah redup. Jari-jari tangannya dengan lemah meraba-raba muka Swan Bu yang masih pingsan.

“Swan Bu….. aku tidak punya apa-apa lagi….. hanya ingin punya engkau….. masa tidak boleh…..? Swan Bu….. kenapa diam saja…..? Kau marah kepadaku? Swan Bu….. ah, kau….. kau terluka….. kau mati? Aku pun ikut….. Swan Bu….. aku ikut!!” Gadis itu lalu berkelojotan, menjerit-jerit, “Aku ikut! Aku ikut!!”

Pelukannya mengeras, akan tetapi hanya sebentar, tubuhnya menjadi lemas dan kata-kata terakhir yang keluar dari bibirnya hanya helaan napas dan bisikan,

“Swan Bu kekasihku….. aku….. ikut…..”

Terdengar sedu-sedan dari kerongkongan Hui Kauw yang memeluk dua tubuh itu, tubuh Siu Bi yang sudah tak bernyawa lagi dan tubuh Swan Bu yang masih pingsan. Juga Cui Sian menangis terisak-isak, ingat betapa tadinya ia membenci Siu Bi. Baru kini dia sadar betapa Siu Bi patut dikasihani, seorang gadis yatim piatu yang hidup sebatangkara di dunia ini, tidak punya apa-apa, tidak punya orang yang dikasihinya, tidak punya harapan. Sekali lagi ia sadar betapa benar pendapat kekasihnya, Yo Wan. Adapun Cui Kim berdiri bengong, air matanya juga membasahi pipinya.






No comments:

Post a Comment