Ads

Sunday, March 10, 2019

Jaka Lola Jilid 113

Apa yang dikatakan Yosiko memang betul, Bun Hui dengan dibantu oleh Tan Hwat Ki dan Bu Cui Kim, memimpin orang-orangnya untuk membasmi bajak-bajak laut yang merajalela di daerah Po-hai.

Akan tetapi tidaklah mudah membasmi gerombolan penjahat itu, karena selain jumlah mereka banyak, juga mereka itu rata-rata adalah orang-orang yang pandai berkelahi dan dipimpin oleh orang-orang yang tangguh. Apalagi semenjak digempur oleh pasukan kerajaan ini, para bajak laut lalu siap-siap dan bersatu, bahkan mereka lalu mengangkat ketua Kipas Hitam menjadi pemimpin untuk melakukan perlawanan. Semua gerombolan bajak laut sudah tahu belaka akan kelihaian Hek-san-pangcu (ketua dari Kipas Hitam), Yosiko!

Ketika mendengar penuturan Tan Hwat Ki dan sumoinya tentang Yo Wan. Bun Hui merasa menyesal sekali mengapa orang gagah yang aneh itu tidak mau datang menggabungkan diri untuk bersama-sama membasmi bajak laut. Pemuda bangsawan ini ingin sekali dapat menangkap ketua Kipas Hitam yang tersohor, untuk dibawa sebagai tawanan ke kota raja sehingga dengan jasa itu dia akan dapat mengangkat nama besar ayahnya.

Akan tetapi selama beberapa pekan ini, dia hanya dapat mendengar namanya saja yaitu Hek-san-pangcu yang bernama Yosiko, akan tetapi belum pernah dia melihat orangnya. Hampir dia tidak percaya ketika dua orang muda dari Lu-liang-san itu bercerita bahwa ketua Kipas Hitam adalah seorang gadis peranakan yang cantik.

“Itulah sebabnya mengapa saudara Yo Wan melarang kami berdua menyerang Yosiko,” demikian penuturan Tan Hwat Ki. “Saudara Yo Wan adalah murid Pendekar Buta, maka dia termasuk orang dalam dan dia tidak menghendaki kalau diantara keluarga terjadi permusuhan. Memang aneh sekali, kenapa segala hal bisa terjadi secara kebetulan sekali. Siapa kira kepala bajak laut itu adalah saudara misanku sendiri.”

Bun Hui mengerutkan keningnya.
“Kalau memang begitu, mengapa tidak menginsyafkan gadis itu? Kalau dia dapat diinsyafkan dan anak buahnya tidak melakukan perlawanan, bahkan suka menyerah, bukankah tidak akan terjadi ribut-ribut lagi? Kalau memang dia itu masih cucu Raja Pedang dan suka membubarkan perkumpulan bajak laut, aku bersedia untuk mintakan ampun ke kota raja.”

Tan Hwat Ki menggelengkan kepala.
“Agaknya sukar. Dia itu, biarpun wanita, lihai bukan main dan juga berwatak liar.”

“Biarpun ada hubungan keluarga, kalau dia jahat patut dibasmi!” sambung Bu Cui Kim yang masih merasa cemburu.

Demikianlah, setiap hari masih terus Bun Hui melakukan pengejaran terhadap para bajak laut yang melakukan perlawanan secara sembunyi-sembunyi, dipimpin oleh Yosiko yang amat licin. Banyak diantara anak buah Bun Hui menjadi korban dan selama ini belum pernah dia berhasil rnendapatkan sarang bajak laut itu yang selalu berpindah-pindah.

Kedatangan Tan Cui Sian bersama Kwa Swan Bu nnenggirangkan hati semua orang. Tan Cui Sian merupakan bantuan yang hebat, karena semua maklum bahwa puteri Raja Pedang ini memiliki kepandaian yang luar biasa. Apalagi setelah Bun Hui dan Tan Hwat Ki diperkenalkan kepada si pemuda buntung yang ternyata adalah putera Pendekar Buta, mereka menjadi girang bukan main.

Mereka menjadi terharu sekali menyaksikan lengan yang buntung dari pemuda tampan ini, akan tetapi karena wajah pemuda itu kelihatan muram dan sedih, merekapun tidak berani banyak bertanya.

Lebih besar lagi kegembiraan hati Bun Hui ketika mendengar dari Cui Sian bahwa gadis perkasa ini tahu akan sarang Yosiko ketua Kipas Hitam. Malah di bawah pimpinan pendekar wanita ini mereka lalu melakukan penggerebekan, yaitu di dalam gua dimana Cui Sian melihat Yosiko bersama Yo Wan.

Semenjak saat ia melihat Yo Wan tinggal bersama Yosiko itu, hati Cui Sian serasa ditusuk-tusuk, penuh cemburu. Akan tetapi dasar seorang wanita pendekar, ia dapat menyembunyikan perasaannya ini dengan baik.

Namun mereka kecewa karena ketika mereka menggeropyok tempat itu, burungnya sudah terbang pergi dari kurungan. Yosiko tidak tampak bayangannya, dan disitu hanya tinggal terdapat bekas-bekas ditinggali orang saja.

Dan sewaktu Cui Sian bersama Swan Bu, Bun Hui, Hwat Ki, dan Cui Kim melakukan penggeropyokan disitu, ternyata perkemahan mereka yang hanya dijaga oleh pasukan dari tiga puluh orang lebih, diserbu oleh bajak laut yang jumlahnya dua kali lipat! Belasan orang penjaga tewas dan perkemahan itu dibakar!






Hal ini membuat Bun Hui makin gemas dan pusing. Dan hal ini pula yang membuat Cui Sian terpaksa menunda perjalanannya, karena ia melihat para bajak laut itu tidak boleh dipandang ringan, dan sudah sepatutnya kalau ia membantu Bun Hui.

Swan Bu juga tidak keberatan, karena sebagai seorang pendekar, diapun tidak. mungkin dapat melihat saja tanpa membantu usaha Bun Hui yang bertugas memulihkan keamanan dan membasmi bajak-bajak laut yang begitu lihai.

Setelah tinggal disitu beberapa hari lamanya, akhirnya Bun Hui dapat mendengar juga penuturan Swan Bu tentang buntung lengannya. Swan Bu segera tertarik kepada Hwat Ki dan Bun Hui yang gagah. Mereka segera menjadi sahabat-sahabat baik dan mulai beranilah mereka saling membuka rahasia hati masing-masing.

Akan tetapi betapa terkejut hati Bun Hui ketika mendengar bahwa yang membuntungi lengan Swan Bu adalah The Siu Bi, gadis yang pernah mengacau gedung ayahnya, pernah pula mengacau hatinya!

“Ah, kalau begitu betullah kekhawatiran ayah,” komentar Bun Hui. “Ayah telah melihat betapa sakit hati nona Siu Bi itu sungguh-sungguh, sehingga dahulu ayah sengaja menyuruh aku pergi menemui ayahmu untuk menyampaikan peringatan agar berhati-hati. Kiranya ekornya begini hebat…..”

Swan Bu tersenyum.
“Tidak apa, saudara Bun Hui, dan ini agaknya sudah kehendak Thian. Buktinya, dibuntunginya lenganku oleh Siu Bi, malah menjadi perantara ikatan jodoh antara dia dan aku.”

“Heee…..???”

Bun Hui kaget bukan main, juga Hwat Ki menjadi bingung. Akan tetapi Swan Bu hanya menarik napas panjang, tidak melanjutkan kata-katanya yang tadi tanpa sengaja terloncat dari bibirnya.

“Karena kalian adalah sahabat-sahabat baik dan orang sendiri, kelak tentu akan mendengar juga.”

Mereka tidak berani mendesak, hanya Bun Hui diam-diam mencatat di dalam hatinya bahwa Siu Bi bukanlah jodohnya, sungguhpun gadis itu dahulu pernah mengaduk-aduk hatinya dan pernah pula menjadi buah mimpinya setiap malam. Kiranya gadis yang hendak memusuhi Pendekar Buta dan yang sudah berhasil membuntungi lengan Swan Bu, malah akan menjadi jodoh pemuda ini. Apalagi kalau bukan gila namanya ini?

Bun Hui masih termenung, menggeleng-geleng kepala, berkali-kali bibirnya mengeluarkan bunyi “Tsk-tsk-tsk” kalau dia teringat akan Siu Bi dan Swan Bu. Sukar dipercaya memang. Apakah Siu Bi sudah gila? Ataukah Swan Bu yang tolol? Atau juga, barangkali dia yang miring otaknya?

Gadis itu dahulu bersumpah untuk memusuhi Pendekar Buta sekeluarga. Kemudian gadis itu berhasil dalam balas dendamnya, membuntungi lengan Swan Bu. Akan tetapi sekarang menurut pengakuan Swan Bu, mereka akan berjodoh, berarti mereka saling mencinta! Adakah yang lebih aneh daripada ini? Betapapun juga, diam-diam dia mengiri kepada Swan Bu. Ketika pemuda itu bercenta tentang Siu Bi, wajahnya berseri matanya bersinar-sinar. Ah, alangkah senangnya mencinta dan dicinta. Kalau dia? Masih sunyi!

“Ah, dunia memang banyak terjadi hal aneh-aneh…..!”

la menghela napas dengan kata-kata agak keras. Bun Hui sedang berada seorang diri di pinggir pantai yang sunyi, merenung dan menyepi karena hatinya kesal. Siang hari itu panas sekali dan seorang diri dia pergi ke pantai, sekalian melihat-lihat dan mengintai. Beberapa hari ini dia jengkel karena para penyelidiknya belum juga dapat mencari tempat sembunyi pimpinan bajak laut.

“Dunia memang aneh…..” Sekali lagi dia berkata dan kakinya menumbuk-numbuk pasir.

“Lebih aneh lagi pertemuan ini!” tiba-tiba terdengar suara orang dan Bun Hui kaget sekali, cepat dia menengok dengan tangan meraba gagang pedangnya.

Akan tetapi seketika tangannya lemas dan kekhawatirannya lenyap terganti kekaguman. Bukan musuh mengerikan atau bajak laut yang kejam liar yang dihadapi, melainkan seorang gadis yang cantik molek dengan pakaian sutera tipis warna putih berkembang merah, berkibar-kibar ujung pakaian dan rambut hitam halus terkena angin laut!

Dewi laut agaknya yang datang hendak menggodanya! Kalau rnemang dewi laut atau siluman, biarlah dia di-goda! Pandang mata Bun Hui lekat dan sukar dialihkan dari lesung pipit yang menghias ujung bibir.

“Bun-ciangkun (Perwira Bun), panglima muda dari Tai-goan, bukan?”

Gadis jelita itu menegur dan memperlebar senyumnya sehingga berkilatlah deretan gigi kecil-kecil putih yang membuat pandang mata Bun Hui makin silau.

Bun Hui terkejut dan heran sekali. Akan tetapi dia adalah seorang pemuda yang cerdas, dalam beberapa detik saja dia sudah dapat menduga siapa adanya nona yang cantik dan tidak pemalu ini. Maka diapun cepat-cepat menjura dan berkata,

“Dan kalau tidak salah dugaanku, kau adalah Yosiko, Hek-san-pangcu, bukan?”

Yosiko kembali tersenyum, tapi pandang matanya berkilat.
“Tak salah dugaanmu. Agaknya kau cukup cerdik untuk menduga pula apa yang harus kita lakukan setelah kita saling berjumpa di tempat ini. Sudah berpekan-pekan kau memimpin orang-orangmu untuk membasmi aku dan teman-temanku. Sekarang kita kebetulan saling bertemu disini, berdua saja. Nah, orang she Bun, cabutlah pedangmu dan mari kita selesaikan urusan antara kita.”

Aneh sekali. Timbul keraguan dan kesangsian di hati Bun Hui. Padahal, sering kali tadinya dia ingin dapat menangkap ketua bajak laut Kipas Hitam dengan tangannya sendiri, atau membunuhnya dengan pedangnya sendin. Semestinya dia akan menyambut tantangan ini dengan penuh kegembiraan.

Akan tetapi entah bagaimana, bertemu dengan Yosiko, dia terpesona dan tidak tega untuk mengangkat senjata menghadapi nona jelita ini! Apalagi ketika dia teringat akan penuturan Tan Hwat Ki bahwa gadis ini masih terhitung cucu keponakan Raja Pedang sendiri, makin tidak tegalah dia untuk memusuhinya.

“Hayo lekas siapkan senjatamu, mau tunggu apa lagi? Menanti kawan-kawanmu agar dapat mengeroyokku?”

Yosiko mengejek dan gadis ini sudah berdiri tegak dengan pedang di tangan kanan dan sabuk sutera putih di tangan kiri, sikapnya gagah menantang, juga amat cantik.

“Hek-san-pangcu, dengarlah dulu omonganku,” akhirnya Bun Hui dapat berkata setelah dia menenteramkan jantungnya yang berdebaran keras. “Memang suatu kebetulan yang tak tersangka-sangka aku dapat bertemu denganmu disini dan memang hal ini sudah kuharapkan selalu. Ketahuilah, setelah aku mendengar siapa adanya ketua Kipas Hitam yang memimpin para bajak, sudah lama sekali nafsuku untuk memerangimu lenyap. Aku mendengar bahwa engkau adalah cucu keponakan locianpwe Tan Beng San, Raja Pedang ketua Thai-san-pai. Setelah kini aku berhadapan denganmu, melihat kau seorang gadis muda yang gagah dan pantas menjadi cucu seorang pendekar sakti seperti Raja Pedang, kuharap kau suka mendengar omonganku dan marilah kita berdamai…..”

“Apa? Kau perwira kerajaan mengajak damai bajak laut? Mengajak damai setelah kau mengobrak-abrik orang-orangku, membunuhi banyak anak buahku?”

“Pangcu…… Nona, ingatlah. Kita masih orang sendiri. Aku amat menghormati keluarga Raja Pedang, dan kau adalah cucunya. Aku merasa sayang sekali melihat kau tersesat. Kembalilah kejalan benar. Kau bubarkan para bajak, menyatakan takluk dan bertobat. Percayalah, aku yang akan menanggung, aku yang akan mintakan ampun agar kau tidak akan dituntut….”

“Huh, siapa minta kasihan darimu? Eh, orang muda she Bun, mengapa kau mendadak sontak begini sayang kepadaku?”

Wajah Bun Hui menjadi merah. Gadis jelita ini selain gagah dan liar, juga lidahnya amat tajam!

“Sudah kukatakan tadi, Nona. Karena kau seorang wanita muda, karena kau masih keluarga Raja Pedang.”

“Hemmm, karena kau takut! Karena kau seorang diri, tidak dapat mengandalkan bantuan orang-orangmu, maka kau takut melawan aku! Huh, begini sajakah panglima muda dari Tai-goan?”






No comments:

Post a Comment