Ads

Saturday, March 9, 2019

Jaka Lola Jilid 106

Diam-diam Hwat Ki curiga. Hatinya sudah merasa amat tidak enak ketika malam tadi mereka dijamu sebagai tamu ketua Kipas Hitam, karena dia menduga bahwa sumoinya tertarik oleh ketua Kipas Hitam yang tampan jenaka. Apakah sumoinya menjadi kecewa melihat ketua Kipas Hitam yang disangkanya seorang pemuda tampan gagah itu seorang wanita? Ataukah….. sumoinya tertarik kepada Yo Wan, pemuda sederhana yang amat sakti itu? Akhirnya Hwat Ki tidak dapat menahan perasaannya. la berhenti di tempat yang amat indah di tepi sungai.

Amat sejuk hawa pagi itu dengan sinar matahari yang mulai mengeluarkan suara berdendang ketika alirannya bermain dengan batu-batu karang. Burung-burung pagi berkicau dan menari-nari diatas dahan-dahan pohon. Angin pagi yang semilir merontokkan daun-daun tua dan mutiara-mutiara embun yang menempel di ujung daun-daun hijau. Daun bambu dilanda angin berkeresekan halus seperti sepasang kekasih berbisikan mesra.

Pagi yang indah, akan tetapi anehnya, wajah muda-mudi dari Lu-liang-san ini muram! Melihat Hwat Ki berhenti dan berdiri bersandarkan batu karang, Cui Kim juga berhenti, berdiri termeoung memandang air sungai, sama sekali tidak mempedulikan suhengnya.

Suasana kaku dan tegang ini terasa benar oleh mereka dan Hwat Ki maklum bahwa sesuatu yang mengganjal ini kalau tidak lekas dia dongkel dan singkirkan, akan merupakan penghalang yang amat tidak menyenangkan dalam pergaulannya dengan sumoinya.

Selama bertahun-tahun, sumoinya menjadi murid ayahnya, semenjak mereka berdua baru berusia dua tiga belas tahun, mereka telah bermain-main bersama, rukun dan tak pernah bercekcok, seperti kakak beradik kandung saja. Baru sekarang ini terjadi hal yang amat aneh, yang membuat mereka murung dan. seakan-akan enggan menatap wajah masing-masing, hati penuh kemarahan dan ketidak puasan!

“Sumoi, apakah yang kau pikirkan?”

“Tidak apa-apa…..”

Hemmm, jawaban yang dipaksakan sebetulnya enggan menjawab dan kemarahan serta sakit hati yang amat besar terkandung dalam suara itu, pikir Hwat Ki. Rasa cemburunya makin membesar dan diapun membuang muka.

Sampai beberapa lama keduanya diam saja. Hwat Ki berdiri dengan kaki kanan diatas batu karang, bersandar pada batu karang yang agak tinggi, membelakangi sungai. Sebaliknya, Cui Kim berdiri menghadapi sungai, mukanya lurus memandang kearah sungai, mulutnya yang biasanya manis itu cemberut. Karena keduanya berdiam diri, makin teganglah suasana.

“Sumpah, sungguh tak enak keadaan begini!” Akhirnya berkatalah Hwat Ki dengan suara marah pula. “Semenjak pertemuan kita dehgan ketua Kipas Hitam malam tadi, kau sudah berubah, kemudian setelah meninggalkan gua, kau benar-benar berbeda sekali…..”

Dengan gerakan serentak Cui Kim membalikkan tubuh memandang, matanya bersinar penuh kemarahan dan suaranya keras kaku,

“Suheng, apa perlunya memutar-balikkan kenyataan? Siapakah yang berubah? Kau ataukah aku?”

Hwat Ki membelalakkan matanya.
“Eh-eh, bagaimana ini? Kau bilang aku yang berubah? Sumoi, kau mencari-cari Aku berubah bagaimana?”

“Masa berpura-pura tanya lagi!”

Kembali Cui Kim membuang muka, memutar tubuh membelakangi suhengnya. Benar-benar aneh sekali ini, pikir Hwat Ki. Belum pernah sumoinya ini bersikap seperti ini terhadapnya.

“Sumoi, bilanglah, apa kesalahanku sehingga kau marah-marah macam ini?”






“Hemmm, setelah melihat bahwa ketua Kipas Hitam ternyata seorang gadis secantik bidadari, gadis jelita yang malam tadi menyatakan terang-terangan hendak menjodohkan kau dengan dirinya sendiri, kau….. kau….. melepaskan dia begitu saja!”

“Eh-eh…… aku hanya mentaati permintaan saudara Yo Wan…..”

“Alasan kosong. Biarpun dewa yang minta ia dilepaskan, mengingat dialah ketua Kipas Hitam, seharusnya kita membunuhnya atau setidaknya menangkapnya. Tapi kau….. dengan mudah kau melepaskannya, karena kau….. karena kau cinta padanya…..” Kini suara ini mengandung isak.

Hening sejenak, Hwat Ki mengerutkan kening, kepalanya dimiringkan, memutar otak. Kemudian mendadak dia tertawa bergerak.

“Ha-ha-ha-ha-ha!”

“Apanya yang lucu!” Cui Kim yang tadinya kaget menengok, bertanya.

Hwat Ki masih tertawa terus, kemudian katanya,
“Terang kau cemburu kepada Yosiko! Ha-ha-ha dan malam tadi aku cemburu pula kepada Yosiko karena kau agaknya tertarik sekali kepadanya! Ha-ha-ha, kumaksudkan tentu saja aku cemburu kepada Yosiko laki-laki dan kau cemburu kepada Yosiko wanita! Ha-ha-ha, kita cemburu kepada satu orang, malam tadi aku mengira kau tergila-gila kepada Yosiko, sekarang kaulah yang menyangka aku tergila-gila kepada Yosiko pula. Bukankah lucu sekali ini?”

Seketika wajah Cui Kimpun menjadi merah dan jantungnya berdebar. Bagaimanapun juga ucapan ini mengenai perasaannya karena ia tak dapat menyangkal hatinya sendiri bahwa malam tadi memang ia tertarik oleh gerak-gerik Yosiko yang disangkanya pemuda yang amat tampan dan gagah! Akan tetapi sebagai seorang gadis, tentu saja ia tidak sudi mengakui hal ini, maka dengan tersipu-sipu ia berkata,

“Cih! Siapa tergila-gila pada seorang bajak? Suheng, jangan kau hendak menutupi kesalahan sendiri dengan fitnah pada orang lain!”

Namun Hwat Ki yang sudah mengenal sumoinya semenjak kecil, dengan lega mendapat kenyataan bahwa adik seperguruannya ini tidak marah lagi seperti tadi. la melangkah maju mendekati Cui Kim dan menegur.

“Sumoi, sungguh mati, aku berani bersumpah bahwa aku melepaskan Yosiko hanya karena melihat muka saudara Yo Wan, dan mungkin juga terdorong oleh kenyataan bahwa dia adalah puteri bibi Tan Loan Ki. Kau tahu, bibi Tan Loan Ki adalah saudara misan ayah. Akan tetapi, sudahlah, hal itu tak perlu dibicarakan lagi. Yang benar-benar membuat aku heran dan tidak mengerti, Su-moi, andaikata benar-benar aku jatuh cinta kepada Yosiko, kenapa kau menjadi marah-marah? Apakah….. sebabnya? Andaikata aku mencinta dia dan dia inencintaku….. ah, ini hanya andaikata, Sumoi…..” Sambung Hwat Ki cepat-cepat karena melihat wajah sumoinya itu tiba-tiba menjadi pucat.

Sejenak mereka saling pandang. Kemudian Cui Kim berkata, suaranya gemetar,
“Suheng, sebaliknya engkau sendiri….. mengapa kau cemburukan Yosiko laki-laki? Andaikata aku benar mencinta seorang pemuda…… mengapa engkau marah-marah…..?”

Mereka saling pandang sampai lama dengan sinar mata penuh selidik. Seakan-akan baru kini mata mereka terbuka, baru sekarang mereka melihat kenyataan bahwa masing-masing merasa tidak rela kalau yang mencinta orang lain!

“Sumoi….. kau tidak senang melihat aku mencinta gadis lain…..?” Suara Hwat Ki juga gemetar kini. Cui Kim menggeleng kepala keras-keras.

“Akupun tidak senang melihat kau mencinta pemuda lain! Sumoi…… kalau begitu…… kau mencintaku?” Cui Kim menundukkan mukanya yang merah dan mengangguk perlahan.

Hwat Ki melangkah maju dan dilain saat dia sudah merangkul sumoinya dan Cui Kim menyembunyikan muka pada dada suhengnya sambil menangis. Hwat Ki mendekap kepala dengan rambut yang harum itu, menengadah dan berkata lirih,

“Ah, alangkah bodoh kita! Seperti buta! Selama ini kusangka bahwa antara kita hanya ada kasih sayang seperti saudara. Sumoi…… kiranya sekarang aku yakin betul bahwa aku tak dapat mencinta wanita lain! Sumoi, mari kita kembali ke Lu-liang-san, biar aku yang akan beritahukan ayah ibu tentang urusan kita!”

Cui Kim merenggangkan tubuhnya dan ketika mereka saling pandang, sinar mata mereka sudah jauh berbeda. Kini diantara mereka terdapat rahasia mereka berdua, sinar mata mereka membawa seribu satu macam pesan hati yang mesra, pandang mata bergulung menjadi satu, sepaham.

“Suheng,” kata Cui Kim, suaranya penuh kesungguhan. “Akupun sejak dahulu sudah yakin bahwa aku tak dapat mencinta laki-laki lain. Tentang urusan kita, terserah kepadamu, Suheng. Kelak kalau kita sudah pulang terserah kau yang menyampaikan kepada suhu dan subo. Akan tetapi sekarang kita belum boleh pulang. Bukankah kita bertugas untuk membasmi bajak? Suhu sendiri yang mewakilkan kepada kita. Bajak laut belum terbasmi habis, malah kepalanya, ketua Kipas Hitam, masih hidup berkeliaran. Apa yang akan kita katakan kepada suhu tentang ini?”

Hwat Ki menjadi bingung diingatkan demikian.
“Habis, apa yang harus kita lakukan, Sumoi? Yo Wan itu adalah murid paman Kwa Kun Hong, dia sudah menolong nyawa kita, dan dia amat lihai. Kalau dia melarang kita menangkap atau membunuh Yosiko, bagaimana baiknya?”

“Di dalam menunaikan tugas, kita tidak boleh mundur oleh segala kesukaran. Murid Pendekar Buta mestinya seorang pendekar pula yang bertugas membasmi penjahat. Kalau Yo Wan melindungi ketua Kipas Hitam berarti dia menyeleweng daripada kebenaran. Biar dia sepuluh kali lebih lihai, sudah menjadi kewajiban kita untuk menentangnya.”

Terbangkit semangat Hwat Ki oleh kata-kata sumoinya yang tercinta itu. Kini pandangannya terhadap Cui Kim berbeda dan dia merasa bangga sekali mendengar ucapan kekasihnya itu.

“Kau betul, Sumoi. Akan tetapi Yo Wan sudah berjanji hendak memberi penjelasan. Mari kita awasi gerak-geriknya dan kita berunding dengan saudara Bun Hui agar gua itu dikurung dan jangan sampai Yosiko dapat terbang.”

“Itu benar, Suheng. Mari kita mencari saudara Bun Hui dan pasukannya.”

Sambil bergandengan tangan mesra kedua orang muda-mudi yang semenjak kecil menjadi teman baik dan berkumpul, akan tetapi yang baru sekarang menemukan cinta kasih antara mereka, meninggalkan tempat yang indah sunyi itu.

**** 106 ****





No comments:

Post a Comment