Ads

Thursday, March 7, 2019

Jaka Lola Jilid 098

“Goblok, seret dia keluar!” bentak Yosiko.

Diikuti lima orang temannya, Kamatari melangkah maju, lambat-lambat, selangkah demi selangkah, dengan gerak kaki menurutkan ilmu silatnya, kedua tangannya tergantung di kanan kiri, agak ditekuk sikunya dan jari-jari tangannya terbuka dan tertutup, sikapnya mengancam sekali! Lima orang temannya juga seperti itu gerakannya, malah dengan teratur mereka berenam membuat gerakan mengelilingi Yo Wan.

“Eh, cakar nagamu kemana? Apakah sudah kau tukar dengan cakar ayam maka kau malu mengeluarkannya?”

Yo Wan berkata sambil menghadapi Kamatari, karena diantara enam orang itu, Si Cakar Naga inilah yang paling kuat.

Merah muka dan kepala yang botak itu, kemudian tiba-tiba Kamatari mengeluarkan pekik nyaring yang agaknya keluar dari dalam perutnya, disusul dengan gerakannya seperti katak melompat dan tahu-tahu pedang samurainya telah menyambar kearah Yo Wan. Dalam detik-detik berikutnya, lima orang temannya juga sudah menerjang dengan samurai terhunus sehingga dari enam penjuru menyambarlah kilatan enam sinar samurai yang amat tajam!

“Cring-crang-cring!”

Tampak bunga api berpijar menyilaukan mata ketika enam batang samurai itu saling bentur dalam kekacauan yang membingungkan. Tadinya Kamatari dan lima orang temannya merasa yakin bahwa samurai-samurai mereka pasti akan mencincang hancur tubuh si pemuda desa yang agaknya sudah tidak dapat mengelak kemana-mana karena semua jalan keluar sudah tertutup enam buah samurai, Enam buah samurai itu menghantam ke satu titik, yaitu dimana Yo Wan berada.

Akan tetapi, ternyata tepat tiba di sasaran, pemuda itu tidak tampak bayangannya lagi dan enam buah samurai itu saling bentur. Karuan saja enam orang itu terheran-heran dan terkejut sekali, dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi, mereka merasa didorong dari belakang oleh tenaga mujijat dan….. berturut-turut terdengar suara beradunya kepala sama kepala dan bergelimpanglah enam orang itu dengan tambahan benjol sebesar telor ayam pada botak kepala masing-maising. Mereka pingsan seketika.

“Hek-san-pangcu (ketua Kipas Hitam), udang-udang busuk begini kau pergunakan untuk menakut-nakuti orang? Memalukan sekali'” kata Yo Wan, kedua tangannya bergerak dan enam orang itu terlempar keluar pintu depan satu demi satu seperti rumput-rumput kering ditiup angin saja.

Sepasang alis Yosiko terangkat naik, lalu turun dan hampir bersambung. Marahlah dia, juga heran karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa “orang desa” ini ternyata lihai juga.

“Hemmm, kau boleh juga, akan tetapi belum cukup berharga untuk bertanding denganku. Pouw-lopek, harap wakili aku beri hajaran kepada bocah dusun ini!”

Kakek tinggi kurus yang kulitnya sudah berkeriput semua, melangkah lebar. Kagetlah Yo Wan karena sekali melangkah saja kakek itu sudah berada di depannya! Mana mungkin begini? Kalau kakek itu melompat, dia tidak merasa heran, bahkan hal itu biasa saja.

Akan tetapi kakek itu sama sekali bukan melompat, melainkan melangkah. Betapapun panjang kakinya, tak mungkin dapat sekali melangkah sampai di depannya, padahal jaraknya kurang lebih lipa tombak (kurang lebih sepuluh meter)! Ilmu apakah ini? Yo Wan memutar otak dan dapat menduga bahwa kakek tinggi kurus ini tentu memiliki ilmu luar biasa yang mengandalkan kedua kakinya, dan hal ini mudah diduga bahwa ilmu itu tentulah ilmu tendangan.

Apalagi yang dapat dipergunakan sepasang kaki dalam pertandingan untuk menyerang lawan kecuali menendang? Maka dia bersikap waspada dan mencurahkan sebagian besar perhatiannya kepada gerakan sepasang kaki calon lawannya.

“Orang muda” kata kakek itu, suaranya jelas menyatakan bahwa dia seorang dari daerah pesisir selatan, “kau sungguh seorang yang tak tahu diri, ta mengenal luasnya lautan tingginya langit. Siapakah kau ini yang berani lancang memasuki gedung tempat tinggal ketua Hek-san-pang dan menjual lagak disini? Dan apakah kehendakmu?”

Mendengar ucapan ini dan melihat sikap yang berwibawa, Yo Wan dapat menduga bahwa kakek ini tentu mempunyai kedudukan yang cukup tinggi dalam perkumpulan Hek-san-pang, maka diapun bersikap hormat. Setelah menjura dia menjawab,

“Namaku Yo Wan dan secara kebetulan aku menyaksikan peristiwa di rumah makan. Karena tertarik mendengar bahwa ketua kalian juga she Yo, apalagi ditambah sepak terjangnya merampas pedang, biarpun urusan itu dengan aku tidak ada sangkut-pautnya, namun memaksa aku untuk datang kesini dan menonton. Kiranya ketuanya seorang wanita yang begitu curang merobohkan dua orang muda ini dengan racun. Hal ini aku Yo Wan tak mungkin diam saja membiarkan kecurangan”.






Yosiko membentak marah,
“Bocah dusun lancang. Kau sombong sekali. Apa maksudmu dengan kata-kata bahwa Hek-san-pang dipimpin oleh seorang wanita?”

“Seorang wanita curang kataku tadi,” jawab Yo Wan sambil tersenyum kepada ketua Hek-san-pang itu. “Mata orang lain boleh kau kelabuhi, akan tetapi bagiku jelas bahwa kau seorang wanita, mengapa memakai sebutan kongcu (tuan muda) segala macam? Dan memang kau curang sekali, mengambil kemenangan menggunakan racun…..”

“Pouw-lopek, hajar dia!” bentak Yosiko, tak dapat menahan kemarahannya lagi.

Orang tua tinggi kurus itu sebetulnya adalah seorang bajak laut tunggal di pantai selatan yang bernama Pouw Beng, akhirnya dia ditarik oleh Kipas Hitam menjadi pembantu utama di samping dua orang lain yang selalu mendampingi ketua Kipas Hitam.

Ketika tadi menyaksikan gerak-gerik Yo Wan, kakek yang bermata tajam ini maklum bahwa Yo Wan adalah seorang “pemuda gunung” (istilah murid pertapa di gunung) yang tak boleh dipandang ringan, maka dia bersikap sabar dan bertanya lebih dulu. Kini mendengar kemarahan Yosiko yang mendesaknya, dia lalu memasang kuda-kuda, kedua kakinya dipentang lebar pada bagian lutut, akan tetapi mata kakinya saling bertemu.

“Orang muda she Yo, lihat serangan!” bentaknya mengguntur dan sekali meraba punggung, kakek ini sudah mencabut keluar sebatang ruyung lemas (joan-pian) yang berwarna hitam lalu menerjang dengan senjata seperti pecut ini dengan gerakan yang dahsyat.

“Wuuuttttt!” angin pukulan joan-pian ini menyambar kearah kepala ketika Yo Wan mengelak, namun dengan kelincahannya, mudah saja Yo Wan melompat lagi ke samping.

Ketika joan-pian ini seperti seekor ular hidup mengejarnya terus dengan cepat, Yo Wan diam-diam menjadi kagum dan memuji kepandaian si kakek mainkan joan-pian yang dapat terus-menerus melakukan serangan sambung-menyambung. la masih belum dapat melihat bahayanya ancaman joan-pian ini maka Yo Wan tetap saja mengelak ke sana ke mari sambil tiada hentinya memperhatikan kedua kaki lawan.

Benar saja dugaannya, gerakan joan-pian yang menyerang kalang kabut ini hanyalah usaha untuk membingungkan lawan, karena tiba-tiba kedua kaki kakek itu bergerak menyambar, susul-menyusul dengan kecepatan yang tak terduga-duga dan dengan kekuatan yang luar biasa. Yo Wan kagum. Hal ini sudah diduganya, dan memang sesungguhnya tendangan-tendangan inilah yang merupakan inti daripada penyerangan kakek kurus itu.

Seorang lawan yang kurang waspada pasti akan roboh oleh tipu muslihat ini, karena hanya tampaknya saja joan-pian yang mengancam, akan tetapi sesungguhnya bukan demikian, sehingga lawan yang terlalu mencurahkan perhatian terhadap serangan joan-pian yang bertubi-tubi, akan celaka oleh tendangan-tendangan tersembunyi ini.

Yo Wan bukan seorang pemuda sombong dan dia tidak suka memamerkan kepandaiannya. Akan tetapi keadaan sekarang memaksa dia untuk mengeluarkan kepandaiannya. Pertama, karena dia berada di sarang harimau yang berbahaya, kedua untuk menolong muda-mudi putera ketua Lu-liang-pai atau cucu Raja Pedang itu, ke tiga memang sudah menjadi tugasnya untuk membasmi bajak laut, apalagi setelah dia teringat akan ucapan penuh sindiran dari ketua Siauw-lim-pai, yaitu Thian Seng Losu. Maka melihat datangnya tendangan, dia sengaja bersikap seakan-akan dia kurang waspada dan merhberi kesempatan orang menendangnya!

Karuan saja Pouw Beng girang bukan main,
“Pergilah!” bentaknya sambil mengerahkan tenaga pada tendangannya ketika lawan muda itu sibuk mengelak daripada sambaran joan-pian.

“Dukkk!”

Bukan tubuh Yo Wan yang mencelat seperti yang telah dibayangkan si penendang dan teman-temannya, melainkan kakek itu sendiri yang terpelanting dan bergulingan, tak mampu bangkit lagi karena tulang kakinya yang menendang tadi remuk sedangkan joan-pian di tangannyapun sudah mencelat entah kemana!

Kiranya tadi ketika kakinya sudah hampir mengenai sasaran, yaitu perut Yo Wan, pemuda ini secepat kilat menggunakan tangan kirinya menotok jalan darah lalu menggencet. Karena dia mempergunakan jurus ampuh Ilmu Silat Liong-thouw-kun yang dia warisi dari kakek sakti Sin-eng-cu, seketika remuklah tulang kaki lawannya, sedangkan tangan kanan Yo Wan pada detik yang sama juga menghantam pergelangan lengan yang memegang joan-pian sehingga joan-pian itu terpental dan mencelat entah kemana.

Yosiko melongo. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa pemuda dusun itu demikian lihainya. Pouw Beng dirobohkan hanya dalam beberapa gebrakan saja! Tendangan maut itu diterima tangan kiri dan kaki Pouw Beng remuk! Mana mungkin ini? Apakah pemuda sederhana baju putih itu main sihir? Dia sendiri yang sudah mengenal kelihaian Pouw Beng, agaknya sebelum seratus jurus tak mungkin dapat mengalahkannya!

“Paman Sakisoto, majulah!” teriaknya karena dia masih merasa penasaran.

Kalau terhadap Tan Hwat Ki, dia maju sendiri karena dia sudah yakin akan kelihaian pemuda Lu-liang-pai itu. Akan tetapi pemuda dusun yang tak ternama ini, yang kelihatan begitu lemah dan sederhana, mana berharga menghadapinya?

Para pelayan mengangkat pergi tubuh Pouw Beng yang masih pingsan, sedangkan kakek yang botak dan pendek sekali itu sudah melangkah maju menghampiri Yo Wan. Kakek tua yang pendek botak ini adalah seorang jagoan Jepang yang terkenal dengan ilmunya Yiu-yit-su. la seorang jago gulat yang jarang menemui tandingan diantara sekalian bajak laut, dan menjadi juara di kalangan Kipas Hitam.

Kedudukannya tinggi, sejajar dengan kedudukan Pouw Beng dan dia menjadi tangan kanan Yosiko pula, terutama untuk urusan mengendalikan anak buah bajak laut Kipas Hitam. Semua anak buah bajak laut, terutama yang berasal dari Jepang, takut belaka kepada Sakisoto, demikian nama jagoan tua ini. Selain ahli dalam ilmu gulat dan ilmu tangkap Yiu-yit-su, diapun termasuk seorang jago samurai yang ampuh. Kalau dibandingkan dengan Pouw Beng sukarlah untuk menilai karena keduanya memiliki keistimewaan masing-masing.

“Bocah sombong, hayo lekas berlutut menyerahkan diri sebelum kubanting tubuhmu sampai remuk!” bentak Sakisoto, karena bagaimanapun juga dia merasa malu, kalau harus melawan seorang pemuda tak ternama, apalagi kelihatannya kurus kering dan lemah begitu, maka dia memberi peringatan lebih dulu agar bocah itu menyerah saja.

Yo Wan tentu saja sudah pernah mendengar tentang ilmu gulat dan ilmu tangkap dari Jepang, tentu semacam Ilmu Silat Sauw-kin Na-jiu-hoat, pikirnya. la maklum akan kelihaian ilmu ini yang sama sekali tidak membolehkan anggauta badan tertangkap.

Akan tetapi menyaksikan gerakan kakek ini, dia berbesar hati. Larigkah kakek ini sedikit banyak sudah membayangkan keadaan tenaga Iweekang yang dimilikinya dan dia merasa sanggup untuk menghadapinya.

“Orang tua, kau tentulah seorang ahli membanting orang. Biarlah, aku ingin merasakan bantinganmu, kalau aku kalah tak usah kau suruh menyerah, tentu saja aku sudah tak berdaya lagi. Silakan!”

la sengaja bicara dengan lambat agar kakek Jepang itu dapat mengikuti kata-katanya karena tadi ketika bicara, orang Jepang ini juga lambat-lambat dan agak sukar.

“Bocah sombong, kau cari mampus”

Sakisoto berseru, lalu kedua kakinya yang pendek itu bergerak maju, kedua lengannya menyambar dengan gerakan kuat dan Jari-jari tangan terbuka. Alangkah heran dan juga girangnya ketika dia melihat lawannya sama sekali tidak mengelak sehingga begitu dia menggerakkan kedua tangannya, Yo Wan sudah kena dicengkeram lengan kiri dan pundak kanannya!

Dengan sepasang mata sipitnya berseri-seri saking gembiranya akan hasil ini, Sakisoto mengerahkan tenaga dari perut, disalurkan kepada jari-jari tangannya dengan maksud untuk meremas hancur pergelangan lengan kiri dan pundak kanan pemuda kurang ajar itu.

Jari-jari tangannya mengeras, menggigil karena terisi getaran tenaga yang dahsyat, tenaga yang membuat jari-jari tangan itu mampu meremas hancur batu karang! Akan tetapi alangkah kagetnya ketika jari-jari tangannya meremas kulit yang lunak dan licin seperti kulit belut, lunak akan tetapi ulet seperti karet sehingga tenaga remasan jari-jari tangannya lenyap tertelan atau tenggelam, sama sekali tidak ada hasilnya seperti orang meremas kapas?






No comments:

Post a Comment