Ads

Tuesday, February 12, 2019

Pendekar Buta Jilid 121

“Kita berada dimana?” tanya Kun Hong.

Hui Kauw memandang keluar, bergidik melihat hutan yang tampak amat menyeramkan karena pohon-pohonnya bergoyang-goyang seperti mengamuk diserang angin ribut. Amat berbahaya memasuki hutan diwaktu demikian itu. Sewaktu-waktu akan ada pohon yang tumbang. Saking kerasnya angin, banyak pohon kelihatan gundul karena daun-daunnya rontok oleh tiupan angin.

“Diluar sebuah hutan lebat. Kurasa untuk sementara kita bersembunyi disini, menanti sampai hujan dan angin berhenti,” katanya sambil mengusap air dari mukanya.

“Hui Kauw…….” tiba-tiba Kun Hong memeluk mesra dan mendekap kepala gadis itu di dadanya.

Gadis itupun balas memeluk dan sampai beberapa lama mereka berdiam diri. Tiba-tiba Kun Hong mendorong tubuh Hui Kauw perlahan ke belakang sambil berkata,

“……. kau larilah. Kau masuklah hutan itu, larilah keutara dan carilah perlindungan disana. Carilah Sin Lee dan Hui Cu, atau menggabunglah pada pasukan dari utara. Kau akan selamat. Aku akan menanti mereka disini!”

“Tidak! Sekali lagi, tidak!” Hui Kauw berkata nyaring. “Aku mau pergi dan lari kalau bersama kau!”

“Jangan Hui Kauw. Percuma kita lari, pasti akan tersusul mereka. Diantara mereka banyak orang sakti. Kalau kau lari sendiri, aku dapat menghalangi mereka disini dan mencegah mereka mengejarmu. Bukan kau yang mereka kehendaki, melainkan aku. Kau harus selamat.”

“Tidak mau! Kun Hong, tidak tahukah kau bahwa mati hidup aku harus bersamamu? Lebih baik mati di sampingmu daripada hidup jauh daripadamu. Aku……. aku isterimu, bukan? Seorang isteri harus menyertai suaminya, di manapun suaminya berada.”

Kun Hong terharu, membalikkan tubuh membelakangi Hui Kauw,
“Hui Kauw, jangan hancurkan kebahagiaanku. Aku merasa bahagia sekali bahwa pada saat terakhir aku masih sempat melindungimu, membelamu. Akan sia-sia pengorbananku, kalau kau akan tewas juga. Pergilah.“

“Tidak, Kun Hong. Aku tidak mau. Kau……. kau sudah terluka! Aku tahu……. sebaiknya kau sajalah yang bersembunyi di hutan itu, biar aku yang menghadang mereka!”

Suaranya tinggi dan bernada gagah. Kun Hong makin terharu dan kembali mereka berpelukan.

Tiba-tiba Kun Hong melepaskan pelukannya.
“Trang-trang…….!”

Dua batang pedang terlempar, tongkat itu terus bergerak dan……. dua orang anggauta pasukan istana jatuh tersungkur, tak bernapas lagi. Kiranya dua orang ini telah dapat mengejar kedalam pondok dan langsung menyerang, akan tetapi hal ini hanya menyebabkan mereka mati konyol.

Karena larinya terhalang rawa-rawa dan hanya berputaran saja, maka dua orang sakti seperti Bhok Hwesio dan Ka Chong Hoatsu malah tidak dapat menemukan Kun Hong dan Hui Kauw. Dua orang ini malah lewat jauh dan mencari-cari di dalam hutan itu.

Sebaliknya, dua orang anggauta pasukan yang merasa payah dan melihat pondok itu, hendak mengaso, akan tetapi malah mereka yang dapat menemukan Kun Hong dan Hui Kauw tanpa mereka sengaja dan mengakibatkan kematian mereka.

Kun Hong siap dengan tongkatnya. Hui Kauw memungut sebatang pedang yang tadi terpental jatuh. Mereka kini memasuki pondok dan Hui Kauw mengintai keluar dari jendela yang tidak berdaun lagi. Keduanya menanti dengan tegang. Hujan muiai berhenti, angin sudah tidak mengamuk lagi dan lapat-lapat terdengarlah suara mereka yang mengejar, makin lama makin dekat.

“Ada dua orang yang menuju kesini…..” bisik Hui Kauw kepada Kun Hong, suaranya agak gemetar karena tegang, “mereka itu adalah It-to-kiam Gui Hwa dan yang seorang Bhewakala.”

Kun Hong mengangguk.
“Kau berdiam saja disini, jangan bantu kalau tidak amat perlu. Biar aku menyergap mereka di depan.”





Memang betul, It-to-kiam Gui Hwa yang mengejar berbareng dengan Bhewakala, berlari-lari menuju ke pondok itu. Bhewakala yang mengajak tokoh Kun-lun itu, mengatakan bahwa pondok itu mungkin sekali dipergunakan untuk tempat sembunyi.

“Mereka melarikan diri, mana bisa berhenti di tempat itu?” bantah Gui Hwa.

“Siapa tahu? Semua orang sudah mengejar ke hutan, tidak seorangpun ingat untuk menengok pondok itu. Biar kita menengok sebentar,” kata Bhewakala dan demikianlah, dengan ilmu lari cepat mereka, kedua orang tokoh ini menuju ke pondok.

“Awas…….!”

Bhewakala berseru sambil menuding kearah dua mayat yang menggeletak depan pondok itu.

“Ah, mereka tentu disini!” seru It-to-kiam Gui Hwa sambil mencabut pedangnya.

“Memang aku berada disini!”

Dua orang itu terkejut dan cepat menengok. Eh, tahu-tahu Kun Hong sudah berdiri di belakang mereka dengan tongkat melintang di depan dada! Sejenak Bhewakala dan It-to-kiam Gui Hwa meremang bulu tengkuknya. Bhewakala pernah merasai kelihaian Pendekar Buta itu, benar-benar amat sakti, maka kini ketika secara tiba-tiba orang yang dikejarnya itu berada di depan mereka, mereka menjadi terkejut setengah mati.

Akan tetapi, sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi, hanya sebentar saja mereka terkejut. Bhewakala sudah mengeluarkan senjatanya yang lihai, yaitu sebuah cambuk hitam yang kecil dan sekali cambuk itu digerakkan, sudah terulur panjang sampai tiga meter.

Dahulu pernah di kota raja dia kehilangan cambuknya karena hancur bertemu dengan pedang Kun Hong. Sekarang dia telah mengeluarkan cambuk simpanannya, terbuat daripada bulu binatang aneh di Pegunungan Himalaya.

“Pemberontak muda, lebih baik kau menyerah. Kau tidak akan dapat melarikan diri!” Gui Hwa mencoba untuk membujuk karena betapapun juga dia merasa jerih juga.

“It-to-kiam, hayo kita tangkap dia!”

Bhewakala yang pernah dikalahkan oleh Kun Hong, sebaliknya menjadi penasaran dan marah. Ingin dia membalas kekalahannya dengan bantuan It-to-kiam Gui Hwa. Sambil berkata demikian, cambuknya sudah dia putar-putar diatas kepala sehingga mengeluarkan bunyi mengaung-aung seperti sirene. Melihat temannya sudah mendesak maju, apa boleh buat It-to-kiam Gui Kwa juga menerjang dengan pedangnya yang mengeluarkan sinar berkilat.

Kun Hong sudah siap. Dia maklum bahwa dia menghadapi dua orang lawan yang amat kuat. Pernah dia menghadapi Bhewakala dan karenanya dia maklum bahwa orang Nepal ini benar-benar memiliki ilmu yang luar biasa. Kalau dulu itu dalam beberapa gebrakan saja dia mampu mengalahkan Bhewakala, adalah karena orang Nepal ini tadinya memandang rendah kepadanya.

Sekarang, setelah pernah dikalahkan, tentu dia akan berlaku hati-hati dan tidak begitu mudah dikalahkan. Apalagi di samping orang Nepal ini terdapat seorang ahli pedang seperti It-to-kiam Gui Hwa yang dia tahu memiliki Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang cukup tinggi.

Kun Hong harus hati-hati, maka begitu melihat mereka menerjang maju, dia segera memainkan ilmu silat ciptaannya, tongkatnya berkelebat dan bergulung-gulung sinarnya diseling pukulan-pukulan tangan kirinya yang mengeluarkan uap putih!

Baik Bhewakala maupun It-to-kiam Gui Hwa mau tidak mau amat kagum dan diam-diam memuji kehebatan ilmu silat Pendekar Buta ini karena mereka berdua sama sekali tidak mampu mendekatinya.

Jangankan sampai terbentur tongkat yang mengeluarkan sinar merah, baru terkena angin pukulannya saja mereka merasa betapa tenaga yang hebat mendorong senjata mereka ke belakang. Belum lagi pukulan tangan kiri itu yang mendatangkan hawa pukulan ganas dan mujijat membuat mereka sama sekali tidak berani menangkisnya.

Sebaliknya, Kun Hong diam-diam juga terkejut. Dia sudah terluka karena mengadu tenaga dengan Hek Lojin yang sakti, biarpun luka itu tidak membahayakan keselamatannya, akan tetapi setidaknya banyak membutuhkan pengerahan hawa sakti di tubuhnya untuk melawannya. Hal ini mengurangi kekuatannya dan kini menghadapi dua orang yang tak boleh dipandang ringan ini, tenaganya hanya dapat menandingi dengan berimbang saja.

Baiknya ilmu silatnya memang amat aneh dan tinggi sehingga dua orang itu sendiri tidak dapat menyelami intinya dan menjadi bingung oleh sambaran tongkat dan dorongan tangan kirinya. Yang paling diperhatikan oleh Kun Hong adalah cambuk panjang di tangan Bhewakala.

Cambuk itu benar-benar lihai dan sukar diduga gerakannya, bergerak laksana seekor binatang hidup yang kadang-kadang meremang panjang, kadang-kadang melingkar-lingkar. Hebatnya cambuk hitam yang sekarang dimainkan oleh Bhewakala ini amat ampuh dan kuat, beberapa kali dihantam oleh tongkat Kun Hong, hanya mental kembali tapi tidak putus.

Tiba-tiba Bhewakala mengeluarkan suara pekik rendah menggetarkan jantung, lalu berkata-kata seperti orang membaca doa dalam bahasa asing. Memang orang Nepal ini sedang bicara seorang diri dengan keras, dan sebetulnya dia memuji-muji kepandaian Kun Hong dan juga menyatakan penasarannya.

Akan tetapi gerakan cambuknya kini berubah, sama sekali tidak lagi menyerang tubuh Kun Hong, melainkan mengejar dan memapaki tongkat Pendekar Buta itu dengan cambuknya. Cambuk yang panjang itu seperti seekor ular kecil panjang segera melibat dengan kecepatan yang tak terduga oleh Kun Hong.

Pendekar Buta ini cepat menggentakkan tongkatnya dengan tenaga sakti untuk membikin senjata lawan itu terputus, akan tetapi hebat sekali, cambuk itu bukannya putus karena dapat mulur seperti karet, malah terus bergerak melibat-libat seluruh tongkat, tangan dan lengan kanan Kun Hong, masih terus melibat pundak, leher dan lengan kiri.

Dalam sekejap mata tampaknya Kun Hong telah kena terbelenggu oleh cambuk mujijat itu! Dan pada saat itu juga, It-to-kiam Gui Hwa mempergunakan kesempatan itu menubruk maju dan mengirim pukulan maut kearah ulu hati Kun Hong dengan gerakan cepat karena dia melakukan jurus Tit-ci-coan-sin (Tudingkan Jari Tusuk Hati) dari ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang paling ampuh.

“It-to-kiam, jangan bunuh dia, sayang kepandaiannya!” seru Bhewakala dengan suara keras untuk mencegah, namun dia tidak berdaya untuk menolong karena diapun sedang mengerahkan tenaga untuk melibat tubuh Kun Hong dengan cambuknya itu.

‘”sruuuuuttttt! Cringggg……. krakkk!”

Apa yang terjadi sedetik ini benar-benar hebat dan sekaligus membuktikan bahwa Si Pendekar Buta benar-benar telah memiliki kesaktian yang jarang bandingannya. Dalam keadaan yang serba sulit itu dia masih dapat menyelamatkan diri, malah kelihatan It-to-kiam Gui Hwa sudah roboh tak berkutik karena dadanya tertembus, oleh tongkat Kun Hong, sedangkan cambuk hitam yang tadi melibat-libat tubuh Kun Hong itu kini berantakan dan putus-putus!

Kiranya dengan tenaga saktinya, ketika menghadapi bahaya maut tadi, Kun Hong masih sempat menggerakkan kaki melakukan langkah ajaib sehingga dia terhindar daripada tusukan maut It-to-kiam, kemudian sekali mengerahkan tenaga terdengar suara keras dan cambuk hitam itu hancur berantakan, kemudian sinar merah berkelebat dan tahu-tahu tubuh It-to-kiam telah roboh binasa. Saking cepatnya tongkat bergerak, sampai tidak kelihatan bagaimana senjata ini tadi menembus tubuh It-to-kiam!

Bhewakala terkejut setengah mati dan bulu tengkuknya berdiri. Selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan hal seperti ini. Mana mungkin tubuh seorang manusia dapat membikin cambuk hitamnya yang terbuat daripada bulu binatang sakti di Pegunungan Himalaya itu hancur berantakan? Dia cepat menubruk dan mengirim pukulan dengan pengerahan tenaga dalamnya yang amat kuat.

Akan tetapi kali ini Kun Hong sudah siap, tubuhnya tiba-tiba bergerak miring, pukulan itu luput dan tahu-tahu Bhewakala roboh karena kaki Kun Hong sudah menyerampangnya dan menyentuh jalan darah dekat lutut. Bhewakala makin kaget dan maklum bahwa sekali tongkat yang ampuh itu bergerak, nyawanya tidak akan tertolong lagi. Akan tetapi aneh, tongkat itu tidak bergerak, malah Kun Hong hanya berdiri tegak sambil berkata,

“Bhewakala, tadi kau menyayangkan nyawaku, akupun tidak tega membunuhmu. Memang diantara kita tidak ada permusuhan. Pergilah, atau……. biarkanlah aku pergi dengan aman.”

Bhewakala bangkit, memandang dengan matanya yang agak kebiruan itu, kemudian mengangguk-angguk.

“Kau hebat. Tidak perlu lagi aku disini, aku harus pulang dan belajar sepuluh tahun lagi.” Setelah berkata demikian, dengan langkah panjang dia lari pergi dari tempat itu.






No comments:

Post a Comment