Ads

Monday, February 11, 2019

Pendekar Buta Jilid 120

“Jahanam, kau berani melukai suhu?”

Terdengar The Sun berseru keras dan tubuhnya melesat ke depan. Kiranya The Sun yang biasanya cerdik itu kini tidak dapat menahan kemarahannya dan tadi dia telah mendapatkan sebuah pedang lain. Biarpun tulang pundak kanannya patah, namun dengan tangan kiri dia sekarang menerjang maju, tapi curangnya, bukan Kun Hong yang dia serang, melainkan Hui Kauw! Hebat bukan main penyerangan ini, karena didorong nafsu membunuh.

Hui Kauw cepat menangkis dengan pedang hitamnya, namun tangannya tergetar oleh benturan pedang itu dan sebelum ia sempat membalas, kembali pedang di tangan The Sun sudah menyambar.

Memang menghadapi The Sun, gadis ini masih kalah setingkat, apalagi ia baru saja mengalami getaran batin yang membuat seluruh anggauta tubuhnya lemah. Beberapa kali ia berhasil menangkis, namun pada jurus selanjutnya, ketika ia menangkis sebuah bacokan, pedang The Sun menyelinap dan hendak memasuki bawah lengannya.

Hui Kauw membalikkan pedang ke bawah, namun terlambat dan ujung pedang The Sun berhasil menggurat lengan. Hampir saja ia mengalami cidera kalau saja guratan itu mengenai urat nadinya. Untung bahwa guratan itu memanjang, hanya merobek kulit melukai daging. Namun cukup untuk membuat lengannya lemah sehingga sebuah benturan pedang lawan lagi cukup membuat pedang hitamnya terlepas.

“Pergi…….!” terdengar Kun Hong berseru dan……. tubuh The Sun terlempar kearah gurunya.

Kiranya tadi Kun Hong yang maju dan mengirim tendangan kilat yang tak tertahankan oleh The Sun.

Agaknya baru sekarang Hek Lojin sadar bahwa lengan kirinya benar-benar telah buntung. Dia memekik tinggi, memungut lengan yang buntung, melengking-lengking dan melihat tubuh muridnya melayang, dia cepat menangkap dengan sambaran tangan kanan, lalu dia berlari secepat terbang pergi dari situ tanpa memperdulikan tongkat hitamnya lagi.

Dari jauh terdengar suara pekiknya, entah tertawa entah menangis, amat menyeramkan. Memang Hek Lojin orangnya licik. Terbukti ketika dia melawan Song-bun-kwi karena mengira bahwa Song-bun-kwi memiliki kepandaian yang melebihi dirinya, dia mengundurkan diri mencari selamat. Kinipun, melihat lengan kirinya buntung dan muridnya terluka, tahulah dia bahwa keadaannya tidak menguntungkan.

Andaikata Kun Hong berhasil dikalahkan, tentu bukanlah oleh dia atau muridnya dan hal ini hanya akan merendahkan namanya belaka. Oleh karena itu, jalan satu-satunya yang dia anggap paling baik adalah……. kabur!

Gegerlah di tempat itu setelah Hek Lojin membawa The Sun kabur. Terutama fihak jagoan-jagoan dari istana menjadi marah bukan main kepada Kun Hong dan serentak mereka maju, juga Ka Chong Hoatsu, Ang-hwa Sam-ci-moi dan Souw Bu Lai sudah mencabut senjata masing-masing.

Hanya Bhok Hwesio dari fihak istana yang masih tenang berdiri di tempatnya. Hwesio ini sebagai tokoh dari Siauw-lim sama sekali tidak sudi kalau harus mengeroyok seorang lawan yang masih muda dan buta lagi.

Sementara itu Kun Hong maklum bahwa lawan yang banyak sudah mulai bergerak hendak mengeroyoknya. Dia sendiri masih belum terbebas daripada pengaruh benturan tenaga dengan Hek Lojin yang sakti, masih terasa sakit pada pangkal lengannya.

Dia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, akan tetapi bagaimana ia akan dapat melindungi Hui Kauw kalau dia dikeroyok oleh banyak orang pandai? Kalau Hui Kauw sampai terjatuh ke tangan mereka, apa artinya semua perlawanannya? Tiba-tiba sebuah akal berkelebat dalam benaknya dan secepat itu pula tubuhnya melompat ke belakang Hui Kauw. Sambil menempelkan tangan kepada tengkuk gadis itu dia berbisik,

“Hui Kauw, kau jadilah mataku…….. kau pergunakan matamu memandang mereka, antara kedua mata mereka, pandang tajam dan pergunakan tenaga yang kusalurkan kepadamu, dengar kata-kataku dan perkuat kata-kata itu dalam hati dan pikiranmu……. tak usah bingung, kau menurut saja, barangkali ini akan menolong kita…….”

Hui Kauw tadinya bingung dan semua bulu di tubuhnya berdiri ketika ia merasa telapak tangan yang hangat dari Kun Hong menempel di tengkuknya dan mengirim getaran-getaran kuat ke dalam tubuhnya. Makin lama gelombang hawa yang menggetar-getar itu makin kuat, begitu kuatnya sehingga tak terasa tergetar lagi seakan-akan sudah terbuka jalan saluran hawa sakti itu dari tubuh Kun Hong ke dalam tubuhnya.

Ia merasa betapa dadanya seakan-akan penuh hawa yang panas dan bergerak-gerak lalu teringat akan pesan Kun Hong tadi, maka ia segera pusatkan perhatiannya untuk mengerahkan tenaga sakti ini melalui matanya yang memandang tajam ke depan.





Sementara itu, para jagoan istana dan Ching-coa-to berhenti bergerak karena heran dan sangsi menyaksikan tingkah laku Kun Hong yang kini merangkul Hui Kauw sambil menempelkan tangan di tengkuk gadis itu. Apa kehendak si buta itu? Mereka ragu-ragu dan curiga.

“Dengarlah kata-kataku!” Kun Hong mulai bicara, suaranya tenang, dalam, lambat-lambat dan amat berpengaruh. “Kalian adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang bernama besar. Tentu kalian tidak sudi dan malu untuk bertempur dengan mengeroyok, hal ini akan merendahkan nama kalian, dan akan menghancurkan nama besar yang bertahun-tahun kalian pupuk dengan perbuatan-perbuatan gagah berani. Aku Kwa Kun Hong tidak bermaksud memusuhi kalian, hanya hendak menolong nona Hui Kauw pergi dari sini. Sebagai orang-orang kang-ouw yang gagah, kalian seharusnya membiarkan kami berdua pergi dengan aman,”

Ketika Kun Hong bicara itu, Hui Kauw mentaati perintah Kun Hong tadi, sambil menyalurkan hawa yang memenuhi dada melalui mata, ia pergunakan sepasang matanya memandang para lawan itu seorang demi seorang, menatap tajam diantara kedua mata mereka. Dan karena Kun Hong sengaja menyembunyikan mukanya di belakang kepala Hui Kauw, mau tidak mau mereka itu terpaksa bertemu pandang dengan Hui Kauw.

Akibatnya aneh! Mereka itu saling pandang, tersenyum malu-malu dan seperti berlomba mereka lalu melangkah mundur seperti hendak memberi jalan kepada Kun Hong dan Hui Kauw untuk pergi dengan aman!

Sebetulnya hal ini sama sekali tidak aneh. Karena matanya sudah buta, tentu saja Kun Hong tidak dapat lagi menggunakan ilmu sihir yang dahulu dia pelajari dari Sin-eng-cu Lui Bok. Akan tetapi karena dia masih memiliki ilmu itu, tenaga batinnya masih amat kuat, bahkan lebih kuat daripada dahulu, biarpun dengan cara “meminjam” mata Hui Kauw pengaruh sihirnya menjadi lemah karena gadis itu tidak dapat dengan tepat mempergunakannya, namun ternyata masih ada hasilnya juga.

Hal ini adalah karena apa yang dia ucapkan adalah hal yang menyinggung kehormatan dan perasaan orang-orang gagah disitu. Tanpa menggunakan tenaga batin sekalipun, ucapan itu akan membuat mereka bermerah muka, apalagi sekarang disertai tenaga batin yang kuat, maka otomatis, diluar kesadaran mereka sendiri, mereka itu serta merta memenuhi permintaan Kun Hong itu tanpa dipikir lagi!

Kun Hong tidak membuang kesempatan ini. Dia segera menarik tangan Hui Kauw pergi dari situ.

“Mari kita pergi……” bisiknya perlahan.

Akan tetapi, diantara orang-orang yang mengurungnya, ada dua orang yang tidak ikut melangkah mundur. Mereka ini adalah Lui-kong Thian Te Cu dan Bhewakala si tokoh Nepal. Yang pertama karena sakit hatinya melihat suhengnya, Hek Lojin kalah sehingga kata-kata itu tidak mempengaruhi hatinya, adapun yang kedua, Bhewakala, adalah seorang tokoh barat yang sudah kenyang akan ilmu-ilmu sihir. Maka begitu merasakan getaran aneh keluar dari ucapan Kun Hong disertai pandang mata Hui Kauw yang tajam mengikat semangat dan kemauan, dia terkejut dan cepat dia membaca mentera sambil mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak pengaruh yang keluar dari pandang mata Hui Kauw dan suara Kun Hong itu. Dua orang inilah yang mengejar ketika Kun Hong lari sambil menarik tangan Hui Kauw.

Akan tetapi agaknya Thian melindungi Kun Hong yang terancam bahaya. Mendadak langit yang sudah sejak tadi gelap oleh mendung tebal, kini menyiram permukaan bumi dengan air hujan disertai kilat dan angin ribut.

Mempergunakan kesempatan ini, Kun Hong dan Hui Kauw mempercepat larinya, sedangkan Thian Te Cu dan Bhewakala yang maklum akan kelihaian Kun Hong, menjadi ragu-ragu untuk mengejar terus karena yang lain-lain tidak turut mengejar.

“Eh, cu-wi sekalian ini bagaimanakah? Kenapa tidak mengejar pemberontak itu?” Lui-kong Thian Te Cu bertanya dengan nada penasaran.

Setelah Kun Hong dan Hui Kauw lenyap dari pandangan mata dan hujan yang dingin menimpa kepala tubuh mereka, barulah orang-orang itu seakan-akan sadar daripada mimpi. Diam-diam. mereka merasa menyesal juga mengapa tadi mereka mendiamkan saja Kun Hong lari.

“Mereka tidak akan lari jauh,” kata Kui Ciauw, orang tertua dari Ang-hwa Sam-ci-moi, “sekeliling lembah ini kalau turun hujan amat berbahaya, banyak timbul rawa berlumpur. Juga sampai beberapa li jauhnya telah terjaga oleh anak buah kami. Kalau kita kejar sekarang masih belum terlambat.”

“Ha-ha-ha, sekian banyaknya orang menghadapi seorang bocah buta saja sudah kewalahan, bagaimana kalau menghadapi pasukan musuh yang kuat? Bhok Hwesio, bagaimana pendapatmu? Apakah kita tidak terlalu banyak menimbulkan heboh hanya untuk menangkap seorang bocah buta?”

Mendengar ucapan Ka Chong Hoatsu ini, Bhok Hwesio tertawa juga.
“Omitohud, omongan Hoatsu memang tidak keliru. Marilah kita mengejar dengan cara masing-masing dan kita berlomba, siapa yang lebih dulu membekuk bocah itu, dialah yang terhitung jago.”

“Bagus! Memang sudah lama aku mendengar nama besar Bhok Hwesio tokoh dari Siauw-lim-si. Mari!”

Ka Chong Hoatsu menggerakkan tongkat pendeta di tangannya, sambil tertawa-tawa dia berkelebat lenyap dari situ. Ketika orang-orang menengok kearah Bhok Hwesio, ternyata hwesio inipun sudah lenyap dari situ. Agaknya dua orang ini dengan hati panas hendak menguji kepandaian masing-masing dengan cara aneh, yaitu berlomba mengejar dan menangkap Kun Hong!

Melihat dua orang tokoh itu sudah pergi yang lain lalu beramai-ramai melakukan pengejaran pula, mengambil cara dan jalan masing-masing. Terjadilah perlombaan mengejar di dalam hujan ribut itu. Para anggauta pasukan dan anggauta Ngo-lian-kauw juga sibuk sendiri, ada yang berlindung dari air hujan yang turun seperti ditumpahkan dari langit, ada yang ikut-ikut mengejar pula. Keadaan menjadi ramai seperti para pemburu mengejar seekor harimau di dalam hutan.

Memang betul apa yang diucapkan oleh orang tertua dari Ang-hwa Sam-ci-moi tadi. Kun Hong dan Hui Kauw menemui kesukaran dalam usaha mereka melarikan diri. Air hujan secara mendadak mengubah tempat sekeliling lembah itu menjadi rawa-rawa yang berbahaya. Hampir saja Hui Kauw terjerumus ketika kakinya menginjak air yang dangkal itu, kiranya di bawahnya mengandung lumpur yang mempunyai daya menghisap sehingga kakinya seakan-akan tersedot ke bawah. Baiknya Kun Hong cepat menariknya ketika gadis ini menjerit.

Mereka kini berdiri di pinggir rawa, terengah-engah dan sukar bernapas karena serangan air hujan pada muka mereka. Air hujan itu turun dengan derasnya sehingga titik-titik air itu seperti batu-batu kecil menghantam muka.

“Kun Hong……. kenapa kita harus lari? Perlu apa takut…….? Bukankah kalau tewaspun kita berdua?”

“Hui Kauw, siapa ingin mati? Aku tidak takut, akan tetapi, kalau ada kesempatan menyelamatkan diri, apa perlunya mengadu nyawa? Hui Kauw, masa depan menanti untuk kita.”

Suara Kun Hong terdengar nyaring penuh harapan dan kebahagiaan, jauh bedanya dengan dahulu. Agaknya pemuda ini sekarang merasa amat berbahagia dapat hidup berdua dengan Hui Kauw. Gadis ini dapat merasa hal ini dan dengan terharu ia mencengkeram tangan Kun Hong.

“Sesukamulah……. Kun Hong, aku menurut saja…….”‘ katanya lirih. “Akan tetapi, kemana kita akan lari?”

Pada saat itu, diantara suara angin dan hujan, terdengarlah suara mereka yang mengejar.

“Wah, mereka mengejar dan sudah dekat!”

Kun Hong berkata dan sambil menarik tangan Hui Kauw untuk lari lagi. Hui Kauw menjadi penunjuk jalan, akan tetapi ia setengah diangkat oleh Kun Hong yang mempergunakan ilmu lari cepat.

Lebih lima li mereka lari meninggalkan tempat pertempuran tadi. Akan tetapi karena tidak mengenal jalan dan selalu terhalang oleh rawa, mereka hanya berputaran saja disekitar lembah tanpa mereka sadari. Mendadak Hui Kauw berkata,

“Kun Hong, disana ada sebuah pondok kecil menyendiri. Mari kita berlindung kesana.”

Suara Hui Kauw hampir tidak dapat terdengar karena terbawa angin yang makin keras bertiup dan air hujan makin deras menyiram tubuh mereka.

Dengan susah payah akhirnya sampai juga mereka di pondok kecil yang sudah tua dan berdiri miring di luar hutan lebat. Mereka cepat memasuki pondok yang ternyata kosong. Agak lega hati mereka karena tidak diserang hujan dan angin.






No comments:

Post a Comment