Ads

Monday, February 11, 2019

Pendekar Buta Jilid 116

Pada hari yang ditentukan, pagi-pagi sekali rombongan dari kota raja sudah memasuki lembah Sungai Huai. Lima puluh orang perajurit pilihan termasuk pasukan pengawal kerajaan, berbaris memanjang dipimpin oleh dua orang pengawal istana, yaitu Ang Moko dan Bhong-lokai, mengiringkan para tokoh istana yang dikepalai oleh The Sun.

Para tokoh istana itu adalah Lui-tong Thian Te Cu yang berpakaian kuning, Bhok Hwesio dengan pakaiannya tetap sederhana dengan bagian dada setengah terbuka, Bhewakala si jagoan dari Nepal yang berkulit hitam dengan anting-antingnya yang besar bergantungan di kedua telinganya, It-to-kiam Gui Hwa yang pendiam dan bersifat galak, dan The Sun sendiri.

Di tengah rombongan berkuda ini juga naik kuda diapit oleh The Sun dan Lui-tong Thian Te Cu, kelihatan Hui Kauw si gadis muka hitam! Gadis ini menunggang kuda dengan muka tunduk. Ia menjadi seorang tawanan yang biarpun ia tidak dibelenggu dan naik kuda sendiri secara bebas, namun ia maklum bahwa di tengah orang-orang sakti ini ia sama sekali tidak berdaya. Melawan tidak ada artinya.

Ia memang tidak mengharapkan diampuni, tidak mengharapkan diberi hidup oleh mereka ini atau oleh ibu angkatnya, akan tetapi ia sama sekali tidak sudi memperlihatkan rasa takut, tidak sudi pula minta ampun, dan hatinya malah berdebar penuh kebahagiaan kalau ia ingat bahwa semua penderitaan ini ia pikul demi membantu usaha Kun Hong, suaminya. Mati baginya bukanlah apa-apa asalkan Kun Hong selamat dan tugas yang dipikulnya terlaksana.

Gadis ini ketika ditangkap dan diperiksa, dengan terus terang mengaku bahwa ia sengaja memberikan mahkota kepada Loan Ki untuk membantu tugas “suaminya”, Kwa Kun Hong, untuk menyampaikan mahkota itu kepada Raja Muda Yung Lo di utara.

Memang sesungguhnya The Sun dan kawan-kawannya tentu saja tidak membutuhkan pengawalan karena mereka terdiri dari orang-orang sakti, akan tetapi pengawalan itu dilakukan bukan sekali-kali untuk menjaga keselamatan mereka melainkan untuk menambah keangkeran mereka sebagai utusan-utusan kaisar.

Mereka semua datang berkuda dan sebetulnya malam tadi mereka sudah harus sampai di lembah Sungai Huai, akan tetapi oleh karena musim hujan sudah tiba dan malam tadi hujan turun amat lebat, mereka terpaksa menunda perjalanan dalam sebuah hutan dan baru pada pagi hari itu mereka dapat melanjutkan perjalanan ke lembah Sungai Huai.

Setelah hujan semalam, pagi hari itu hawanya amat nyaman dan sejuk, pemandangan segar menyenangkan, akan tetapi sayang, tanah yang mereka lalui becek dan berlumpur. Pakaian seragam indah barisan itu banyak yang terkena lumpur yang memercik-mercik dari kaki kuda.

Kedatangan rombongan ini disambut penuh hormat dan manis budi oleh Ching-toanio sebagai wakil rombongannya dan oleh Ang-hwa Sam-ci-moi sebagai nyonya-nyonya rumah. Juga para tokoh undangan Ching-toanio yang sudah berkumpul keluar untuk menyambut.

Tokoh berhadapan dengan tokoh, jago dengan jago sehingga pertemuan itu amat menggembirakan, dipenuhi kata-kata saling memuji dan saling merendahkan diri. Rombongan itu lalu dipersilakan masuk ke dalam bangunan yang sudah disediakan.

Adapun para anggauta pasukan diperbolehkan beristirahat. Mereka ini pun tidak melewatkan kesempatan baik dan bergembiralah mereka melihat betapa para penyambut mereka adalah wanita-wanita cantik, yaitu para anggauta Ngo-lian-kauw.

Suasana menjadi amat meriah, baik di dalam bangunan dimana para tamu terhormat disambut, maupun diluar bangunan dan di tempat-tempat sekelilingnya dimana para anggauta pasukan telah dapat mencari dan memilih pasangan masing-masing.

Karena para anggauta pasukan dari istana itu bersama para anggauta Ngo-lian-kauw bersenang-senang dalam kesempatan yang amat baik ini, maka mereka menjadi lalai dan penjagaan yang seharusnya dilakukan menjadi kurang ketat. Keadaan inilah yang menguntungkan Kun Hong dan tiga orang pengantarnya, yaitu Lauw Kin dan dua orang anggauta Hwa I Kaipang lain lagi.

Mereka ini adalah murid-murid Hwa I Kaipang yang penuh semangat, gagah dan berani. Karena mereka tahu bahwa tanpa diantar, sukarlah bagi seorang buta seperti Kun Hong untuk dapat menyelundup masuk ke dalam sarang Ngo-lian-kauw, maka tiga orang ini dengan nekat lalu menyediakan diri untuk menjadi pengantar.

Lemahnya penjagaan memudahkan mereka untuk dapat menerobos masuk dan dengan kepandaian mereka, empat orang ini dengan mudah membekuk empat orang anggauta pasukan, merampas pakaian mereka dan dilain saat Kun Hong dan tiga orang pengantarnya telah menyamar sebagai empat orang anggauta pasukan istana! Dalam pakaian ini, mereka lebih leluasa sehingga akhirnya mereka berempat dapat menyelinap kedalam bangunan, mencari tempat untuk mengintai dan mendengarkan percakapan.





Didalam ruangan yang luas itu, kedua fihak telah lengkap untuk mengelilingi meja yang diatur berjajar berbentuk bundar. Hui Kauw berdiri di tengah-tengah, seakan-akan dijadikan barang tontonan. Gadis itu sekarang tidak tunduk lagi seperti ketika naik kuda tadi. Ia berdiri tegak dengan pandang mata berapi-api menyapu para tokoh yang duduk di sekelilingnya. Dengan sikap gagah dan lantang ia berkata,

“Tidak perlu lagi banyak bicara. Kalian adalah orang-orang terkenal di dunia kang-ouw dan kalau terjatuh kedalam tangan kalian, sampai matipun aku tidak penasaran. Ibu angkatku atau penculikku membenciku, ayah sendiri membenci, ibu kandung tidak berdaya. Apalagi artinya hidup? Mau hukum boleh hukum, mau bunuh, siapa takut mati? Mau menganggap aku pengkhianat atau pemberontak, terserah, pokoknya bagiku sama saja, aku telah melakukan hal yang kuanggap membantu tugas suamiku, Kwa Kun Hong. Habislah, aku tidak mau bicara lagi dan apa yang kalian hendak lakukan atas diriku, terserah!”

Bukan main terharunya hati Kun Hong mendengar suara ini. Suara bidadari yang biasanya halus merdu penuh getaran jiwa kini lantang dan nyaring penuh wibawa sehingga keadaan di ruangan itu seketika hening. Agaknya semua orang yang berada didalam ruangan itu terpengaruh oleh sikap yang amat berani dari gadis itu.

Kun Hong sedang memutar otak, menimbang-nimbang apa yang harus dia lakukan untuk dapat menolong Hui Kauw. Dia cukup maklum bahwa keadaan amatlah berbahaya, bahwa didalam ruangan itu terdapat tokoh-tokoh sakti yang sukar dilawan dan bahwa dia seorang diri tidak mungkin dapat menghadapi pengeroyokan mereka. Akan tetapi diapun tidak dapat membiarkan Hui Kauw terancam bahaya maut, dan untuk menolong nona ini dia siap mempertaruhkan nyawanya sendiri.

Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara ketawa terkekeh-kekeh. Semua Orang didalam ruangan itu menengok dan tahu-tahu berkelebat bayangan orang yang setelah tiba disitu berubah menjadi seorang kakek berkulit hitam. Hek Lojin.

“Ha-ha-ha-heh-heh-heh, The Sun, percuma saja kau membawa puluhan orang pengawal, Mereka itu manusia-manusia tidak becus, datang kesini bukan melakukan penjagaan melainkan bermain gila dengan perempuan-perempuan tidak tahu malu, Ngo-lian-kauw, malah ada yang mengintai kesini seperti mata-mata. Benar-benar tiada guna, ha-ha-ha, heh-heh-heh!”

Sambil berkata demikian, tiba-tiba tubuhnya berkelebat mendekati tempat persembunyian Kun Hong berempat, tongkat hitamnya menyambar empat kali, terdengar suara keras tembok jebol disusul menjeritnya Lauw Kin dan dua orang saudara seperguruannya yang roboh dengan kepala pecah berhamburan!

Kun Hong tadipun terkejut karena merasa betapa ujung tongkat menembus tembok menghantam kepalanya, maka cepat dia miringkan kepala sehingga tongkat itu tidak mengenai sasaran.

“Iiihhh, kenapa yang seorang tidak roboh?” Hek Lojin berseru kaget dan heran sambil melompat mundur.

Kun Hong maklum bahwa tempat sembunyinya tidak dapat dirahasiakan lagi. Dia menyesal bukan main betapa tadi karena tidak menyangka-nyangka, dia tidak sempat menolong tiga orang anggauta Hwa I Kaipang itu sehingga mereka tewas oleh tongkat Hek Lojin yang lihai dan ganas.

Dengan cepat dia lalu merenggut lepas pakaian pengawal yang tadi dirampas dan dipakai diluar bajunya sendiri, kemudian sekali dorong dia telah mendobrak pintu dan melangkah masuk dengan sikap tenang.

Semua mata didalam ruangan itu kini ditujukan kepadanya. Beberapa orang diantara mereka yang telah merasai kelihaian Si Pendekar Buta ini berdebar hatinya karena gentar. Apalagi sikap Kun Hong yang amat tenang dengan langkah-langkah lambat itu benar-benar amat mengecutkan hati, seakan-akan membawa ancaman maut yang hebat.

“Kun Hong…….!”

Hui Kauw berseru kaget dan heran bercampur khawatir ketika ia melihat munculnya orang yang sama sekali tidak disangka-sangkanya itu. Tentu saja di tempat dan pada saat lain ia akan merasa bahagia dan gembira sekali berjumpa dengan orang yang dikasihi ini, akan tetapi saat itu dan tempat itu sama sekali tidak tepat untuk mereka saling bertemu.

“Kun Hong, kenapa kau kesini…….??”

Hui Kauw merangkul dan bertanya dengan suara penuh kegelisahan, sama sekali tidak merahasiakan perasaannya lagi. Betapa jauh bedanya sikap gadis ini tadi dengan sekarang. Tadi, biarpun ia maklum bahwa ia menghadapi bahaya maut, ia tetap tenang dan tabah, malah sikapnya menantang. Sekarang, begitu Kun Hong muncul, segera ia menjadi ketakutan, suaranya menggetar penuh kegelisahan.

Tentu saja hal ini tidak terlepas dari telinga Kun Hong yang tajam dan dia merasa tenggorokannya seperti tersumbat. Alangkah besarnya cinta kasih gadis ini terhadapnya! Dia melepaskan rangkulan Hui Kauw dan menggandeng tangan gadis itu sambil berkata lirih,

“Hui Kauw, biarlah kita mati bersama…..”

Butiran-butiran air mata bening menetes turun dari kedua mata gadis itu, akan tetapi bibirnya yang manis tersenyum, dan jari-jari tangannya saling remas dengan jari-jari tangan Kun Hong. Dalam saat menghadapi ancaman maut itu, dua orang muda ini benar-benar merasa betapa teguhnya jalinan cinta kasih murni mengikat hati masing-masing. Mereka rela berkorban, rela mati bersama.

“Kun Hong, kita melawan. Melawan mati-matian. Mari kita mati bersama, akan tetapi mati sebagai sepasang harimau, bukan sebagai sepasang kelinci……” bisik Hui Kauw.

Ucapun ini seketika menggugah semangat Kun Hong, tongkat di tangannya mulai menggigil.

“….. jangan khawatir….. aku akan melindungimu, Hui Kauw. Mereka itu tidak akan mampu mengganggu selembar rambutmu tanpa melalui mayatku.”

Hek Lojin tertawa nyaring.
“Ha-ha-ha-heh-heh-heh! Betapa romantisnya! Ha-ha-ha, pasangan yang cocok. He, orang buta, namamu Kwa Kun Hong? Ha-ha-ha, inikah yang membikin kecut hati para jagoan? Alangkah lucunya, benar-benar memalukan sekali. He, orang buta, hayo kau berlutut lagi dan mengangguk-angguk tujuh kali di depan kakiku seperti dalam hutan itu. Baru aku mau ampuni kau!”

Panas rasanya telinga Kun Hong. Dengan tangan kirinya dia menarik Hui Kauw di belakangnya untuk melindunginya, kemudian dia berdiri tegak dengan tongkat di tangan kanan, siap menghadapi kakek lihai ini.

“Hek Lojin, kau amat sombong, tidak tahu orang mengalah karena mengingat usiamu yang sudah lanjut. Kiranya kau hanya seorang kakek yang sudah pikun dan yang tidak patut dihormati oleh orang muda. Tanpa alasan tidak sudi aku berlutut dan minta ampun kepadamu atau kepada siapapun juga.”

“Hua-ha-ha-heh-heh-heh! Benar-benar tabah anak ini. Pantas bikin heboh! The Sun, apakah diantara jagoan-jagoanrnu tidak ada yang berani menangkap dia ?”

The Sun dan teman-temannya tidak menjawab, Bhok Hwesio marah sekali, akan tetapi dia tidak begitu bodoh untuk dapat diadu oleh kakek yang tidak disukainya itu, maka diapun diam saja. Akhirnya The Sun berkata,

“Suhu, lebih baik kita segera turun tangan membunuhnya sebelum dia membikin kacau pertemuan ini.”

“Wah-wah-wah, jadi tidak ada yang berani? Nah, bagaimana dengan tokoh-tokoh yang katanya hendak membantu pemerintah? tentu ada yang berani melawan bocah buta ini. Ataukah juga tidak ada yang berani?”

Pandang matanya menyapu Ching-toanio dan teman-temannya, Ka Chong Hoatsu dan Ang-hwa Sam-ci-moi maklum akan kelihaian Kun Hong, akan tetapi mereka tidak takut karena memang belum pernah mengukur tenaga secara sungguh-sungguh.

Mendengar semua itu, otak Kun Hong yang cerdik segera mendapatkan akal. Terang bahwa kakek yang bernama Hek Lojin ini biarpun sombong dan aneh, ternyata mempunyai sikap yang cukup gagah, yaitu agaknya enggan untuk mengeroyok lawan. Oleh karena itu, cepat dia berkata,

“Hek Lojin, untuk apa banyak pidato? Terang bahwa semua temanmu tidak ada yang berani maju satu lawan satu. Daripada capek mulutmu, lebih baik kalian semua maju mengeroyokku. Ha-ha-ha, tokoh-tokoh dunia kang-ouw sekarang memang hanya namanya saja yang besar, menghadapi seorang muda buta saja beraninya hanya main keroyokan!”






No comments:

Post a Comment