Ads

Thursday, February 28, 2019

Jaka Lola Jilid 068

Swan Bu terhuyung-huyung, baru beberapa puluh langkah pandang matanya gelap, dia berusaha menahan diri akan tetapi kepalanya terlalu pening dan akhirnya dia jatuh terguling dan merasa tubuhnya panas sekali, kepalanya berputaran, maka dia meramkan kedua matanya.

“Siu Bi….. ah, Siu Bi….. hemmm, apakah aku sudah gila? Kenapa Siu Bi saja yang teringat dan terbayang?” Swan Bu bangkit dan duduk, beberapa kali dia menampar kepalanya sendiri dan bibirnya berbisik-bisik, “Siu Bi….. gadis iblis itu, aku harus benci padanya….. harus!” Akan tetapi rasa panas membakar kepalanya dan dia roboh lagi, kini pingsan.

Tak jauh dari tempat itu, Siu Bi berdiri terisak-isak. Dari jauh ia melihat Swan Bu jatuh bangun ini, melihat pemuda itu terhuyung-huyung dan roboh, melihat pemuda itu menggerak-gerakkan bibir akan tetapi tidak dapat mendengar kata-katanya, melihat pemuda itu memukul kepalanya sendiri lalu terguling, tak bergerak-gerak.

“Swan Bu…..!”

Siu Bi menjerit kecil, hatinya serasa ditusuk-tusuk dan ia lalu lari menghampiri, menubruk dan berlutut di dekat tubuh yang tak bergerak, air matanya bercucuran membasahi muka Swan Bu yang kini menjadi merah sekali dan panas. Ketika tangan Siu Bi menyentuh leher pemuda itu, gadis ini terkejut dan menarik tangannya.

“Panas sekali! Ah, kau terserang demam…..”

Sebagai puteri angkat The Sun dan cucu murid Hek Lojin, dan biasa hidup di puncak gunung yang sunyi sehingga sudah biasa menghadapi penyakit, Siu Bi maklum bahwa demam panas ini adalah akibat daripada luka di lengannya. Tanpa ragu-ragu lagi Siu Bi lalu memondong tubuh Swan Bu yang pingsan itu, lalu dibawa lari dengan niat mencari tempat peristirahatan yang baik agar ia dapat merawatnya.

Entah bagaimana, setelah ia berhasil membuntungi lengan kiri putera Pendekar Buta ini, semua rasa benci lenyap dan timbullah rasa cinta kasih yang memang telah bersemi di dalam hatinya. Siu Bi malah merasa bersalah dan untuk menebus kesalahannya terhadap Swan Bu, ia hendak merawatnya, kalau mungkin, untuk selamanya! Malah ia bersedia menghabiskan permusuhannya dengan orang tua pemuda ini, asal Swan Bu mau memaafkannya dan mau ia “rawat” selamanya.

Mendadak telinganya mendengar suara gerakan dan alangkah kagetnya ketika ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depannya berdiri seorang gadis cantik jelita yang ia kenal sebagai Cui Sian! Hanya satu kali Siu Bi bertemu dengan puteri Raja Pedang ini, yaitu di Ching-coa-to, akan tetapi pertemuan yang sekali itu cukup baginya untuk mengetahui bahwa puteri Raja Pedang itu amat tinggi kepandaiannya.

Di lain fihak, Cui Sian juga tercengang melihat Siu Bi. Tadinya dari belakang ia melihat seorang wanita mempergunakan ilmu lari cepat yang tinggi berlari mendukung seorang pria. la menjadi curiga dan mengejar, menyusul lalu menghadang untuk melihat siapa mereka dan apa yang terjadi.

Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika ia mengenal Siu Bi, gadis liar yang bersumpah hendak membuntungi lengan Pendekar Buta dan anak isterinya, gadis liar yang menimbulkan cemburunya karena sikapnya terhadap Yo Wan, akan tetapi gadis ini pula yang telah menyelamatkan nyawanya ketika ia dikeroyok di Ching-coa-to!

“Kau…..?” Saking heran dan kagetnya Cui Sian menegur.

“Hemmm, puteri Raja Pedang. Mau apa kau menghadangku?” balas Siu Bi ketus.

Pandang mata Cui Sian menyelidiki laki-laki yang dipondong Siu Bi, terkejut melihat lengan kiri yang buntung sebatas siku, ujungnya dibungkus dan masih terdapat tanda darah dari luka yang baru.

“Eh, siapa dia??” tanyanya, penuh kecurigaan.

“Dia siapa peduli apakah engkau? Tidak ada sangkut-pautnya denganmu…..”

“Aahhh…..!” Cui Sian melangkah maju selangkah, wajahnya pucat dan matanya terbelalak lebar. “Dia….. dia….. Swan Bu…..! Bukankah dia Swan Bu…..?”

Sudah kerap kali ia bertemu dengan Swan Bu, akan tetapi yang terakhir kali adalah pada waktu Swan Bu berusia empat lima belas tahun. Kalau sekarang tidak melihat pemuda itu buntung lengan kirinya dan dipondong Siu Bi, agaknya ia akan pangling juga. Karena lengannya buntung, sedangkan Siu Bi pernah menyatakan hendak membuntungi lengan Pendekar Buta sekeluarga, dan pemuda yang buntung lengannya ini wajahnya seperti Swan Bu, maka mudah baginya untuk menduga dan hal ini membuat ia kaget dan ngeri.






Kebetulan sekali pada saat itu Swan Bu sadar, mengerang dan mengeluh, membuka matanya dan tepat dia memandang Cui Sian. Agaknya dia mengenal pula, karena bibirnya berbisik perlahan,

“….. Bibi Guru…..”

Kini tidak ragu lagilah hati Cui Sian. Memang dahulu Swan Bu disuruh menyebut “sukouw” (bibi guru) kepadanya karena Pendekar Buta tetap menganggap ayahnya sebagai guru. Dengan suara lantang ia membentak,

“Dia benar Swan Bu! Siapa membuntungi lengannya?” la tidak dapat bertanya kepada Swan Bu karena pemuda itu sudah pingsan lagi.

Siu Bi mendongkol sekali. Ia seorang gadis yang berwatak aneh luar biasa. Hatinya yang keras seperti baja mentah itu agaknya hanya dapat cair oleh kehalusan. Menghadapi kekerasan, ia akan menjadi makin keras. Suara Swan Bu menyebut “bibi guru” dan perhatian Cui Sian terhadap pemuda itu, mendatangkan kemendongkolan hatinya.

“Kau mau membelanya? Nah, terimalah keponakanmu ini!” teriaknya sambil melempar tubuh Swan Bu kearah Cui Sian.

Gadis Thai-san-pai ini cepat menerima tubuh itu dan alangkah kagetnya ketika ia mendapat kenyataan betapa tubuh itu panas sekali. Cepat ia menurunkan tubuh Swan Bu dengan hati-hati kebawah pohon yang teduh, kemudian memeriksa. Keadaan Swan Bu tidak berbahaya, kecuali kalau darahnya keracunan oleh luka lengan buntung itu. Maka ia lalu menotok beberapa jalan darah sambil mengerahkan sinkang dengan tangan kiri yang ia tempelkan di punggungnya. Kemudian ia berdiri, meloncat ke depan Siu Bi yang masih berdiri tegak dengan muka marah.

“Siu Bi, siapa yang membuntungi lengannya?”

Siu Bi mengedikkan kepala, membusungkan dada.
“Aku! Dia anak Pendekar Buta musuh besarku!” Biarpun mulutnya hanya berkata demikian, akan tetapi pandang matanya menantang, “Kau mau apa?”

Cui San menenangkan hatinya yang menggelora, lalu bertanya,
“Kau sudah membuntungi lengannya, mengapa dia kau dukung? Hendak kau bawa kemanakah dia?”

Tiba-tiba Siu Bi menjadi merah sekali,
“….. dia….. dia demam, aku harus merawatnya….. eh, kau cerewet amat, mau apa sih?”

Kemarahan Cui Sian tak dapat ditahannya lagi. Sekali tangannya bergerak ia telah mencabut Liong-cu-kiam. Pedang itu berkeredepan saking tajamnya dan diam-diam Siu Bi bergidik. la cukup maklum akan kelihaian puteri Raja Pedang ini dan tahu pula bahwa ia takkan mampu menang melawannya, akan tetapi untuk menjadi takut, nanti dulu! Dengan hati penuh kemarahan ia juga siap bertempur mati-matian.

“Siu Bi, kau bocah iblis! Aku tahu bahwa pada dasarnya kau bukanlah orang jahat, akan tetapi karena kau hidup di lingkungan iblis-iblis kejam, hatimu menjadi kejam dan ganas. Manusia macam engkau ini perlu diberi hajaran!”

“Cerewet kau!” bentak Siu Bi dan pedangnya menyambar-nyambar, merupakan sinar hitam, disusul pukulan tangan kirinya yang ampuh, yaitu pukulan Hek-in-kang.

Cui Sian cepat mengelak dari pukulan dan menangkis pedang lawan, kemudian dengan sama hebatnya ia balas menyerang yang juga dapat ditangkis oleh Siu Bi. Sebentar saja kedua orang dara perkasa ini sudah bertanding dengan seru.

Siu Bi bertempur dengan nekat, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya sehingga mau tak mau membuat Cui Sian menjadi kewalahan. Kalau puteri Raja Pedang ini menghendaki, dengan jurus-jurus mematikan dari ilmu pedangnya yang hebat, agaknya ia akan dapat merobohkan lawannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Akan tetapi Cui Sian adalah seorang gadis yang ingat budi. la pernah ditolong oleh Siu Bi ketika terjadi pengeroyokan di Ching-coa-to, maka tiada niat di hatinya untuk membunuh gadis liar itu. la hanya marah melihat Swan Bu dibuntungi lengannya dan berusaha hendak menangkap gadis ini kemudian menyerahkan keputusan hukumannya kepada Swan Bu sendiri. Inilah yang membuat agak sukar ia menangkan Siu Bi, sama sukarnya dengan menangkap seekor harimau hidup-hidup, tentu lebih mudah membunuhnya.

Betapapun juga, Ilmu Pedang Im-yang sin-kiam masih tetap merupakan raja diantara sekalian ilmu pedang, sedangkan pedang di tangan Cui Sian juga merupakan pedang pusaka yang amat ampuh karena Liong-cu-kiam adalah pedang kuno yang hebat. Liong-cu-kiam ada sepasang maka disebut Liong-cu-siang-kiam (Sepasang Pedang Mustika Naga) dan menjadi senjata suami isteri ketua Thai-san-pai yang panjang dipegang Raja Pedang, yang pendek dipegang isterinya.

Akan tetapi sekarang yang pendek berada di tangan puteri mereka, Cui Sian. Dengan pedang ampuh ini di tangan sambil memainkan Ilmu Pedang Im-yang-sin-kiam, lewat lima puluh jurus, Siu Bi menjadi pening dan kabur pandang matanya. Apalagi, sebetulnya ia masih belum sembuh benar daripada luka di dalam dadanya. Yang membuat ia amat penasaran adalah cara Cui Sian bertempur.

Puteri Raja Pedang itu seakan-akan mempermainkannya, buktinya setiap kali pedang berkeredepan itu sudah hampir mengenai tubuhnya, ditarik atau diselewengkan sehingga tidak mengenai dirinya. la sama sekali tidak menduga bahwa Cui Sian melakukan itu dengan sengaja karena tidak hendak membunuhnya, malah mengira bahwa gadis Thai-san-pai itu memandang rendah dan mempermainkannya. Hal ini membuatnya mendongkol dan marah sekali. la sampai lupa akan luka di dalam dadanya dan mengerahkan Hek-in-kang sekuatnya untuk menyerang. Sambil berteriak nyaring, tangan kirinya memukul dan uap hitam menyambar.

Cui Sian kaget. Hebat sekali pukulan ini. Akan tetapi ia tidak mau kalah. Cepat ia menggeser kaki kekanan dan pukulan Hek-in-kang dengan tangan kiri Siu Bi itu ia gempur dengan tangan kiri terbuka sarnbil mengerahkan sinkangnya.

“Dukkk!!”

Siu Bi mengeluarkan pekik dan tubuhnya terlempar ke belakang, roboh, pedangnya juga terlepas dari tangan kanan. la merintih-rintih.

Adapun Cui Sian berseru kaget karena ia merasa seakan-akan tangannya dimasuki hawa yang mengandung api dan ia sendiri terhuyung-huyung ke belakang. la terlampau memandang rendah Hek-in-kang dan kalau saja sinkang di tubuhnya belum kuat benar, tentu iapun akan terluka hebat. Cepat gadis kosen ini menahan napas dan menyalurkan sinkang untuk memulihkan tenaga dan melindungi isi dadanya. Kemudian ia menghampiri Siu Bi dan menotok jalan darah yang membuat Siu Bi lemas.

“Wanita sial!” Siu Bi yang sudah tak dapat menggerakkan kaki tangan itu memaki, matanya memandang dengan melotot. “Kau bunuh aku, aku tidak takut mampus. Hayo, kalau kau gagah, bunuh aku!”

“Cih, perempuan iblis. Sudah sepatutnya kau dibunuh atas perbuatan kejimu terhadap Swan Bu. Akan tetapi, aku berhutang nyawa kepadamu, terpaksa sekarang kuampuni kau…..”

“Keparat, siapa memberi hutang padamu? Siapa sudi menerinna ampunmu? Hayo, gunakan pedangmu itu membunuhku, jangan banyak cerewet'”

“Kau yang cerewet!”

“Kau cerewet, kau bawel, kau nenek-nenek bawel!” Siu Bi memaki-maki.

Akan tetapi Cui Sian tidak mau pedulikan gadis galak itu lagi karena ia sudah sibuk menghampiri dan memeriksa keadaan Swan Bu. Lega hatinya bahwa pemuda itu tidak menderita luka-luka lain yang berbahaya kecuali lengannya yang buntung.

Hatinya ngeri juga ketika ia membuka lengan buntung yang dibalut itu dan melihat lengan buntung sebatas siku. Darahnya sudah mulai kering, akan tetapi ujung yang buntung itu agak membengkak. Ini berbahaya, pikirnya dan cepat ia mengeluarkan sebungkus obat dari saku baju sebelah dalam. la menggunakan obat itu pada luka dan membalut luka dengan sehelai saputangan bersih.

“….. jangan bunuh dia…… Sukouw…..”

Hati Cui Sian tertegun. Apa maksud Swan Bu? Tidak boleh bunuh Siu Bi? Gadis itu sudah membuntungi lengannya dan pemuda ini masih minta supaya dia jangan dibunuh? Atau mungkin bukan Siu Bi yang dimaksudkan? Swan Bu sedang terserang demam panas dan biasanya dalam keadaan begini, orang suka mengingau.

“Swan Bu, siapa yang kau maksudkan? Jangan bunuh siapa?”

“Siu Bi….. di mana kau…, ah, Siu Bi, sudah puaskah hatimu sekarang? Alangkah cantik engkau….. cantik, liar dan ganas…..”






No comments:

Post a Comment