Ads

Monday, February 25, 2019

Jaka Lola Jilid 055

Sejenak Swan Bu tertegun ketika bertemu pandang dengan gadis yang cantik jelita itu. Teringat dia akan pertemuannya di depan rumah penginapan tadi. Hampir serupa gadis ini dengan gadis tadi, akan tetap malah lebih jelita, terutama sepasang matanya yang begitu lincah dan tajam. Siu Bi juga memandang Swan Bu penuh perhatian, pandang matanya menjadi bimbang ragu.

Inikah putera Pendekar Buta? Betulkah seperti yang ia dengar dari Ang-hwa nio-nio bahwa putera tunggal Pendekar Buta akan datang menyerbu? Dan pemuda yang luar biasa tampan dan gagahnya inikah musuh besarnya? Diam-diam Siu Bi tertegun dan terpesona. Belum pernah ia melihat seorang pemuda sehebat ini. Wajahnya berkulit halus putih kemerahan seperti wajah perempuan, akan tetapi alisnya yang tebal hitam, dagunya yang berlekuk sedikit tengahnya, pandang mata yang berwibawa, dada bidang yang membayangkan kekuatan, semua itu membayangkan sifat jantan yang mengagumkan. Akan tetapi teringat lagi bahwa pemuda ini adalah putera musuh besar yang akan dibalasnya, matanya bernyala penuh kebencian.

Swan Bu dengan tenang menghadapi pengurungan ini, bahkan dia tersenyum karena memang hatinya gembira mendapat kenyataan bahwa musuh-musuh orang tuanya ternyata adalah orang-orang jahat.

“Ang-hwa Nio-nio, memang betul kata-katamu tadi. Amat kebetulan kita dapat bertemu disini karena sebenarnya aku hendak pergi ke Ching-coa-to untuk mewakili orang tuaku yang kabarnya hendak kau cari dan kau tantang. Sekarang, melihat sepak terjangmu dan kawan-kawanmu, hatiku lega bukan main. Kiranya macam beginilah musuh-musuh orang tuaku, atau lebih tepat lagi, orang-orang yang memusuhi orang tuaku karena aku yakin bahwa orang tuaku tidak akan mau mencari permusuhan. Kalau orang orang yang memusuhi orang tuaku jahat-jahat belaka, jelas bahwa di waktu dahulu orang tuaku tidak berada di fihak salah.”

Baru saja Swan Bu menutup mulutnya, Ang-hwa Nio-nio sudah menerjang maju sambil membentak,

“Bocah sombong rasakan tanganku!”

Kedua tangannya yang sudah berubah menjadi merah itu menerjang maju mengirim pukulan beruntun, jangan dipandang rendah pukulan ini karena inilah pukulan-pukulan Ang-see-ciang yang amat hebat. Apalagi sampai tangan-tangan merah itu mengenai tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan yang tidak begitu tinggi ilmu kepandaiannya. Kedua tangan yang merah itu terbuka jari-jarinya, agak melengkung dan hawa pukulan yang menyambar dari telapak tangan itu amat panas seperti api membara!

Namun Swan Bu yang sudah mengerahkan Im-kang pada kedua lengannya, sengaja malah melangkah maju untuk menyambut pukulan-pukulan itu dengan tangkisan lengannya, hendak menguji kekuatan lawan sambil sekaligus memperlihatkan kepandaiannya.

Nenek itu girang, juga heran melihat pemuda ini berani menerima Ang-see-ciang, ia pastikan bahwa pemuda itu tentu akan roboh dalam segebrakan saja. la menambah tekanan pada kedua lengannya.

“Duk! Dukkk!!”

Dua kali lengan mereka bertemu susul-menyusul dalam waktu cepat sekali dan hasilnya….. Ang-hwa Nio-nio melompat ke belakang dua meter jauhnya sambil meringis kesakitan karena kedua lengannya serasa akan patah, sedangkan pemuda itu masih berdiri tetap dan tenang, biarpun diam-diam dia kaget karena kedua pundaknya serasa tergetar, tanda bahwa nenek itu benar-benar hebat kepandaiannya!

“Bibi Kui Ciauw, biarkan aku menghadapi musuh besarku ini!” tiba-tiba Siu Bi sudah melompat ke depan Swan Bu dengan pedang Cui-beng-kiam di tangannya. Sikapnya angkuh ketika ia menggerak-gerakkan pedang di depan dada sambil membentak,

“Orang she Kwa, bersiaplah kau untuk menerima hukuman dariku atas dosa ayahmu!”

Swan Bu mengerutkan kening. Sombongnya anak ini, pikirnya. Menyebut Ang-hwa Nio-nio bibi, tentu keponakannya dan karena itu, tentu bukan orang baik-baik. Akan tetapi ucapan Siu Bi tadi membuat dia penasaran.

“Memberi hukuman adalah urusan mudah, tapi jelaskan apa dosa ayahku dan hukuman apa yang hendak kau jatuhkan kepadaku,” jawabnya tenang.

Tidak enak juga hati Siu Bi menyaksikan sikap begini tenang. Segala gerak-gerik pemuda ini membayangkan seorang gagah yang baik, tiada cacad celanya sehingga hatinya tidak senang. Andaikata putera Pendekar Buta ini seorang pemuda berandalan dan kurang ajar, hatinya akan lebih senang untuk memusuhinya. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan membentak,

“Ayahmu si buta itu telah membuntungi lengan kakekku Hek Lojin, dan karenanya aku sudah bersumpah untuk membalas dendam, membuntungi lengan Pendekar Buta dan anak isterinya. Karena kau puteranya, sekarang aku akan membuntungi sebelah lenganmu agar roh kakekku dapat tenteram!”






Swan Bu tersenyum mengejek.
“Roh orang jahat mana bisa tenteram keadaannya? Tentu dilempar ke neraka dan selamanya akan terbakar api derita! Kalau ayah membuntungi lengan kakekmu, itu berarti bahwa kakekmu adalah orang jahat…..”

“Setan, lancang mulutmu!”

Siu Bi menjerit sambil nnenggerakkan pedangnya disusul pukulan tangan kirinya. Hebat serangan ini, pedangnya menjadi segulung sinar hitam menuju leher dan tangan kirinya membayangkan uap hitam menerjang dada.

“Aihhh, ganas…..!”

Diam-diam Swan Bu mengeluh dan cepat dia melempar diri ke belakang berjumpalitan sambil mencabut pedang Gin-seng-kiam.

“Trang! Tranggg!!”

Sepasang pedang hitam dan putih bertemu, bunga api berpijar menyilaukan mata dan Siu Bi, seperti halnya Ang-hwa Nio-nio tadi, melompat ke belakang dengan lengan kanan serasa lumpuh. Ternyata bahwa ia kalah kuat dalam tenaga sinkang sehingga dalam pertemuan senjata tadi hampir ia melepaskan pedangnya.

“Jangan takut, Bi-moi-moi, aku membantumu!” seru Ouwyang Lam yang sudah melompat maju, siap mengeroyok.

“Aku tidak membutuhkan bantuanmu!” bentak Siu Bi masih mendongkol dan penasaran karena sekali tangkis saja ia hampir keok tadi.

Kalau baru segebrakan saja ia sudah dibantu Ouwyang Lam dan mengeroyok Swan Bu, bukankah hal ini amat memalukan dirinya?

“Kau akan kalah, dia lihai…..!” kata Ang-hwa Nio-nio yang juga melangkah maju.

Swan Bu menggerak-gerakkan pedang di depan dada, tersenyum mengejek,
“Hayo kalian keroyoklah! Aku tidak takut dan memang aku tahu, pengecut-pengecut macam kalian kalau tidak main keroyokan mana berani maju?”

“Pemuda sombong, lihat tongkat!”

Ang Mo-ko sudah menyapu dengan tongkat bambunya. Biarpun tongkat ini terbuat daripada bambu yang ringan, namun ketika menyambar mengeluarkan Suara bersiutan, maka Swan Bu tidak berani memandang ringan lalu melompat keatas menyelamatkan diri sambil memutar pedang menangkis pedang Ouwyang Lam yang sudah menusuknya.

Ouwyang Lam seorang pemuda yang amat cerdik. Maklum bahwa tadi gurunya dan juga Siu Bi tidak kuat melawan tenaga Swan Bu, dia tidak mau mengadu pedang, cepat menarik pedangnya dan dari samping dia mengirim bacokan kilat yang juga dapat dielakkan oleh Swan Bu.

Pemuda Liong-thouw-san ini sudah memutar pedang mendahului Ang-hwa Nio-nio yang sudah mengeluarkan pedang pula, namun serangannya dapat ditangkis oleh ketua Ang-hwa-pai itu. Dari luar mendatangi anak buah Ang-hwa-pai dan sebentar saja Swan Bu sudah dikurung dan dikeroyok banyak orang lawan.

“Tak sudi aku! Tak sudi! Masa satu orang dikeroyok begini banyak. Aku tidak sudi dibantu!” berkali-kali Siu Bi berteriak-teriak penuh kemarahan, berdiri di pinggir sambil memegangi pedangnya.

Hatinya kecewa bukan main. Biarpun la takkan ragu-ragu untuk membalas dendam, membuntungi lengan kiri pemuda tampan putera Pendekar Buta itu namun ia merasa jijik dan rendah sekali kalau harus mengeroyok seorang musuh dengan begitu banyak teman. Sungguh perbuatan yang amat memalukan dan rendah sekali.

Diam-diam Siu Bi memperhatikan Swan Bu, mengagumi gerakan ilmu pedangnya yang amat aneh dan kuat, lalu membandingkan pemuda musuh itu dengan Ouwyang Lam. Seperti burung hong dibandingkan dengan burung gagak. Seperti seekor naga dibandingkan dengan ular beracun.

Sebetulnya, biarpun dikeroyok begitu banyak lawan, Swan Bu tidak gentar sedikitpun juga, karena andaikata dia terdesak menghadapi tiga orang terlihai diantara mereka, yaitu Ang-hwa Nio-nio, Ang Mo-ko, dan Ouwyang Lam dengan mudah dia akan menerjang keluar menyelamatkan diri.

Akan tetapi, mendengar teriakan Siu Bi tadi, dia tertegun dan merasa bingung. Terang bahwa gadis itu memiliki watak yang gagah perkasa dan sama sekali tidak patut menjadi anggauta gerombolan ini. Dan mempunyai seorang musuh yang wataknya begitu gagah perkasa, benar-benar malah mendatangkan rasa gelisah di hatinya.

Ketika Swan Bu mainkan Im-yang Sin-kiam, pedangnya bergulung seperti seekor naga perak menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat, lima orang anak buah Ang-hwa-pai roboh terluka tak mampu melawan lagi.

Ang-hwa Nio-nio kaget dan kagum, akan tetapi, juga penasaran. Kalau sekarang mereka tidak mampu mengalahkan putera Pendekar Buta, bagaimana mereka akan mampu menyerbu Liong-thouw-san, berhadapan dengan Pendekar Buta sendiri?

Di lain fihak, Swan Bu harus mengakui bahwa tiga orang lawannya itu benar-benar tangguh sekali. Ilmu pedang Ang-hwa Nio-nio hebat dan ganas, ditambah lagi tangan kirinya yang mainkan selingan pukulan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang sebetulnya adalah Ilmu Pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah).

Pemuda tampan pendek itu serupa ilmu silatnya dengan nenek ini, hanya kalah setingkat. Adapun Ang Mo-ko Si Iblis Merah itu juga tak boleh dipandang ringan. Tongkat bambunya menyambar-nyambar laksana kitiran tertiup angin taufan, mengeluarkan bunyi nyaring dan mengandung tenaga besar.

Andaikata tidak dikeroyok, dengan ilmu pedangnya yang hebat, kiranya Swan Bu akan dapat mengalahkan seorang diantara mereka dengan mudah. Kini, dikeroyok tiga, dia hanya dapat mengimbangi saja karena melihat kelihaian daya serangan mereka, dia harus lebih menekankan gerakannya pada penjagaan diri sehingga daya serangannya sendiri menjadi kurang kuat. Namun pertahanannya kuat sekali sehingga betapapun juga kerasnya tiga orang itu menekannya, dia tidak terdesak.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
“Sungguh tidak tahu malu melakukan pengeroyokan!”

Tampak berkelebat sesosok bayangan yang ringan sekali, didahului menyambarnya sinar pedang kuning dan robohnya tiga orang anak buah Ang-hwa-pai lainnya. Kiranya yang datang ini adalah seorang gadis yang cantik jelita yang rambutnya dikuncir dua tergantung di belakang punggungnya. Gadis ini bukan lain adalah Lee Si.

Seperti telah diceritakan di bagian depan Lee Si yang merasa curiga melihat gerak-gerik Swan Bu, juga sekaligus tertarik hatinya, diam-diam mengikuti Swan Bu menuju ke sebelah selatan kota. la mengintai dari jauh dan ketika Swan Bu melompat masuk ke dalam halaman kuil, ia berindap-indap mendekati dan dapat mendengar semua percakapan.

Bukan main kaget dan girang hatinya ketika mendengar bahwa pemuda yang menarik hatinya itu bukan lain adalah putera Liong-thouw-san, putera Pendekar Buta! Benar-benar pertemuan yang sama sekali tidak tersangka-sangka. Hal ini membuat jantungnya berdebar tidak karuan, membuat ia bimbang dan bingung, tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

la dapat menduga bahwa putera Liong-thouw-san tentu saja memiliki kepandaian yang luar biasa, yang jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri, maka ia merasa serba salah untuk turun tangan membantu. Ia khawatir kalau itu akan merendahkan, tidak membantu bagaimana. Maka la hanya mengintai saja dan kagumlah la menyaksikan sepak terjang Swan Bu.

Memang semenjak kecil, Lee Si tidak banyak kesempatan untuk berjumpa dengan keluarga ayah bundanya. Hal ini adalah karena keluarga itu terpencar dan amat jauh tempat tinggalnya, Hanya dengan putera pamannya di Lu-liang-san sajalah, pernah ia bertemu sampai tiga kali, ketika ia masih kecil dan yang terakhir ketika ia berusia empat belas tahun.

Putera pamannya di Lu-iiang-san itu empat tahun lebih tua dari padanya, bernama Tan Hwat Ki. Pamannya, Tan Sin Lee ketua Lu-liang-pai itu hanya mempunyai seorang putera. Adapun keluarga lainnya, biarpun ia sudah banyak mendengar penuturan ayah bundanya dan tahu pula akan nama-nama mereka, namun ia jarang sekali, bahkan ada yang tak pernah bertemu.






No comments:

Post a Comment