Ads

Tuesday, February 19, 2019

Jaka Lola Jilid 033

Belum pernah selamanya ia bertemu dengan seorang gadis yang begini hebat. Tadinya dia sama sekali tidak mengira bahwa Siu Bi akan begini kosen sehingga dapat mengimbangi permainan silatnya. Tentu saja hal ini membuat rasa sayangnya terhadap Siu Bi makin menebal. la tidak tega untuk mempergunakan ilmu silat yang lebih dahsyat, khawatir kalau-kalau melukai Siu Bi dan membikin gadis itu menjadi sakit hati. la hendak membaiki gadis ini, hendak memikat hatinya karena dia betul-betul jatuh hati yang baru pertama kali ini dia alami.

Akan tetapi, di fihak Siu Bi, seruan itu merupakan tanda bahaya. Kalau lawannya mempunyai “simpanan” yang belum dikeluarkan, inilah berbahaya. la tidak mau didahului, maka tiba-tiba Siu Bi mengeluarkan seruan nyaring seperti pekik burung elang dan kedua lengannya bergerak aneh, diputar-putar secara luar biasa.

Akan tetapi segera tampak sinar menghitam menyambar-nyambar dari kedua lengan itu tampak uap hitam dan Ouwyang Lam merasai sambaran hawa pukulan yang amat dahsyat. Ketika dia menangkis, lengannya terasa panas sekali dan sampai menembus ke ulu hati. Kagetlah dia dan terhuyung-huyung dia ke belakang dengan muka pucat.

Akan tetapi karena dia maklum bahwa lawannya ini benar-benar hebat, memiliki simpanan ilmu dahsyat yang baru sekarang dikeluarkan, cepat dia mengerahkan tenaga mengusir rasa nyeri, berbareng dia membentak keras dan tubuhnya mumbul keatas, lalu menukik kebawah melakukan penyerangan balasan.

Inilah sebuah jurus dari Ilmu Silat Hui-seng-kun-hoat, Ilmu Sllat Bintang Terbang yang selain hebat sekali gerak-geriknya, juga mengandung hawa pukulan beracun, racun ang-tok (racun merah)!

Ketika Siu Bi menangkis dengan tenaga Hek-in-king, keduanya terhuyung mundur dengan muka berubah. Tahulah mereka bahwa masing-masing kini telah mengeluarkan kepandaian dan tenaga simpanan. Ilmu Pukulan Hek-in-kang yang mengandung racun hitam kini bertemu tanding dengan hawa pukulan racun merah.

Akan tetapi keduanya menyesal bukan main karena kalau dilanjutkan, mereka berdua terpaksa akan mempergunakan dua macam ilmu dahsyat ini dan akibatnya yang kalah tentu akan celaka, kalau tidak tewas sedikitnya tentu akan terluka parah di sebelah dalam tubuh!

“Tahan dulu…..!”

Tiba-tiba Ang-hwa Nio-nio berseru dan melayanglah tubuhnya menengahi kedua orang muda yang sedang bertanding itu. Karena nenek ini menggunakan kedua tangan mendorong, kedua orang muda itu terpaksa meloncat ke belakang.

“Kau mau mengeroyok?”

Siu Bi mendahului membentak. Bentakan yang merupakan gertak belaka karena sesungguhnya di dalam hati ia merasa khawatir kalau-kalau nenek ini benar-benar mengeroyoknya. Kalau benar demikian, biarpun ia tidak akan mundur, namun boleh dipastikan bahwa ia akan kalah dan roboh. Dalam pertemuan tenaga dengan pemuda itu tadi saja sudah dapat ia bayangkan bahwa takkan mudah baginya mengalahkan Ouwyang Lam. Apalagi kalau nenek ini yang agaknya malah lebih lihai lagi daripada si pemuda turun tangan mengeroyoknya.

Akan tetapi Ang-hwa Nio-nio tidak bergerak menyerang. Wajahnya keren dan suaranya berwibawa,

“Bocah, jangan sombong terhadap Ang-hwa Nio-nio! Kau tadi mainkan Hek-in-kang, orang tua Hek Lojin masih terhitung apamukah?”

Siu Bi kaget. Baru kali ini semenjak ia turun gunung, ada orang yang mengenal Hek-in-kang. Banyak orang lihai ia temui, termasuk Jenderal Bun, isterinya, puteranya dan Si Jaka Lola. Akan tetapi mereka itu tidak mengenal ilmunya. Bagaimana nenek genit ini dapat mengenal Hek-in-kang? Malah tahu pula bahwa Hek-in-kang adalah ilmu mendiang kakeknya, Hek Lojin yang dikenalnya pula? Setelah nenek ini mengetahui semuanya, agaknya tidak perlu lagi berbohong, malah ia hendak menyombongkan kakeknya yang ia tahu amat lihai dan amat terkenal di dunia kang-ouw. ”

“Hek Lojin adalah kakekku. Mau apa kau tanya-tanya?” jawabnya dengan nada suara sombong dan tidak mau kalah.

“Kakekmu?” Keriput-keriput pada wajah nenek itu mendalam. “Bagaimana bisa jadi? Maksudmu kakek guru? Kau mengenal The Sun?”

Berdebar jantung Siu Bi. Terang bahwa nenek ini bukan orang yang asing bagi ayah dan kakeknya. Biarpun di dalam hati ia tidak mau lagi mengakui The Sun sebagai ayahnya karena ia maklum sekarang bahwa The Sun memang bukan ayahnya, akan tetapi agaknya nama The Sun dan Hek Lojin akan dapat menolongnya pada saat itu, Siu Bi biarpun seorang yang amat tabah dan tidak takut mati, namun ia bukan gadis bodoh. la amat cerdik dan ia maklum bahwa saat ini ia berada di sarang harimau. la berada di pulau orang, musuh-musuhnya lihai dan berjumlah banyak. Nekat memusuhi mereka berarti mati. Maka ia lalu menekan perasaannya dan menjawab,





“Dia adalah ayahku.” Segan hatinya menyebut nama The Sun, maka ia hanya menyebut “dia” saja.

Tiba-tiba terjadi perubahan hebat pada muka nenek itu. Sejenak ia memandang Siu Bi dengan mata terbelalak, mulut ternganga, kemudian perlahan-lahan kedua mata itu menitikkan air mata dan ia lalu lari merangkul Siu Bi sambil menangis! Tentu saja Siu Bi jadi tercengang keheranan.

“Aihhh, siapa kira….. kita adalah orang-orang sendiri, anakku…..!”

Meremang bulu tengkuk Siu Bi dan tiba-tiba perutnya menjadi mulas mendengar ini karena timbul dugaan yang mengerikan di dalam hatinya. Jangan jangan….. jangan-jangan….. la tidak saja bukan anak The Sun, akan tetapi ]uga bukan anak ibunya dan….. dan….. perempuan mengerikan ini adalah ibu kandungnya!

Dengan muka pucat diam-diam berdoa semoga dugaan ini tidak benar adanya. Akan tetapi hatinya demikian risau, membuat tenggorokannya serasa tercekik dan ia tidak mampu bertanya apa yang dimaksudkan oleh nenek ini dengan kata-kata “orang-orang sendiri” tadi. Adalah Ouwyang Lam yang juga terheran-heran itu yang mengajukan pertanyaan,

“Nio-nio, apakah artinya ini? Siapakah Nona ini?”

Ang-hwa Nio-nio tersenyum dibalik air matanya, melepaskan pelukan dan menggandeng tangan Siu Bi.

“Mari kita pulang, mari….. kita adalah orang sendiri. Mari dengarkan keteranganku di rumah…… ah, untung tadi kau keluarkan Hek-in-kang itu, anakku…..”

Mual rasa perut Siu Bi mendengar nenek ini menyebutnya “anakku”. Akan tetapi karena bekas lawan bersikap begini ramah, tak mungkin ia mempertahankan sikap bermusuhan lagi. Betapapun juga, ia masih ragu-ragu. Siapa tahu ada apa-apanya dibalik sikap aneh ini. Siapa tahu ada kepiting di balik batu!

“Aneh sekali sikapmu, Paicu. Kalau benar aku ini orang sendiri, masa orang-orangmu memperlakukan aku sedemikian rupa? Penghinaan besar yang tiada taranya, menjadikan aku tawanan berhari-hari dan membelenggu kaki tangan.”

“Ohhh, mereka tidak tahu…,.”

“Kalau pun tidak tahu, sudah melakukan penghinaan kepada orang sendiri, apa yang akan kau lakukan kepada mereka?”

Ang-hwa Nio-nio sadar dan mengedikkan kepalanya, memutar tubuh memandang kesaha kemari mencari-cari. Akhirnya ia menemukan mereka dengan pandang matanya, si rambut putih dan sl brewok. Seakan-akan dari pandang matanya itu keluar perintah, karena tanpa kata-kata lagi kedua orang ini sudah maju dan menjatuhkan diri berlutut!

“Kami….. kami betul-betul tidak tahu…..” kata si rambut putih, suaranya sudah gemetar tidak karuan.

“Kalian menghina puteri sahabat baikku The Sun, kalian sudah menjadikan cucu murid orang tua Hek Lojin sebagai tawanan? Ahhh, kalau di Ang-hwa-pai masih ada orang-orang macam kalian, perkumpulan kita takkan dapat lama berdiri tegak.”

Tiba-tiba, tanpa peringatan lagi, kedua tangan Ang-hwa Nio-mo bergerak. Terdengar jerit dua kali dan tubuh dua orang pembantu itu terjengkang ke belakang, mata mereka mendelik, muka mereka berubah rnerah seperti darah dan napas mereka sudah putus! Mereka terkena pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga beracun ang-tok sepenuhnya!

Ang-hwa Nio-nio tersenyum ketika menoleh kepada Siu Bi,
“Nah, itulah hukuman mereka yang berani menghinamu, anakku. Mari, mari…… mari ikut bibi Kui Ciauw, sahabat baik ayahmu…..”

Siu Bi merasa begitu lega seakan-akan batu sebesar gunung yang menindih hatinya diangkat orang ketika mendengar ucapan terakhir itu. Kiranya nenek ini yang bernama Kui Ciauw, berjuluk Ang-hwa Nio-nio, adalah sahabat baik “ayahnya”, jadi bukanlah ibu kandung seperti yang ia khawatirkan. Karena hati yang lega dan puas ini, tidak membantah lagi ketika digandeng pergi, malah ia tersenyum kepada “bibi Kui Ciauw” dan membalas senyum Ouwyang Lam yang berjalan di sebelahnya!

Sikap Kui Ciauw atau Ang-hwa Nio-nio terhadap Siu Bi itu sebetulnya bukan dibuat-buat, juga tidaklah aneh. Belasan tahun yang lalu wanita ini bersama dua orang saudaranya disebut Ang-hwa Sam-ci-moi (Tiga Kakak Beradik Bunga Merah), dan mereka bertiga bekerja sama dengan The Sun dan Hek Lojin, melakukan perang terhadap Pendekar Buta dan kawan-kawannya.

Kemudian mereka ini semua dikalahkan oleh Pendekar Buta, malah dua orang adiknya tewas, The Sun terluka hebat dan Hek Lojin buntung sebelah lengannya. Oleh karena itulah, maka begitu mendengar bahwa gadis ini adalah puteri The Sun dan cucu murid Hek Lojin, sikap Ang-hwa Nio-nio seketika berubah. la menganggap Siu Bi sebagai orang segolongan yang menaruh dendam kepada Pendekar Buta.

la tadi telah menyaksikan betapa kepandaian Hek Lojin telah diwariskan kepada gadis ini, maka sebagai orang segolongan, tentu saja ia menganggap gadis ini amat penting untuk bersama-sama menghadapi musuh besar mereka, Pendekar Buta. Tentu saja mendapatkan tenaga bantuan seperti gadis ini jauh lebih berharga daripada orang-orang seperti si rambut putih dan si brewok, maka sebagai pengganti mereka, ia rela menerima Siu Bi dan menewaskan dua orang pembantu itu untuk menyenangkan hati Siu Bi.

Siu Bi kagum bukan main ketika melihat bangunan-bangunan indah diatas pulau dan memasuki gedung besar tempat tinggal Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam. Perabot rumah serba indah dan mahal, gambar-gambar indah, tulisan-tulisan dengan sajak-sajak kuno menghias dinding membuat gedung itu kelihatan seperti sebuah istana.

Setelah mereka bertiga duduk di ruangan tengah dan para pelayan cantik menghidangkan minuman, Ang-hwa Nio-nio lalu bercerita,

“Anak baik, ketahuilah, aku adalah Ang-hwa Nio-nio atau ketua dari Ang-hwa-pai, tapi kau boleh menyebutku bibi Kui Ciauw saja, karena aku adalah sahabat baik dan teman seperjuangan dengan ayahmu. Dia ini adalah muridku, Ouwyang-kongcu atau Ouwyang Lam, muridku yang tersayang, dan karenanya dia ini masih terhitung saudara segolongan denganmu. Anak baik, siapakah namamu tadi?”

“Namaku Siu Bi.”

“The Siu Bi, hemmm, bagus sekali. Tak kunyana bahwa The Sun bisa mempunyai seorang anak secantik engkau, dan ilmu kepandaianmu juga hebat, agaknya malah lebih hebat daripada ayahmu sendiri. Siu Bi, apakah ayah dan kakekmu tidak pernah bercerita tentang aku?”

Dengan jujur Siu Bi menggeleng kepalanya, dan Ang-hwa Nio-nio mengerutkan alisnya.
“Ah, bagaimana mereka bisa begitu cepat melupakan aku? Tidak ingat akan perjuangan bersama dan penderitaan senasib? Siu Bi, anakku yang baik, apakah mereka juga tak pernah bicara tentang Pendekar Buta?”

Bangkit semangat Siu Bi mendengar disebutnya musuh besarnya ini.
“Aku memang sengaja turun gunung untuk mencari Pendekar Buta, membalaskan dendam mendiang kakek dan membuntungi lengan tangan Pendekar Buta sekeluarga.”

Berubah wajah Ang-hwa Nio-nio,
“Kau bilang….. mendiang kakek? Apakah Hek Lojin si orang tua sudah meninggal?”

Siu Bi mengangguk dan wanita lu meramkan kedua matanya.
“Ah, sungguh sayang sekali. Akan tetapi, kau penggantinya, anakku. Biarlah, mari kita sama-sama menggempur Pendekar Buta, kita hancurkan kepalanya, cabut keluar jantungnya untuk kita pakai sembahyang kepada roh-roh yang penasaran!”

Siu Bi boleh jadi seorang gadis yang tabah, akan tetapi mendengar ancaman menyeramkan ini ia bergidik juga.

“Bibi, aku sudah bersumpah hendak mencarinya dan dengan tanganku sendiri aku akan membuntungi lengannya, lengan isterinya dan anak-anaknya.”

“Aku akan membantumu…..”

“Aku tidak perlu bantuan, Bibi. Aku sendiri cukup untuk menghadapinya.”

“Dia lihai sekali.”






No comments:

Post a Comment