Ads

Tuesday, February 19, 2019

Jaka Lola Jilid 032

Perjalanan dilangsungkan melalui darat. Dua orang itu dengan mudah mendapatkan tiga ekor kuda dari kawan-kawan mereka yang memang banyak terdapat di sekitar daerah itu, merajalela dan boleh dibilang menguasai keadaan di sebelah selatan dan barat dan kota raja.

Akhirnya mereka menyeberang telaga dan mendarat di Pulau Ching-coa-to di tengah telaga. Pulau ini sekarang berubah keadaannya jika dibandingkan belasan tahun yang lalu. Setelah Ang-hwa-pai berdiri dan pulau ini dijadikan pusat, pulau ini dibangun dan dari jauh saja sudah tampak bangunan-bangunan yang besar dan megah. Taman bunga yang dahulu menjadi kebanggaan Ching-toanio dan puteri-puterinya, terpelihara baik-baik, malah dilengkapi pondok-pondok mungil karena tempat ini terkenal sebagai tempat Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam bersenang-senang.

Siu Bi merasa heran dan kagum juga setelah ia dibawa mendarat dari perahu yang menyeberangi telaga. Pulau itu benar-benar indah, juga megah. Apalagi ketika mereka mendarat di pulau, mereka disambut oleh sepasukan penjaga yang berpakaian lengkap, seragam dan bersikap gagah. Didada kiri mereka tampak sebuah lencana, yaitu sulaman berbentuk bunga merah.

Si rambut putih yang agaknya memiliki kedudukan lumayan di pulau ini, segera menyuruh seorang penjaga lari melapor kepada pai-cu (ketua) dan kong-cu (tuan muda). Penjaga itu berlari cepat. Siu Bi digiring berjalan memasuki pulau dengan perlahan, diiringkan sepasukan penjaga dan diapit oleh kedua orang penawannya.

Tak lama kemudian rombongan ini berhenti dan dari depan tampak serombongan orang berjalan datang dengan cepat. Siu Bi membelalakkan mata, memandang penuh perhatian. la melihat barisan wanita-wanita muda cantik yang gagah sikapnya, memegang pedang telanjang di tangan, berjalan dengan teratur di kanan kiri. Di tengah-tengah tampak berjalan dua orang. Yang seorang adalah wanita tua yang berkulit hitam dan pakaiannya biarpun terdiri dari sutera mahal dan amat mewah, akan tetapi sungguh tidak serasi karena warnanya merah darah dan berkembang-kembang. Amat tidak cocok dengan kulit hitam itu, apalagi karena muka itu biarpun dibedaki dan ditutupi gincu, tetap saja memperlihatkan keriput-keriput usia tua.

Seorang nenek yang amat pesolek dan sinar matanya tajam dan liar. Akan tetapi langkah kakinya demikian ringan seakan-akan tidak menginjak bumi, menandakan bahwa ginkang dari nenek ini luar biasa hebatnya.

Orang kedua adalah seorang laki-laki muda, kurang lebih dua puluh tahun, tubuhnya tegap, agak pendek tapi wajahnya tampan sekali dengan kulit yang putih kuning, alis hitam panjang dan matanya bersinar-sinar. Mereka ini bukan lain adalah Ang-hwa Nio-nio atau paicu, ketua dari Ang-hwa-pai, bersama Ouwyang Lam atau kongcu yang sesungguhnya memiliki kekuasaan tertinggi disitu karena si ketua itu berada di telapak tangan si pemuda ganteng!

Tempat itu kini penuh dengan para anggauta Ang-hwa-pai dan semua orang memandang Siu Bi penuh perhatian. Mereka bersikap hormat ketika ketua mereka muncul. Si rambut putih dan si brewok juga segera berlutut memberi hormat, lalu berdiri lagi.

Pandang mata Ouwyang Lam untuk sejenak menjelajahi Siu Bi dari rambut sampai ke kaki, kemudian menoleh kepada si rambut putih. Adapun Ang-hwa Nio-nio segera menegur.

“Betulkah seperti yang kudengar bahwa bocah ini telah membunuh A Bian? Mengapa kalian tidak segera membunuhnya dan perlu apa dibawa-bawa kesini?”

“Maaf, kami sengaja menangkap dan membawanya kesini agar mendapat putusan sendiri tentang hukumannya dari Paicu dan Kongcu,” kata si rambut putih dengan nada suara menjilat. “Pula, bagaimana kami dapat membuktikan tentang kematian A Bian kalau pembunuhnya tidak kami seret kesini?”

“Hemmm, bocah yang berani membunuh seorang pembantuku, apalagi hukumannya selain mampus? Biar aku sendiri membunuhnya!”

Tangan nenek ini bergerak, terdengar angin bercuitan ketika angin pukulan meluncur kearah dada Siu Bi. Gadis ini kaget bukan main. Hebat pukulan ini dan karena kedua tangannya masih dibelenggu, hanya kedua kakinya saja yang bebas, ia terpaksa melompat cepat ke kiri.

“Srrrttt!” pinggir bajunya tersambar angin pukulan, pecah dan hancur berantakan.

Wajah Siu Bi berubah. la maklum bahwa nenek ini merupakan lawan yang berat, seorang yang amat lihai ilmunya.

“Ihhh, kau berani mengelak?”

Nenek itu memekik, suaranya melengking tinggi dan kembali tangannya bergerak, sekarang angin yang berciutan itu menyambar ke arah leher Siu Bi. Gadis ini kembali mengelak, akan tetapi kurang cepat sehingga pundaknya terhajar. Baiknya ia telah siap dan mengerahkan Hek-in-kang di tubuhnya, maka ia tidak mengalami luka, hanya terhuyung dan roboh miring diatas tanah.





Muka nenek itu berubah. Baru kali ini ia mengalami hal seaneh ini. Biasanya, kalau pukulannya dilakukan, tentu seorang lawan akan roboh binasa. Apalagi kalau pukulannya yang mengandung hawa racun merah ini mengenai sasaran, tentu yang terkena akan terluka dalam. Akan tetapi gadis ini hanya terhuyung dan roboh tapi tidak terluka. Ini membuktikan bahwa gadis ini “ada isinya”. Saking penasaran, ia mengerahkan tenaga dan hendak memukul lagi. Akan tetapi Ouw-yang Lam mencegah, menyentuh lengan nenek itu sambil berkata,

“Nio-nio, harap sabar dulu…..”

“Apa? Kau masih belum puas dengan mereka itu dan hendak mengambil dia? Hati-hati, perempuan seperti ia bukan untuk hiburan, sekali ia lolos akan mendatangkan bencana!” kata Ang-hwa Nio-nio sambil menuding ke arah Siu Bi yang sudah melompat bangun lagi dan memandang mereka dengan mata terbelalak penuh kemarahan dan kebencian. Sedikitpun gadis ini tidak memperlihatkan rasa takut.

“Bukan begitu, Nio-nio. Ingat Nona ini memiliki kepandaian, akan tetapi menghadapi seorang nona muda, dua orang kita menawannya dan membelenggunya seperti itu, sudah merupakan hal yang meremehkan nama besar kita. Apalagi sekarang kau hendak membunuhnya dalam keadaan terbelenggu, aku khawatir nama besarmu akan ternoda. Nio-nio, biarkan aku menghadapinya setelah belenggunya dilepas, agaknya ia lihai, patut aku berlatih dengannya. Eh, Nona, setelah kau lancang tangan membunuh seorang pembantu kami dan kau telah ditangkap kesini, kau hendak berkata apa lagi?”

Siu Bi mengerutkan alisnya, matanya seolah-olah mengeluarkan api ketika memandang kepada wajah tampan itu.

“Mengapa banyak cerewet? Mau bunuh boleh bunuh, siapa takut mampus? Pura-pura akan membebaskan, hemmm, kalau benar-benar kedua kakiku bebas, aku akan membunuhi kalian ini semua, tak seekorpun akan kuberi ampun!”

Inilah makian dan hinaan hebat. Semua orang sampai melongo. Alangkah beraninya bocah ini. Sudah tertawan, berada di tangan musuh dan tidak berdaya, nyawanya tergantung di ujung rambut, masih begitu besar nyalinya. Benar-benar hal yang amat mengherankan bagi seorang gadis remaja seperti ini.

Akan tetapi Ouwyang Lam tertawa girang. Hatinya amat tertarik kepada gadis ini. Cantik jelita dan gagah perkasa. Biarpun baginya tidaklah sukar untuk mencari gadis cantik, malah boleh jadi lebih cantik daripada Siu Bi, namun takkan mudah mendapatkan seorang gadis yang begini gagah perkasa dan bernyali harimau. Kalau dia bisa mendapatkan seorang seperti ini di sampingnya, selain dia mendapatkan pasangan yang setimpal, juga gadis ini dapat merupakan penambahan tenaga yang amat penting dan memperkuat kedudukan mereka.

Memang Ouwyang Lam orangnya cerdik, penuh tipu muslihat dan akal yang halus sehingga biarpun dia mempunyai niat di hatinya yang tidak baik, namun pada lahirnya dia bisa kelihatan amat baik dan peramah.

“Nona, kau seorang gagah, maka kuberi kesempatan untuk membela diri. Kami dari Ang-hwa-pai juga orang-orang gagah dan menghargai kegagahan. Nah, kau kubebaskan daripada belenggu dan boleh membela diri dengan kepandaianmu!”

Tampak sinar berkelebat dan tahu-tahu belenggu pada kedua tangan Siu Bi sudah putus. Kiranya itu tadi adalah sinar pedang di tangan Ouwyang Lam!

Siu Bi kagum. Maklum ia bahwa juga pemuda ini merupakan lawan yang berat. Namun, mana ia menjadi gentar karenanya? la tersenyum mengejek, menggerak-gerakkan kedua lengannya untuk mengusir rasa pegal. Berhari-hari ia dibelenggu dan hal ini membuat kedua lengannya terasa pegal. la mengerahkan tenaga sin-kang untuk mendorong peredaran darahnya, terutama di bagian kedua lengan sehingga ia dapat mengusir semua rasa kaku dan dapat bergerak lincah kembali. Setelah merasa dirinya sehat kembali, ia menghadapi Ouwyang Lam dan berkata,

“Nah, aku siap. Siapa akan maju menghadapi aku? Ataukah barangkali kalian mengandalkan kegagahan dengan cara pengeroyokan?”

Ucapan ini merupakan tantangan yang mengandung ejekan. Muka Ang-hwa Nio-nio yang hitam sampai berubah menjadi makin hitam saking marahnya. Gadis ini benar-benar memandang rendah Ang-hwa-pai. Akan tetapi Ouwyang Lam tersenyum dan melangkah maju. Pedangnya masih berada di tangan, akan tetapi dia tidak segera menyerang, melainkan berkata halus,

“Nona, aku sudah siap dengan pedangku. Harap kau suka mengeluarkan senjatamu.”

Diam-diam Siu Bi menghargai sikap pemuda tampan ini, setidaknya pemuda ini mempunyai watak yang gagah, tidak seperti nenek yang tak tahu malu menyerangnya ketika masih terbelenggu kedua tangannya tadi. Akan tetapi pedang Cui-beng-kiam ia tinggalkan di depan kaki Yo Wan.

“Aku mengandalkan kedua kepalan tangan dan kakiku. Kalau pedangku Cui-beng-kiam berada disini, mana orang-orangmu mampu menghinaku?”

Ouwyang Lam makin besar rasa kagumnya dan dia yakin bahwa gadis ini tentulah seorang pendekar wanita yang gagah. la segera menyimpan kembali pedangnya dan berkata,

“Kalau begitu, marilah kita main-main dengan tangan kosong. Majulah, Nona.”

Siu Bi tidak mau sungkan-sungkan lagi. Setelah sekarang ia ditantang dan tidak dikeroyok, ini merupakan keuntungannya dan ia harus membela diri sekuat tenaga. Sambil berseru panjang ia lalu menerjang maju. Akan tetapi betapapun juga, ia ingat akan budi pemuda ini. Biarpun merupakan seorang musuh, pemuda ini harus ia akui telah menolong nyawanya tadi ketika ia hendak dibunuh dalam keadaan terbelenggu oleh nenek yang lihai itu.

Maka iapun hanya ingin merobohkan pemuda ini saja, kalau mungkin tanpa melukainya, apalagi membunuhnya. Oleh karena inilah maka ia lalu mainkan ilmu silat biasa yang ia pelajari dari ayahnya dan dari Hek Lojin. Gerakannya gesit, serangannya ganas dan dahsyat, juga tenaga dalamnya amat kuat.

“Bagus!”

Ouwyang Lam berseru ketika menyaksikan ketangkasan lawannya. la juga menggerakkan kaki tangannya, bersilat dengan gaya yang indah. Dalam sekejap mata saja, keduanya sudah saling terjang, saling serang dengan hebat, gerakan mereka begitu cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata karena bayangan itu sudah menjadi satu. Angin pukulan dan gerakan tubuh rnenyambar-nyambar kekanan kiri dan empat puluh jurus lewat dengan amat cepatnya.

Diam-diam Ang-hwa Nio-nio mendongkol melihat murid dan kekasihnya itu tidak segera menggunakan jurus-jurus Ilmu Silat Hui-seng-kun-hoat, yaitu Ilmu Silat Bintang Terbang yang merupakan ilmu silat tertinggi yang dimilikinya.

Sementara itu, diam-diam Siu Bi mengeluh. Kiranya pemuda ini benar-benar lihai sekali sehingga jangan bicara tentang merobohkan tanpa melukai, mengalahkan pemuda ini saja masih merupakan hal yang belum tentu kecuali kalau ia mainkan Hek-in-kang. Akan tetapi kalau ia keluarkan ilmu ini, tak mungkin lagi mengalahkan tanpa membahayakan jiwa lawannya.

“Kenapa tidak keluarkan Hui-seng (Bintang Terbang)??” tiba-tiba nenek itu berseru menegur murid dan kekasihnya.

Melihat Ouwyang Lam sampai puluhan jurus belum mampu mengalahkan lawan, Ang-hwa Nio-nio menjadi marah dan penasaran. Hal ini akan membikin malu padanya, merendahkan nama Ang-hwa Nio-nio sekaligus Ang-hwa-pai!

Memang hal ini amat luar biasa bagi para anggauta Ang-hwa-pai. Biasanya, Ouwyang-kongcu merupakan orang yang amat lihai, hanya kalah oleh Ang-hwa Nio-nio dan begitu ia turun tangan semua tentu beres. Belum pernah para anggauta ini melihat ada lawan yang mampu melawan Ouwyang-kongcu lebih daripada sepuluh jurus.

Akan tetapi sekarang, dara remaja yang menjadi tawanan dua orang pembantu itu ternyata mampu menahan terjangan Ouwyang-kongcu sampai begitu lama tidak tampak terdesak! Tentu saja hal ini tidak mengherankan bagi Ouwyang-kongcu dan bagi Ang-hwa Nio-nio karena kedua orang ini cukup maklum bahwa dua orang pembantu mereka sama sekali bukanlah lawan gadis ini. Mereka dapat melawannya tentu karena hasil daripada Ang-tok-san yaitu bubuk racun merah yang dapat membius lawan.

Mendengar seruan Ang-hwa Nio-nio, Ouwyang Lam ragu-ragu. Betapapun juga, dia belum kalah dan biarpun dia tidak dapat mendesak gadis itu, namun sebaliknya diapun tidak terdesak. Mereka sama kuat dan hal ini membuat hatinya gembira dan kagum bukan main.






No comments:

Post a Comment