Ads

Wednesday, February 13, 2019

Jaka Lola Jilid 001

The Sun memasuki dusun Ling-chung dengan langkah seenaknya. Pemandangan di sepanjang perjalanan tadi amat indah, mendatangkan rasa tenang dan tenteram di hati, menggembirakan perasaannya.

Setelah bertahun-tahun berkecimpung di kota dan sibuk dengan urusan kerajaan, pertempuran dan peperangan, sekarang keadaan di dusun-dusun terasa amat aman dan tenteram baginya. Musim panen sudah hampir tiba, padi dan gandum di sawah sudah hamil tua, siap untuk dipotong.

Penduduk dusun, tua muda laki perempuan agaknya enggan meninggalkan sawah ladang yang mereka pelihara setiap hari seperti memelihara anak-anak sendiri, enggan meninggalkan harta pusaka yang juga merupakan penyambung nyawa mereka, padi-padi menguning. Mereka siang malam menjaga keras terhadap gangguan burung di waktu siang dan tikus-tikus di waktu malam.

The Sun adalah anak murid Go-Bi-san, putera mendiang The Siu Kai seorang pembesar militer Mongol yang sekeluarganya terbasmi habis oleh Ahala Beng, kecuali The Sun yang dapat menyelamatkan diri.

Didalam cerita PENDEKAR BUTA, diceritakan betapa The Sun yang cerdik, lihai dan bercita-cita tinggi berhasil menjadi orang kepercayaan Kaisar Hui Ti atau Kian Bun Ti, akan tetapi dalam perang saudara antara Hui Ti dan pamannya, Raja Muda Yung Lo, Hui Ti kalah dan kerajaan dirampas oleh Raja Muda Yung Lo.

Dalam pertempuran hebat, The Sun dan teman-temannya kalah oleh Pendekar Buta dan teman-temannya, nyaris dia tewas kalau saja dia tidak ditolong oleh kakek gurunya, Hek Lojin, yang berhasil membawanya lari. Namun Hek Lojin, tokoh Go-bi itu, juga terluka oleh Pendekar Buta, lengan kirinya menjadi buntung!

Peristiwa itu baru beberapa bulan saja terjadi. Setelah mengantar kakek gurunya yang terluka itu ke puncak Go bi-san, The Sun yang tidak betah tinggal di puncak gunung yang sunyi dan dingin, lalu turun gunung.

Akan tetapi amat jauh bedanya The Sun dahulu dan sekarang. la masih tetap tampan dan gagah, gerak-geriknya lemah-lembut, namun pakaiannya kini adalah pakaian sederhana, bukan pakaian pembesar maupun pelajar yang pesolek lagi. Malah dia tidak membawa-bawa pedang. la harus menyamar sebagai seorang penduduk biasa, karena tentu saja dia merupakan seorang yang dicari oleh pemerintah baru, yaitu pemerintah Kaisar Yung Lo atau yang sekarang disebut Kaisar Cheng Tsu.

Biarpun kota raja sudah dipindahkan ke utara (Peking), namun masih banyak orang-orangnya kaisar baru ini yang akan mengenalnya dan akan senang menangkapnya untuk mencari pahala.

Oleh karena inilah, The Sun tidak berani ke selatan, dan kini dia hendak melakukan perantauan keutara. Seenaknya dia melakukan perjalanan, menikmati ketentraman dusun-dusun dan diam-diam dia merasa betapa bodohnya dia dahulu, mencari keributan dan kesenangan hanpa belaka di kota raja.

Alangkah indahnya pemandangan di gunung-gunung, sawah-sawah hijau segar, gadis-gadis dusun yang memiliki kecantikan segar dan wajar, sehat dan pipinya merah jambu tanpa yanci (pemerah pipi). Penyamarannya membuat dia berlaku hati-hati sekali. Biarpun hatinya masih jungkir balik kalau melihat gadis-gadis dusun yang manis segar itu, namun tidak seperti dulu kalau melihat wanita cantik dia terus saja berusaha mendapatkannya secara kasar maupun halus, dia sekarang hanya menelan ludah, menekan perasaan dan kalau gadis itu terlalu cantik dan membalas senyumannya, dia sengaja membuang muka dan mempercepat langkah meninggalkannya.

The Sun sesungguhnya adalah keturunan orang besar. la menjadi rusak dan dahulu berwatak sombong, mau menang sendiri, mata keranjang, adalah karena pengaruh lingkungan dan hubungannya. Buktinya sekarang setelah dia berkelana seorang diri, tidak mempunyai kedudukan dan tidak mempunyai senderan, tidak ada sesuatu yang boleh dia andalkan, dia dapat menguasai perasaan dan nafsunya.

Memang betul kata-kata orang bijak bahwa KESEMPATAN-lah yang membuat orang menjadi LEMAH, yaitu lemah terhadap dorongan nafsu-nafsu buruk. Setiap perbuatan maksiat, pertama kali dilakukan orang tentu karena mendapat kesempatan inilah. Kemudian menjadi kebiasaan dan membentuk watak.

Dusun King-chung tampak sunyi karena sebagian besar penghuninya pada sibuk menjaga sawah dengan wajah gembira penuh harapan. The Sun melihat kekanan kiri, mencari-cari sebuah warung nasi dengan pandang matanya, karena pagi hari itu dia amat lapar setelah melakukan perjalanan semalam suntuk tanpa berhenti.

Mendadak dia mendengar lapat-lapat suara wanita menjerit. Telinganya yang terlatih dapat menangkap ini dan seketika dia meloncat dan lari menuju keutara, kearah suara itu. Di sebelah utara dusun ini sunyi sekali, tak tampak seorangpun manusia, bahkan bagian ini merupakan bagian yang tidak subur dari dusun itu, banyak terdapat rawa yang tak terurus. Di sudut sana tampak sebuah rumah tua yang agaknya tidak ditinggali orang.





“Tolong…..!” sekali lagi terdengar jeritan lemah dan The Sun segera mempercepat larinya menuju ke rumah tua karena dari sanalah pekik itu datangnya.

Dengan gerakan seperti seekor burung garuda melayang, dia melompat dan setibanya di dalam rumah tua melalui pintu yang tidak berdaun lagi, dia tertegun dan matanya membelalak memandang ke dalam. Mukanya seketika menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi-api. Apa yang tampak olehnya di sebelah dalam rumah rusak itu benar-benar membuat The Sun marah sekali.

Diatas lantai yang kotor duduk menangis seorang wanita muda yang pakaiannya robek-robek di bagian atas sehingga tampak pundak dan sebagian dadanya yang berkulit putih seperti salju, Wanita ini cantik jelita dan mukanya pucat, rambutnya awut-awutan. Disana-sini kelihatan robekan kain pakaiannya, dan sebagian daripada robekan kain masih berada di tangan seorang laki-laki yang berdiri membungkuk di depan wanita itu.

Laki-laki yang menyeramkan. Tinggi besar seperti raksasa, rambut panjang terurai, mukanya buruk dan sikapnya kasar dan canggung sekaii, sepasang matanya membuat orang bergidik, karena mata seperti itu biasanya hanya terdapat pada muka orang gila. Mata yang liar, bodoh dan aneh.

“Bangsat kurang ajar! Berani kau mengganggu wanita?” bentak The Sun sambil meloncat kedalam.

Laki-laki tinggi besar itu, tiba-tiba membalikkan tubuh dan mengeluarkan suara menggereng seperti harimau, tiba-tiba dia tertawa bergelak dan suaranya seperti gembreng pecah.

“Pergi kau! jangan ikut campur, dia milikku, heh-heh-heh”

The Sun termangu dan meragu, lalu menoleh kepada wanita itu. Mungkinkah si jelita ini milik orang gila itu? Isterinya?

Sambil tertawa-tawa si gila itu kembali mendekat, tangannya yang besar dan kasar hendak meraih si cantik. Wanita itu bergidik dan berseru lemah,

“Jangan sentuh aku…..! Kang Moh, jangan….. kau… kau bunuh saja aku…..”

The Sun makin bingung.
“Nona….. eh, Nyonya…… dia siapakah? Apakah suamimu?”

“Bukan…..! Sama sekali bukan! Dia orang gila di dusun ini….. ah, Tuan, tolonglah, suruh dia pergi dan jangan biarkan dia ganggu aku…… lebih baik aku mati, ya Tuhan..,.,” Ia menangis sedih sekali.

“Keparat! Mundur dan minggat kau!”

The Sun kini maju dengan hati tetap. Lega hatinya bahwa wanita ini bukan isteri si gila ini dan kemarahannya timbul kembali, malah lebih hebat daripada tadi.

Kang Moh buaya gila itu tiba-tiba memekik keras dan menerjang maju, menghantam The Sun. Gerakannya kuat sekali, membayangkan tenaga yang luar biasa, sedangkan gerakan tangan kakinya menunjukkan bahwa sedikit banyak orang ini pernah belajar silat.

Namun yang diserang kini adalah The Sun. Orang sekampung itu boleh takut kepadanya, akan tetapi menghadapi The Sun, dia seperti menghadapi kakek gurunya. Sekali dia miringkan tubuh dan menggeser kaki kekiri, The Sun sudah menghindarkan diri dari terjangan lawan, kemudian dua kali tangannya bergerak sekali menotok leher, kedua kalinya menusuk ulu hati dengan jari-jari terbuka.

Terdengar suara “ngekkk!” dan tubuh Kang Moh yang tinggi besar itu roboh terjengkang seperti pohon ditebang dan….. dia tidak bergerak-gerak lagi karena dua kali pukulan tadi ternyata sudah mengirim nyawanya meninggalkan badan. Matanya mendelik dan dari mulut, hidung dan telinganya keluar darah!

The Sun bekerja cepat. Sekali renggut dia telah membuka jubah si gila itu.
“Nona, kau pakailah ini, untuk sementara lumayan guna menutupi pundakmu.”

Wanita itu berdiri dengan lemah, mukanya yang tadinya pucat menjadi agak merah, tampak gugup dan malu-malu. Kemudian, setelah menutupkan jubah yang berbau apek itu keatas pundaknya, ia menjatuhkan diri berlutut di depan The Sun.

“Terima kasih….. terima kasih, Tuan….. tapi tiada gunanya…,. ah, tiada gunanya aku hidup…..” la menangis terisak-isak dan tak dapat melanjutkan kata-katanya.

Sementara itu, The Sun sudah mendapat kesempatan memandang. Wanita ini bukan main cantik jelitanya dan aneh sekali jantungnya berdegup tidak karuan. Banyak dia mengenal wanita cantik, akan tetapi agaknya baru kali ini ada seorang wanita yang dapat membuat dia marah bukan main tadi dan kini membuat jantungnya berdebar keras.

Wajah manis itu seperti pisau belati menikam ulu hatinya, mendatangkan rasa kasihan yang tiada dasarnya. Mata itu, hidung dan mulut itu, seakan-akan menggurat-gurat kalbunya, menggores-gores jantungnya, minta dikasihani.

Dengan kedua kaki lemas, The Sun lalu berlutut pula di depannya.
“Jangan berduka, Nona. Kesukaran apakah yang kau hadapi? Dia itu kurang ajar kepadamu? Lihat, sudah kubikin mampus dia! Manusia macam dia berani mengganggumu? Biar ada seratus orang macam dia, semua akan kubasmi kalau mereka berani mengganggumu!”

Mendengar ucapan yang penuh kemarahan ini, wanita itu mengangkat muka memandang. Muka yang kini pucat kembali, yang amat ayu dan patut dikasihani, yang basah air mata.

“Saya berterima kasih sekali bahwa Tuan telah menolong saya dari tangan Kang Moh yang gila itu, akan tetapi….. Inkong (Tuan Penolong) semua itu percuma….. tak dapat membebaskan diri saya daripada kesengsaraan….. dan jalan satu-satunya bagi saya hanya mati…..”

“Tidak ada kesulitan di dunia ini yang tak dapat diatasi. Memilih jalan kematian adalah pikiran sesat. Nona, percayalah kepadaku, aku The Sun siap untuk menolongmu sampai titik darah terakhir. Kau ceritakan saja kepadaku kesukaran apa yang kau derita.”

Mendengar ucapan yang tegas dan sikap yang sungguh-sungguh ini, wanita itu menjadi terharu sekali, lalu terisak-isak ia menceritakan penderitaamya. la bernama Ciu Kim Hoa, semenjak kecil ia sudah diberikan oleh ayah bundanya kepada seorang pamannya, karena ayah bundanya bercerai dan kawin lagi. Pamannya bukanlah orang baik-baik, selama hidup di rumah pamannya, ia diperas tenaganya, bekerja kasar dan berat. Beberapa kali ia mencoba untuk minggat, akan tetapi selalu gagal dan hasilnya hanya gebukan dan tendangan.

“Kekejaman itu masih dapat saya tahan, Inkong, karena kadang-kadang paman itupun bersikap baik dan kedukaan saya terhibur. Akan tetapi, setahun yang lalu dia telah menjual saya kepada keluarga Lee di dusun ini dan mulailah penderitaan batin yang tak tertanankan lagi…..” la menangis terisak-isak.

Diam-diam The Sun menaruh kasihan. Wanita begini lemah dan cantik jelita, mengapa nasibnya demikian buruk? la membiarkan nona itu menangis sejenak, lalu menghibur,

“Sudahlah, Nona. Semua penderitaan itu takkan terulang kembali, ceritakan selanjutnya, mengapa kau menderita di rumah keluarga Lee?”

Setelah menghapus air matanya, wanita itu melanjutkan,
“Kalau di rumah paman saya hanya menderita lahir, di rumah ini saya menderita lahir batin. Mula-mula kedua orang tua dari keluarga itu baik terhadap saya, akan tetapi tiga bulan kemudian saya dijadikan permainan oleh tiga orang anak laki-lakl keluarga Lee. Usia mereka antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, mereka laki-laki yang kejam. Saya tak dapat menolak, tak dapat melarikan diri, beberapa kali mencoba membunuh diri juga mereka halang-halangi, ah….. In-kong….. apa artinya lagi hidup ini…..?”

The Sun menggigit gigi sampai mengeluarkan bunyi berkerot. Selain kasihan kepada wanita ini, diapun merasa hatinya panas dan marah sekali.

“Teruskan…… teruskan…..!” Desaknya dengan suara keras dan napas memburu.

“In-kong….. betapa hancur hati saya ketlka saya mendapatkan diri saya….. mengandung! Saya ceritakan kepada mereka dan menuntut supaya dikawin dengan sah. Tapi apa yang saya dapatkan? Mereka marah-marah. Saya diusir dengan tuduhan main gila dengan laki-laki luar, padahal mereka bertigalah yang memaksa dan mempermainkan saya.”







No comments:

Post a Comment