Ads

Wednesday, January 30, 2019

Pendekar Buta Jilid 073

Setelah Kian Bun Ti menduduki singgasana menjadi kaisar dan terkenal juga dengan nama Hui Ti (pada tahun 1399), timbullah persaingan hebat di kota raja untuk memperebutkan kedudukan.

Sebagian banyak pangeran tua merasa tidak puas melihat Hui Ti menjadi kaisar, karena mereka sudah mengenal Pangeran Kian Bun Ti sebagai seorang muda yang hanya mengejar kesenangan belaka. Akan tetapi, para pangeran muda dan para pembesar yang mendapat kedudukan baik setelah Kian Bun Ti naik tahta, tentu saja mati-matian membela kaisar baru ini. Dengan demikian, maka diam-diam terjadilah permusuhan. Keadaan kota raja seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu tentu akan meletus.

Biarpun kaisar Hui Ti yang muda itu sendiri adalah seorang yang keahliannya hanya mengejar wanita cantik dan bersenang-senang, namun para pembantunya yang juga mempertahankan kedudukan mereka masing-masing, adalah orang-orang pandai yang banyak pengalaman.

Karena itu, untuk memperkuat kedudukan kaisar baru ini, para menteri dan pembesar tinggi, terutama golongan bu (militer) segera memperkuat penjagaan, memperkuat barisan dan mendatangkan banyak ahli-ahli dari luar. Selain itu, setiap hari diadakan pembersihan untuk membasmi mereka yang dianggap sebagai lawan, mereka yang dianggap membahayakan kedudukan Hui Ti dan para pembesar pendukungnya.

Seperti sudah lazim terjadi, bilamana angin puyuh bertiup, yang rontok bukan hanya daun-daun kering dan buah-buan busuk, juga daun-daun segar dan buah-buah muda bisa saja terlanda angin puyuh dan rontok semua.

Dalam keadaan negarapun demikian. Bilamana keributan terjadi, yang menjadi korban bukan hanya mereka yang memang tersangkut, juga yang tidak tahu apa-apa bisa saja menjadi korban. Sudah tentu saja menurut rencana para pembesar yang mengatur ini semua, yang harus dibersihkan adalah mereka yang berbahaya, mereka yang diam-diam mempunyai niat untuk melawan dan menumbangkan kekuasaan kaisar baru untuk diganti dengan kaisar pilihan mereka sendiri.

Akan tetapi dalam pelaksanaannya banyak sekali terjadi penyelewengan dan penyalah gunaan kekuasaan sehingga terjadilah pemerasan, penyelewengan dan kejahatan yang berdasarkan fitnah. Bisa saja terjadi seorang petugas kecil mendatangi seorang hartawan dan melancarkan fitnah keji bahwa hartawan itu termasuk anti kaisar baru. Kemudian dengan alasan “melindungi”, si petugas kecil itu menerima “uang jasa” yang jumlahnya melebihi besarnya jumlah upahnya sepuluh tahun! Ini baru contoh kecil-kecilan saja, banyak terjadi hal yang lebih hebat daripada contoh itu.

Kota raja goncang karena pertentangan-pertentangan ini. Penduduk kota raja dicekam kekuatiran. Banyak malah yang pergi mengungsi keluar daerah, memilih tempat tinggal di dusun-dusun jauh dari kota raja, dimana rakyatnya tidak sedikitpun merasai akibat ketegangan politik di kota raja.

Akan tetapi ketenteraman inipun hanya sementara saja mereka rasakan, karena tak lama kemudian pembersihan dilakukan sampai ke dusun-dusun pula dimana tangan-tangan iseng dari manusia-manusia berbatin rendah itu menyebar fitnah kesana kemari sambil mencari kesempatan mengeduk kekayaan sebanyak mungkin.

Kota raja dijaga ketat. Semua pintu gerbang kota raja dijaga oleh para pasukan pilihan, dan di dalam kota raja sendiri penuh dengan mata-mata yang melakukan penyelidikan agar jangan sampai kota raja diselundupi kaki tangan lawan. Memang paling repot menghadapi lawan yang tidak diketahui dari mana datangnya ini. Lawan-lawan yang bisa saja menyelundup ke dalam golongan pedagang, pengemis, buruh, seniman, malah bisa jadi menyelundup ke dalam golongan pembesar dan perajurit sendiri.

Pada suatu pagi, pagi-pagi sekali diluar pintu gerbang sebelah utara, tampak seorang laki-laki muda yang pakaiannya sederhana tapi bersih, berdiri dengan tongkat di tangan dan kepala tunduk. Orang ini bukan lain adalah Si Pendekar Buta, Kwa Kun Hong.

Telah kita ketahui bahwa setelah berpisah dari Song-bun-kwi, Pendekar Buta ini pergi ke kota raja. Banyak hal yang harus dia selidiki, selain persoalan yang menyangkut Thai-san-pai juga soal mahkota kuno yang mengandung rahasia kenegaraan besar itu, yang kini berada dalam bungkusan pakaian yang digendongnya.

Biarpun dia buta, namun karena kepandaiannya yang tinggi, dia dapat juga melakukan perjalanan cepat. Sambil bertanya-tanya di sepanjang jalan, akhirnya dia sampai juga diluar pintu gerbang sebelah utara. Baru saja dia mendengar keterangan bahwa tidaklah mudah untuk memasuki kota raja, karena setiap orang dicurigai dan pintu gerbang dijaga keras.

Sedikit saja menimbulkan kecurigaan para penjaga, tentu akan ditangkap dan dimasukkan tahanan. Inilah yang membuat Kun Hong ragu-ragu dan hati-hati. Dia tidak takut dicurigai, tidak takut pula ditangkap. Akan tetapi karena mahkota kuno itu berada padanya, amatlah tidak baik kalau sampai dia tertawan. Mahkota itu harus dia jaga, kalau perlu berkorban nyawa.





Betapapun juga, Kun Hong sudah mempunyai dasar Watak berhati-hati, tidak mau sembarangan mempercaya berita yang didengamya tentang keburukan seseorang. Dia sudah mendengar dari Tan Hok tentang Pangeran Kian Bun Ti yang sekarang sudah menjadi kaisar dan bahwa hal ini amatlah buruk akibatnya, karena pangeran itu bukanlah seorang yang patut menjadi kaisar.

Karena itulah maka mendiang kaisar tua telah meninggalkan surat rahasia yang disimpan didalam mahkota kuno itu, surat rahasia yang memberi kuasa kepada Pangeran Tua Yung Lo di utara untuk bertindak terhadap kaisar baru.

Akan tetapi, Kun Hong tidak merasa puas kalau tidak mendengar sendiri keadaan dikota raja. Karena ini, dia sengaja pergi ke kota raja hendak melakukan penyelidikan dan mencari sahabat-sahabatnya, yaitu perkumpulan Hwa I Kaipang.

Dia dapat mempercayai Hwa I Kaipang, karenanya dia hendak minta bantuan mereka ini, selain menyelidiki tentang keadaan kaisar baru, juga menyelidiki tentang musuh-musuh Thai-san-pai itu.

Selagi Kun Hong berdiri ragu-ragu diluar pintu gerbang tembok kota raja, menimbang-nimbang bagaimana dia dapat memasuki kota raja yang terjaga kuat itu, tiba-tiba dia mendengar langkah kaki dua orang mendekatinya dari arah belakang.

Dia mengira bahwa dua orang itu tentulah orang-orang yang lewat dan akan memasuki pintu gerbang, maka dia tidak menaruh perhatian. Baru dia kaget dan heran ketika dua orang itu berhenti di depannya dan terdengar suara halus seorang laki-laki muda,

“Aduh kasihan, semuda ini menanggung derita, tak pandai melihat! Saudara yang buta, kau hendak pergi kemanakah? Biarlah aku menunjukkan jalan yang hendak kau tuju.”

Dengan pendengarannya yang tajam Kun Hong dapat mengerti bahwa dia berhadapan dengan seorang pria muda, paling banyak beberapa tahun lebih tua daripadanya, seorang yang gerak-gerik dan tutur bahasanya halus, pantasnya seorang muda terpelajar, akan tetapi di dalam suara itu juga terkandung tenaga seorang ahli tenaga dalam, seorang yang biasa melakukan samadhi dan menguasai peraturan bernapas. Dia cepat-cepat menjura dengan hormat dan berkata sambil tersenyum,

“Terima kasih banyak. Anda baik hati benar, sudi memperhatikan seorang buta seperti saya.”

Orang itu tertawa, suara ketawanya lembut seperti ketawa wanita.
“Aku dapat menduga bahwa kau bukanlah seorang buta biasa saja. Wajah dan pakaianmu menunjukkan bahwa kau seorang yang berpengetahuan dan terdidik. Kata-kata yang kau ucapkan memperkuat dugaanku. Sahabat, jangan kau curiga. Aku The Sun bermaksud baik terhadap seorang buta yang menarik hatiku. Apakah kau hendak memasuki kota raja? Hayo, boleh bersamaku dan aku tanggung kau takkan diganggu para penjaga goblok itu. Aku sudah mereka kenal baik.”

Berdebar hati Kun Hong, dia memang tadinya menaruh hati curiga, akan tetapi mendengar penawaran ini, dia benar-benar bersyukur di dalam hati. Kesempatan terbaik baginya. Cepat-cepat dia menjura lagi dan berkata,

“Saudara The benar-benar budiman. Aku Kwa Kun Hong seorang buta amat berterima kasih kepadamu. Sesungguhnyalah, aku bermaksud memasuki kota raja mengadu untung, siapa tahu di kota raja aku dapat menolong banyak orang dan mendapat banyak rejeki.”

Hening sejenak, agaknya The Sun itu mengamat-amatinya baik-baik, lalu terdengar dia berkata,

“Ah, saudara Kwa, apakah kau seorang tukang gwamia (ahli nujum)!”

Memang banyak terdapat orang-orang buta yang membuka praktek sebagai ahli nujum, menceritakan nasib orang-orang dengan meraba telapak tangan mereka. Tentu saja, seperti biasa, ahli-ahli nujum ini sebagian besar hanya tukang bohong belaka, mencari korban diantara orang-orang bodoh yang mudah “dikempongi” dan ditarik uangnya.

Kun Hong menggeleng kepala.
“Bukan, aku hanyalah seorang tukang obat biasa, saudara The.”

“Ah, begitukah? Baiklah, mari kita memasuki kota raja dan kau akan kuantarkan dipusat kota yang paling ramai. Mudah-mudahan saja kau akan dapat menyembuhkan banyak orang sakit dan mendapatkan banyak rejeki seperti yang kau harapkan.”

Sambil berkata demikian, orang itu menggerakkan tangan hendak menangkap tongkat Kun Hong, akan tetapi ternyata dia hanya menangkap angin karena seperti tanpa disengaja, Kun Hong sudah lebih dahulu menarik tongkatnya sambil tertawa,

“Terima kasih atas kebaikanmu. Marilah, aku akan mengikuti di belakangmu.”

The Sun tertawa, lalu berjalanlah dia perlahan-lahan menuju ke pintu gerbang, diikuti oleh Kun Hong. Dengan pendengaran telinganya Kun Hong tahu bahwa orang kedua juga berjalan di samping The Sun dan diam-diam dia terkejut juga karena orang itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat, akan tetapi masih juga tidak mampu menandingi kepandaian The Sun yang muda karena jejak kaki The Sun ini sama sekali tidak mengeluarkan suara dan oleh pendengarannya yang amat tajam sekalipun hanya terdengar sedikit seperti langkah seekor kucing saja.

Mulailah dia menaruh curiga. Terang bahwa orang yang mengaku bernama The Sun bersama temannya yang tidak diperkenalkan kepadanya ini adalah dua orang yang memiliki kepandaian silat tinggi. Kebetulankah The Sun ini seorang yang berbudi dan menaruh kasihan kepadanya? Ataukah memang sengaja hendak mendekatinya? Dia harus berhati-hati. Karena kehati-hatiannya pula inilah maka tadi dia sengaja tidak membiarkan tongkatnya dipegang orang itu. Tongkatnya adalah senjata yang paling diandalkan.

Ketika mereka melewati pintu gerbang memasuki kota raja, Kun Hong melangkah dengan hati-hati dan telinganya mendengarkan penuh perhatian. Tidak terjadi sesuatu, kecuali seorang diantara para penjaga agaknya yang menegur dengan suara menghormat.

“Sepagi ini The-kongcu (tuan muda The) baru pulang, agaknya mendapatkan kesenangan malam tadi. Selamat pagi, Kongcu!”

Lalu disusul suara penjaga kedua,
“Lo-ji, kau benar lancang mulut! Seorang siucai (lulusan pelajar) seperti The-kongcu mana bisa kau samakan dengan kau yang suka keluyuran di waktu malam? Kongcu, kalau Kongcu kehendaki, biar saya mewakili Kongcu menampar muka Lo-ji yang kurang ajar ini!”

The Sun itu tertawa perlahan, agaknya dia amat dihormat, disegani, juga disukai para penjaga, terbukti dari keramahannya dan dari sikap para penjaga yang biarpun amat menghormatinya dan amat takut kepadanya, namun berani pula bermain-main.

“Sudahlah, sepagi ini sudah berkelakar. Jaga saja baik-baik sampai kalian diganti penjaga baru. Aku mengajak sahabat buta tukang obat ini memasuki pintu gerbang, aku yang menanggung dia.”

“Silakan……….. silakan………..” bak mulut penjaga berkata ramah.

Setelah mereka berhasil melewati pintu gerbang dan tiga lapis penjagaan, Kun Hong mendengar The Sun berkata,

“Mulai sekarang tidak ada penjagaan lagi.”

Kun Hong menjura dengan hormat,
“Saudara ternyata adalah seorang kongcu dan seorang siucai pula, harap suka memaafkan karena mata saya buta, saya tidak tahu dan telah berlaku kurang hormat. Budi Kongcu amat besar, Kongcu amat baik kepada saya dan terima kasih saya ucapkan.”

“Ah, saudara Kwa Kun Hong, kenapa begini banyak sungkan? Biarpun kau seorang yang menderita kebutaan, akan tetapi akupun dapat menduga bahwa kau bukan seorang biasa yang tidak tahu apa-apa, Sikapmu penuh sopan dan kau tahu aturan, tanda bahwa kaupun seorang yang pernah mempelajari kebudayaan. Marilah, mari kuantar kau ke tempat yang ramai agar disana kau dapat mulai dengan pekerjaan itu.”

Kembali Kun Hong menjura, di dalam hati dia merasa amat curiga, akan tetapi di luarnya dia pura-pura bersikap tidak enak.

“Mana saya berani mengganggu Kongcu lebih lama lagi? Budi Kongcu membawa saya masuk saja sudah amat besar. Harap Kongcu meninggalkan saya disini saja, biar saya berjalan perlahan mencari-cari langganan. Dengan tanya-tanya agaknya saya akan sampai juga ke tempat ramai.”

“Ih, mana bisa begitu? Akupun hendak menuju sejalan denganmu. Marilah, tak usah sungkan.”






No comments:

Post a Comment