Ads

Monday, January 28, 2019

Pendekar Buta Jilid 069

Loan Ki baru sekarang dapat melihat pedang itu dengan jelas. Ia kagum dan heran. Kagum karena sebagai puteri seorang pendekar pedang, tentu saja ia juga seorang ahli pedang dan tahu akan pedang-pedang baik. Biarpun hanya melihat dari tempat jauh, ia dapat menduga bahwa pedang aneh itu terbuat daripada bahan yang baik sekali. Bukan baja yang baik kalau tidak dapat mengeluarkan suara mengaung seperti itu ketika dicabut dari sarungnya. Pedang itu tajam seperti silet, bermata sebelah dan termasuk golongan pedang panjang.

Akan tetapi karena agak melengkung, tentu cara memainkannya seperti orang bermain golok. Anehnya, gagangnya terlampau panjang sehingga ia meragu apakah dengan gagang pedang macam itu orang dapat bersilat dengan baik? Dengan hati berdebar ia melihat betapa pemuda Jepang itu sudah siap, memasang kuda-kuda yang amat teguh, tubuh merendah, mata tenang tajam memandang lawan dan……….. kedua tangannya memegang gagang pedang itu. Hampir Loan Ki tertawa. Inilah aneh, pikirnya.

Biarpun tadi sudah menyaksikan sendiri betapa lihainya Samurai Merah ini membabat buntung tangan ketiga orang pembantunya, namun melihat pasangan kuda-kuda Jago muda Jepang itu, Lauw Teng memandang rendah. Sambil membentak keras dia menerjang lagi, goloknya seperti baling-baling diputar makin lama makin cepat, merupakan gulungan sinar putih mengurung diri lawan.

“Haiiiiit!”

Samurai Merah mengayun samurai sambil meloncat. Terdengar suara nyaring disusul bunga api muncrat ketika dua senjata itu bertemu di udara. Diam-diam mereka memuji tenaga lawan yang dapat membuat tangan masing-masing bergetar. Namun Lauw Teng yang sudah banyak pengalaman itu terus menerjang, mempergunakan kegesitannya karena melihat betapa ilmu pedang lawan ini kurang gesit nampaknya.

Dugaannya keliru. Biarpun gerak-geriknya kaku dan aneh, kiranya jago muda Jepang itu dapat mengimbangi permainannya, melompat-lompat dan seakan-akan bukan dia yang mainkan pedang, melainkan pedangnya yang bergerak-gerak dan membawa serta tubuhnya.

Tubuh dan pedang seakan-akan menjadi satu ketika mencelat kekanan kiri untuk menangkis dan balas membacok! Kalau sudah bersilat seperti itu, tidak banyak bedanya kedudukan tubuhnya dengan para ahli pedang di Tiongkok.

Akan tetapi setiap kali ada kesempatan dan tidak terdesak, tentu dia akan berdiri tegak memasang kuda-kuda diatas tanah, diam tak bergerak bagaikan patung, hanya matanya yang liar bergerak bijinya mengikuti gerakan lawan sedangkan pedangnya yang dipegang dengan kedua tangan itu diacungkan ke depan dada, ujungnya mengikuti gerakan lawan pula.

Loan Ki tertawa senang. Boleh juga bocah ini, pikirnya. Apalagi kalau sedang berdiri seperti itu mengikuti gerakan lawan, gagah juga!

“Keparat, mampuslah!” teriak Lauw Teng yang sudah menerjang lagi, sejenak dia berhenti dan mengkal hatinya melihat lawannya seperti patung tidak balas menyerang atau lebih tepat, tidak mau mendahului menyerang itu.

Akan tetapi kembali begitu dia menyerang, Samurai Merah itu selain menangkis dan mengelak, juga balas membacok. Bahkan kali ini tidak ada bacokan golok yang tidak dibalas. Setiap bacokan dibalas dengan bacokan pula sehingga pertandingan itu ramai bukan main. Seru dan setiap kali pedang atau golok berkilat, berarti tangan maut menjangkau mencari nyawa!

“Aduh sayang………..” diam-diam Loan Ki menyesal melihat jalannya pertandingan seperti itu. “Ilmu pedangnya aneh dan boleh juga, tapi kenapa demikian lambat dan banyak membiarkan kesempatan lalu percuma? Kurang agresip, wah, sayang benar. Kalau lebih agresip sedikit saja, dalam belasan jurus si katak gendut itu tentu sudah dapat dikalahkan.”

Memang pendapat Loan Ki ini benar. Ilmu pedang Samurai Merah itu amat kuat dalam pertahanan, malah setiap bertahan selalu dirangkai dengan serangan balasan. Akan tetapi kurang cepat dan kurang agresip. Biasanya, pemain pedang malah menghujani serangan dengan maksud membuat lawan bingung dan lemah pertahanannya sehingga banyak terdapat lowongan-lowongan untuk dimasuki.

Akan tetapi, permainan pedang gaya Jepang ini agaknya hanya mencari lowongan diwaktu lawan menyerang. Memang hal itu benar juga karena setiap penyerangan berarti membuka pintu pertahanan, namun karena dia sendiri sudah diserang, maka tentu saja penyerangan balasannya kurang kuat karena tidak dilakukan dengan tenaga dan perhatian sepenuhnya. Sebagian tenaga dan perhatian sudah dipakai untuk mempertahankan diri dari penyerangan lawan.

Betapapun juga, lambat laun Samurai Merah dapat mendesak Lauw Teng. Memang harus diakui bahwa selain ilmu pedangnya aneh dan sukar diduga perkembangannya, juga pemuda ini menang gesit dan menang kuat. Kini penyerangan Lauw Teng makin lemah dan balasan dari Sarnurai Merah itu makin hebat. Malah setiap bacokan dibalas dengan dua tiga kali bacokan sekaligus yang membuat Lauw Teng kelabakan!





Karena makin lama makin repot, timbul rasa takut di hati Lauw Teng sehingga ketua Hui-houw-pang yang amat terkenal di Propinsi Shan-tung sebagai perkumpulan perampok yang ganas ini mulai berteriak-teriak minta tolong dan bantuan dari anak buahnya!

Inilah saat yang dinanti-nanti oleh para perampok itu. Semenjak tadi mereka sudah mendongkol dan marah sekali kepada pemuda yang agaknya akan diambil hatinya oleh ketua mereka. Mendengar teriakan sang ketua, mereka serentak lalu melakukan pengeroyokan dengan senjata di tangan.

Samurai Merah tertawa bergelak, lalu mengamuk. Terdengar pekiknya yang dahsyat “Yaaaattt!” berkali-kali dan tiap kali dia memekik, tentu seorang diantara pengeroyoknya roboh mandi darah, dan selalu samurainya mendapat korban, membabat putus tangan, kaki, hidung, telinga, bahkan ada dua orang yang puntung lehernya!

Pertempuran makin hebat mengerikan dan biarpun jago muda Jepang itu mengamuk seperti seekor harimau muda, menghadapi pengeroyokan para perampok yang nekat dan rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi itu, dia kewalahan juga.

Loan Ki merasa sudah cukup lama menjadi penonton. Ia melayang turun dari atas cabang pohon, membuat lima orang gadis yang sudah ketakutan setengah mati menyaksikan orang-orang bertempur, darah muncrat dan tubuh luka-luka itu, kini kaget bukan main melihat betapa dari atas pohon tiba-tiba “terbang” seorang manusia melewati kepala mereka!

“Hemmm, Lauw Teng perampok hina, masih beranikah kau menjual lagak mengandalkan pengeroyokan menghina orang?”

Lauw Teng menengok dan wajahnya seketika rnenjadi pucat. Tentu saja dia mengenal gadis yang berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang dengan sikap gagah itu. Siapa lagi kalau bukan dara lincah yang amat perkasa, yang pernah tanpa gentar merobohkan banyak anak buah Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang digabung menjadi satu. Apalagi kalau dia ingat bahwa munculnya gadis sakti ini mungkin sekali disusul oleh pendekar buta yang seperti iblis itu, hatinya sudah setengah membeku saking takut dan gentarnya.

“Kawan-kawan…. mundur…..!”

Dia memekikkan aba-aba ini sambil mendahului anak buahnya lari tunggang-langgang meninggalkan gelanggang pertempuran. Tentu saja para anak buahnya juga ketakutan melihat munculnya Loan Ki yang sudah mereka kenal kelihaian pedangnya. Jago muda Jepang itu saja sudah cukup berat dilawan, apalagi muncul dara hebat ini.

Terjadilah perlombaan yang menarik, lomba lari tunggang-langgang bersicepat meninggalkan tempat itu tanpa perdulikan lagi teman-teman yang tewas atau terluka. Bahkan mereka yang terluka berusaha pula melarikan diri, biarpun mereka harus merangkak-rangkak dan terhuyung-huyung.

Sebentar saja sunyilah disitu dan para penjahat yang tinggal hanyalah mereka yang sudah tewas, yaitu dua orang yang putus lehernya karena mereka ini tentu saja tidak mungkin dapat berlari lagi. Selain mayat dua orang penjahat ini, disitu berserakan pula potongan-potongan tangan, kaki, hidung, telinga dan ceceran darah. Mengerikan sekali!

Sampai lama Nagai Ici berdiri melongo memandang Loan Ki yang tersenyum geli menyaksikan tingkah laku para perampok itu, Hampir saja jago muda dari Jepang ini tidak percaya akan pandangan mata sendiri dan pendengaran telinga sendiri. Mimpikah dia? Ataukah benar-benar dia melihat bidadari turun dari kahyangan dan begitu melihat bidadari ini para perampok yang ganas dan kejam itu lari tunggang-langgang ketakutan? Inilah hal aneh yang baru pertama kali selama hidupnya dia saksikan.

Seorang dara jelita berpakaian seperti seorang pendekar, yang membawa-bawa pedang di pinggangnya, gadis cilik berusia belasan tahun, ditakuti kawanan perampok yang ganas dan kejam? Hampir Nagai Ici tertawa geli.

Melihat lima orang gadis tawanan tadi, timbul kasihan di hatinya karena sifat mereka itu sama dengan wanita-wanita di negerinya, lemah-lembut dan tak berdaya membutuhkan pertolongan pria yang kuat.

Akan tetapi dara muda ini, yang membawa-bawa pedang, sama sekali bukan membutuhkan perlindungan dan bantuannya, malah sebaliknya seperti membantunya karena kemunculannya mengusir para penjahat yang tadi sudah membuat dia kewalahan dan repot terdesak. Laki-laki atau perempuankah orang ini? Melihat sikap dan gerak-geriknya yang begitu gesit cekatan dan gagah, patutnya seorang pria.

Akan tetapi melihat wajah yang begitu manis dan kulit yang begitu halus, bentuk tubuh yang begitu ramping dan padat tanpa otot-otot tentunya seorang wanita. Malah wanita yang cantik jelita, dengan mata seperti bintang kejora, pipi sehat kemerahan, mulut yang amat manis. Bukan main! Manusiakah atau bidadarikah?

Setelah semua penjahat melarikan diri, tiba-tiba Loan Ki merasa seakan-akan ada sesuatu yang menarik dan memaksanya menoleh. Ia membalikkan tubuh memandang dan……….. dua pasang mata saling pandang, dua sinar mata bertemu di udara dan seakan-akan mengandung besi sembrani, sinar mata itu bertaut dan saling tempel sukar dilepaskan lagi!

Pandang mata sipemuda penuh keheranan, kekaguman, dan penghormatan. Pandang mata si pemudi penuh keramahan, pengertian, kegigihan dan setengah mengejek atau menantang! Bibir Loan Ki bergerak mengarah senyum, geli dan senang hatinya melihat betapa orang itu melongo seperti orang lupa ingatan, pedang bengkok itu masih dipegang dengan kedua tangan, kedua kaki masih memasang kuda-kuda yang lucu dan aneh itu. Alangkah bagusnya kalau orang itu menjadi patung dan dipasang di depan jalan masuk Pek-tiok-lim tempat tinggal ayahnya, pikir dara yang nakal ini dan pikirannya membuat senyumnya melebar sehingga berkilatlah deretan gigi putih.

Agaknya kilauan gigi putih ini menyadarkan pula Nagai Ici yang terpesona itu. Dia menarik kedua kakinya, memasukkan pedang Samurai ke dalam sarung pedang, merangkap kedua tangan dalam bentuk sembah, ditempelkan di depan dada lalu dia membungkuk dalam sekali sampai tubuhnya hampir berlipat dua.

Makin geli hati Loan Ki menyaksikan penghormatan seperti ini, tapi sebagai seorang gadis ia membalas pula dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada dalam bentuk kepalan, dan tubuhnya dibongkokkan sedikit dengan cara menekuk sedikit lutut kirinya.

“Bolehkah hamba bertanya……….. tuan ini siapakah? Manusia ataukah dewa?” tanya Nagai Ici dengan bahasanya yang kaku namun cukup jelas.

Segera dia melengak kaget dan kembali melongo ketika melihat betapa mahluk yang disangkanya dewa itu tiba-tiba terkekeh, tertawa geli sambil menutupi mulutnya dengan tangan, ciri kewanitaan yang berlaku juga di Jepang!

“Hi-hi-hik……. aduh lucunya……. hi-hik, maafkan aku……. tak tahan aku……. ah, kau lucu sekali. Eh, Nagai Ici yang berjuluk Samurai Merah, pertanyaanmu tadi kukembalikan kepadamu, coba kau terka, aku ini manusia ataukah dewa? Wah, jangan-jangan kau malah tidak tahu pula dari jenis apa aku ini, laki-laki ataukah perempuan………..”

Merah seluruh muka Nagai Ici. Makin bingung dia. Juga makin heran dan kaget. Kalau disebut dewa, terang bukan karena ujudnya jelas manusia, menginjak tanah, tak bersayap, dan malah bau yang harum menyentuh hidungnya. Tetapi kalau dikatakan manusia, kenapa begini aneh dan datang-datang sudah kenal nama dan julukannya segala!

“Saya……. saya tidak tahu……. eh, maksud saya……. tuan seperti manusia……. dan tentunya seorang wanita pula, tapi……. eh, kalau wanita masa ditakuti para perampok dan kalau manusia, mana mungkin manusia wanita dapat meloncat turun dari atas pohon yang begitu tinggi? Dan tuan……. eh, sudah tahu akan nama saya pula………..”

Kembali Loan Ki tertawa.
“Nagai Ici, kau cukup gagah perkasa, akan tetapi sungguh amat bodoh. Sudah pasti aku manusia, dan sudah jelas aku bukan laki-laki, masa kau tidak dapat membedakan? Tentang namamu tentu saja aku tahu karena sudah sejak tadi aku mengintai dari atas pohon. Tentang meloncat turun dari pohon, apa sih sukarnya? Yang lebih tinggi lagi aku sanggup meloncati. Perkara perampok-perampok itu takut kepadaku, apa pula anehnya kalau mereka itu pernah kuhajar?”

Kini pandang mata Nagai Ici berubah kagum, kagum bukan main karena baru pertama kali ini selama hidupnya dia menyaksikan seorang wanita yang begini perkasa.

“Maaf, Nona……. wah, kau hebat sekali.”

Tiba-tiba pandang matanya berubah dan dia mendekat, matanya lekat-lekat memandang arah mulut Loan Ki.

“Astaga! Jadi kau malah pencurinya??”






No comments:

Post a Comment