Ads

Sunday, January 27, 2019

Pendekar Buta Jilid 063

Hidung dan telinga Kun Hong meneliti penuh perhatian, namun tidak ada sesuatu yang aneh bagi penciuman dan pendengarannya. Terpaksa dia bertanya kuatir,

“Locianpwe, ada apakah??”

Kakek itu melangkah maju, terus maju, diikuti dari belakang oleh Kun Hong yang mulai merasa gelisah karena tempat ini benar-benar sunyi. Setelah tiba di puncak, kenapa Beng San dan isterinya, juga murid-murid Thai-san-pai tidak ada yang keluar menyambut?

“Locianpwe, kenapa begini sunyi? Ada apakah? Dimana mereka, mengapa tidak ada orang menyambut kita?”

Masih saja Song-bun-kwi berjalan kesana kemari, berputaran disekitar puncak. Kemudian dia membanting-banting kaki dan berkata,

“Celaka……….. agaknya belum lama ini Thai-san-pai tertimpa malapetaka. Wah, hebat………! Kun Hong, Thai-san-pai telah dibakar orang, dibasmi sampai ke pohon-pohonnya habis dan rusak binasa.”

“Apa…….???”

Kun Hong berteriak, lalu melangkah kesana kemari, tangan yang memegang tongkat meraba-raba tanah yang sudah rata dan tidak ada sebatang pun pohon tumbuh lagi disitu.

“Bagaimana hal ini bisa terjadi………..?” pertanyaan ini keluar dari hatinya yang penuh kegelisahan, terdengar agak gemetar.

“Bagaimana kita bisa tahu? Tidak ada seorangpun tinggal disini. Agaknya mereka semua sudah………..”

Song-bun-kwi sendiri yang biasanya tidak perdulian itu, kini sikap dan bicaranya tidak bisa percaya kalau Thai-san-pai dapat dibakar dan dibasmi orang dan semua penghuni puncak Thai-san sampai lenyap semua.

“Tidak mungkin, Locianpwe! Tak mungkin paman Beng San beserta bibi dan semua anak murid dapat dibasmi begitu saja! Aku tidak percaya!”

“Tuh disana ada bayangan orang bergerak, mari kita kesana!” tiba-tiba kakek itu berseru dan menarik tangan Kun Hong diajak lari menuruni puncak, lalu mendaki sebuah puncak yang lebih kecil.

Setelah tiba disitu, dia melihat bayangan orang tadi ternyata adalah seorang laki-laki yang kini sudah duduk bersila di sebuah kuburan yang puluhan jumlahnya. Kuburan-kuburan yang masih baru mengelilingi orang itu yang berpakaian putih, berambut awut-awutan seperti orang gila.

Meremang bulu tengkuk Song-bun-kwi melihat kuburan-kuburan ini. Bukan karena seramnya, karena dia sendiri adalah seorang iblis yang tidak takut akan sesuatu, apalagi hanya kuburan dan orang aneh itu. Akan tetapi yang membuat dia merasa seram dan ngeri adalah dugaan yang timbul ketika melihat kuburan-kuburan itu. Siapa tahu di antaranya adalah kuburan Beng San dan Li Cu!! Segera dia melompat ke depan dan sekali sambar saja sudah berhasil mencengkeram leher laki-laki itu sambil membentak dengan suara menyeramkan,

“Siapa kau dan apa yang kau lakukan disini?”

Tubuh itu sudah dia angkat tinggi-tinggi dan siap dibantingkan keatas batu-batu besar yang banyak terdapat di tanah kuburan itu.

Akan tetapi dengan gerakan yang amat tangkas dan cekatan, orang itu menggoyang tubuh dan ……….. “brettt!” leher bajunya robek akan tetapi dia berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Song-bun-kwi!

Kakek ini kaget dan kagum. Jarang ada orang, apalagi semuda itu dapat melepaskan diri pada cengkeraman tangannya. Dia sudah siap untuk menerjang lagi karena sekaligus timbul rasa penasaran, juga kegembiraannya karena akan mendapat lawan yang lumayan. Akan tetapi tiba-tiba orang itu berseru,

“Kwee-locianpwe………..!”

Lalu dia menjatuhkan diri berlutut dan menangis menggerung-gerung. Diantara tangisnya, dia menyebut nama Kun Hong,





“Kwa-taihiap……….. celaka………..!” Sukar dia bicara karena tangisnya terus menyesakkan kerongkongannya.

Bukan main kagetnya hati Song-bun-kwi ketika mengenal bahwa orang yang mukanya pucat seperti mayat matanya cekung dan tubuhnya kurus dengan rambut awut-awutan dan pakaian putih seperti orang gila ini bukan lain adalah Su Ki Han, murid kepala Thai-san-pai!

“Ki Han, bukankah kau ini? Apa yang terjadi? Hayo cepat ceritakan!”

Sepasang mata Song-bun-kwi liar memandang kearah tanah-tanah kuburan yang masih baru itu. Adapun Kun Hong yang tiba-tiba merasa kedua kakinya lemas saking gelisahnya, lalu duduk diatas batu besar, telinganya mendengarkan penuh perhatian. Jantungnya berdebar-debar, karena kebutaannya membuat dia tidak dapat melihat sesuatu dan hal ini menambah kegelisahannya.

Alangkah besar keinginan hatinya untuk dapat menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana keadaan puncak Thai-san yang dikatakan rusak binasa dan terbasmi itu. Hampir-hampir saja tak dapat dia percaya bahwa tempat tinggal pamannya yang demikian saktinya itu dapat dihancurkan musuh.

“Ah, Kwee-locianpwe……….. celaka sekali……….. malapetaka hebat menimpa Thai-san-pai, dua pekan yang lalu….”

“Ki Han, bukankah kau murid kepala Thai-san-pai? Kenapa sekarang menangis seperti anak kecil? Huh, mana jiwa pendekarmu? Memalukan sekali. Hayo, bangun kau bicara yang betul kalau tidak mau kutendang mampus!” bentak Song-bun-kwi.

Su Ki Han, murid Thai-san-pai yang hancur luluh perasaan hatinya itu oleh kedukaan terbangun semangatnya. Dia segera bangkit berdiri, menunduk dan berkata,

“Maafkan saya, Locianpwe, maafkan kelemahan hati saya yang tak kuat menderita kedukaan ini. Siapa orangnya yang takkan hancur hatinya. Thai-san-pai hancur binasa, siauw-sumoi (adik seperguruan kecil) diculik orang, subo lenyap melakukan pengejaran, kemudian suhu juga turun gunung mengejar, malah menyatakan bahwa Thai-san-pai dibubarkan untuk sementara waktu. Sembilan orang suteku tewas, sisanya sekarang tersebar tidak karuan. Kwee-locianpwe, hati siapa takkan menjadi sedih?”

Terdengar teriakan menyeramkan keluar dari kerongkongan Kun Hong yang sudah bangkit berdiri dengan muka pucat.

“Iblis jahanam! Siapa berani melakukan hal itu terhadap Thai-san-pai? Su Ki Han, hayo kau ceritakan sebenarnya apa yang telah terjadi!”

Suara Kun Hong menggeledek, tanda bahwa dia dalam keadaan marah besar sehingga mendatangkan rasa kaget dan heran pada Song-bun-kwi yang biasanya mengenal pemuda itu sebagai seorang yang amat lemah lembut dan penyabar. Sebetulnya hal ini tidaklah aneh.

Kun Hong cukup maklum betapa hancur luluh hati ibu Cui Bi ketika gadis kekasihnya itu tewas secara menyedihkan. Sekarang, setelah mempunyai seorang anak perempuan lagi sebagai pengganti Cui Bi, ternyata diculik orang, Thai-san-pai dibasmi dan dibumi-hanguskan, anak-anak murid Thai-san-pai banyak yang tewas. Benar-benar merupakan malapetaka yang maha hebat dan inilah yang menyakitkan hatinya.

Dengan suara tersendat-sendat saking sedihnya, Su Ki Han lalu bercerita, bagaimana orang-orang Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai yang marah sekali datang menyerbu sehingga terjadi pertempuran yang amat tak dikehendaki ketua Thai-san-pai, karena maklum bahwa bentrokan antara mereka yang sehaluan itu adalah karena hasutan dan fitnah musuh rahasia.

Diceritakan pula betapa kemarahan Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai itu adalah karena kematian Tan Hok dan murid-murid Kong-thong-pai yang terjadi di lereng Thai-san dan yang mereka katakan dilakukan oleh anak-anak murid Thai-san-pai. Lalu bagaimana pada saat pertempuran berlangsung, puncak Thai-san-pai diserbu musuh yang tidak diketahui siapa.

Nyonya ketua Thai-san-pai dengan gagah berani dapat menghalau musuh, akan tetapi tak dapat mencegah penculikan terhadap Cui Sian puterinya dan pembunuhan terhadap para pelayan. Dengan air mata bercucuran Ki Han menutup ceritanya,

“Kwee-locianpwe……….. Kwa-taihiap…….. alangkah hancur hati saya melihat suhu seperti itu. Suhu mengamuk setelah subo (ibu guru) pergi melarikan untuk mencari puterinya……….. suhu menghancurkan segala yang ada di puncak……….. lalu menyatakan pembubaran Thai-san-pai……..”

“Iblis neraka!” Song-bun-kwi membanting kakinya saking marah. “Keparat Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai! Awas kalian, Song-bun-kwi akan melakukan pembalasan, membasmi semua orang Kong-thong-pai dari muka bumi”

Tiba-tiba Su Ki Han memandang terbelalak ke depan, lalu dia menjadi pucat dan berkata,

“Kwa-taihiap…….”

Song-bun-kwi cepat memutar tubuh memandang kearah Kwa Kun Hong dan dia sendiripun terbelalak. Bukan main keadaan Kun Hong di waktu itu. Berdiri tegak dengan alis mata seakan-akan berdiri, sepasang mata yang buta itu terbuka lebar memperlihatkan dalamnya yang kosong menghitam. Mukanya berubah merah seperti terbakar, tubuhnya menggigil mengeluarkan hawa getaran, hidungnya kembang-kempis dan mulutnya terbuka berkali-kali tanpa mengeluarkan suara.

Tangan kanannya memegang tongkat dan tangan kirinya bergerak-gerak perlahan dengan jari-jari terbuka tertutup seperti cakar harimau hendak mencengkeram. Tiba-tiba kedua tangannya membuat gerakan berbareng yang amat aneh, tangan kiri mencengkeram ke depan dengan gerakan melengkung dari bawah keatas miring kekanan, sedangkan tangan kanan yang memegang tongkat membuat gerakan membabat dari kanan kekiri, menyerong dari atas ke bawah. Gerakan yang berlawanan dari kedua tangan itu menimbulkan suara angin bersiut keras dibarengi bentakannya yang amat hebat,

“Haaiiii!!”

Hebat akibatnya. Batu besar berwarna hitam, sejenis batu gunung yang amat keras, yang tadi dia duduki, terkena serangan ini. Batu itu sama sekali tidak bergerak dan seakan-akan tangan kiri dan tongkat tadi lewat begitu saja menembus batu, sedangkan kedua kaki Kun Hong membuat gerakan ke depan, langkah ajaib.

Ketika tubuhnya menggeser lewat meninggalkan batu itu, mendadak batu itu bergoyang dan runtuh bagian atasnya, sapat di tengah-tengah seperti agar-agar teriris pisau tajam, belah menjadi dua dan bagian atas yang terkena cengkeraman tangan kiri tadi, perlahan-lahan runtuh hancur seperti tepung!

Song-bun-kwi memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Dia melihat betapa dari ubun-ubun kepala Kun Hong mengepul uap putih, betapa muka yang sekarang menjadi amat menyeramkan itu mengeluarkan keringat besar-besar seperti kacang kedele dan betapa dada pemuda buta itu melembung seperti hendak meletus.

Sekali lagi Kun Hong yang meraba dengan tongkatnya mendapatkan batu besar dan diserangnya seperti tadi. Sekali serang dengan gerakan aneh tadi, batu itupun hancur lebur tanpa mengeluarkan suara! Sekarang dia melangkah lagi dan mulutnya berbisik-bisik.

“Keji………… keji……….. manusia-manusia iblis……….. keji………..!”

Tiba-tiba Song-bun-kwi melayang ke depan sambil berseru,
“Kun Hong, ingat! Kau bisa mencelakakan dirimu sendiri. Ingatlah dan tekan perasaanmu……….!”

Tubuh kakek itu menyambar ke depan dengan maksud hendak memegang pundak Kun Hong dan menyadarkannya. Akan tetapi alangkah kaget dan ngeri hatinya ketika tiba-tiba Kun Hong memapakinya dengan gerakan seperti tadi, tangan kiri mencengkeram dan tongkat membabat.

“Aya……….. celaka…………!”

Kakek itu memekik, cepat mengerahkan segenap tenaganya, melejit merendahkan tubuh untuk mengelak daripada sambaran maut tongkat itu sedangkan kedua tangannya dia pergunakan untuk menghantam lengan kiri Kun Hong yang bercuitan bunyinya mengarah iganya.

Juga kali ini tak terdengar suara ketika lengan kiri Kun Hong bertemu dengan kedua lengan kakek itu. Akan tetapi akibatnya hebat bukan main. Tubuh kakek itu terlempar seperti selembar layang-layang putus talinya, lalu jatuh berdebuk dalam jarak enam tujuh meter jauhnya sedangkan tubuh Kun Hong dengan kedudukan kaki masih tetap seperti tadi, tergeser mundur sampai satu meter lebih, kedua kakinya membuat guratan dalam tanah sedalam sepuluh senti!

Song-bwn-kwi tertawa bergelak dengan suara aneh menyeramkan, lalu dia merangkak bangun dan…….. darah segar tersembur keluar dari mulutnya!






No comments:

Post a Comment