Ads

Wednesday, January 23, 2019

Pendekar Buta Jilid 044

Kita tinggalkan dulu Kun Hong yang berkeluh kesah dan mari kita menjenguk keadaan di puncak Thai-san.

Pegunungan Thai-san dengan banyak puncaknya merupakan pegunungan yang terkenal dengan pemandangan alamnya yang indah dan sebagian besar masih liar, belum terjamah tangan dan terinjak kaki manusia.

Beberapa tahun akhir-akhir ini, nama Thai-san muncul menjadi nama terkenal di dunia persilatan dengan berdirinya Partai Persilatan Thai-san-pai. Biarpun baru beberapa tahun berdirinya, namun para partai persilatan memandang partai baru ini dengan segan dan hormat karena mereka mengenal siapa orang yang menjadi pendiri dan tulang punggung partai baru ini. Siapakah diantara orang-orang kangouw tidak mendengar nama Raja Pedang Tan Beng San?

Inilah ketua Thai-san-pai, bahkan pendiri Thai-san-pai, seorang pendekar gagah perkasa yang memiliki ilmu pedang tinggi sehingga mendapat julukan Raja Pedang yang baru. Adapun raja pedang lama adalah ayah mertuanya yang sudah meninggal, yaitu Raja Pedang Cia Hui Gan yang berjuluk Bu-tek-kiam-ong (Raja Pedang Tiada Bandingan).

Tentu saja isteri ketua Thai-san-pai ini, puteri Bu-tek-kiam-ong, juga seorang ahli pedang yang sukar dicari bandingannya. Memang demikianlah, nyonya ketua Thai-san-pai ini amat pandai dalam ilmu pedang, apalagi Ilmu Pedang Sian-li-kiam-hoat (Ilmu Pedang Bidadari) yang menjadi kepandaian warisan.

Seperti dituturkan jelas dalam cerita Rajawali Emas, ketua Thai-san-pai ini mempunyai tiga orang anak. Pertama adalah Tan Sin Lee, puteranya yang terlahir dari mendiang Kwa Hong, yang sejak kecil dididik oleh ibunya itu amat lihai. Yang kedua adalah Tan Kong Bu, puteranya yang terlahir dari mendiang Kwee Bi Goat dan putera kedua ini sejak kecil dirawat dan dididik oleh kakek-nya, Song-bun-kwi Kwee Lun Si Iblis Berkabung. Anaknya yang ketiga, terlahir dari Cia Li Cu isterinya terakhir, adalah mendiang Tan Cui Bi. Semua ini telah dituturkan dengan jelas dan hebat di dalam cerita Rajawali Emas.

Seperti telah diceritakan dalam Rajawali Emas, di Thai-san dirayakan pernikahan antara Tan Sin Lee dengan Thio Hui Cu dan Tan Kong Bu dengan Kui Li Eng. Perayaan itu amat meriah dan sekaligus ketua Thai-san-pai ini berbesan dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai karena dua orang gadis itu, Hui Cu dan Li Eng adalah anak murid Hoa-san-pai.

Beberapa bulan setelah menikah. Tan Sin Lee membawa isterinya ke Pegunungan Lu-liang-san tempat tinggal mendiang ibunya. Di tempat ini dia memiliki sebuah rumah gedung yang lengkap dan mewah, juga mempunyai sawah ladang yang cukup luas. Bersama isterinya dia hidup dengan penuh kebahagiaan di tempat dingin ini, disegani dan dihormati karena keramahan dan kedermawanan mereka, oleh para penduduk disekitar pegunungan itu.

Adapun Tan Kong Bu lain lagi kesukaannya. Dia membawa isterinya dan juga diikuti oleh kakeknya ke Pegunungan Min-san dimana dia bercita-cita mendirikan partai seperti yang dilakukan ayahnya, untuk memperkembangkan ilmu silat yang dia miliki. Juga isterinya merupakan seorang pendekar wanita yang amat tinggi ilmu silatnya, ilmu silat Hoa-san yang aseli.

Suami isteri muda ini bercita-cita untuk menggabung ilmu silat mereka yang berlainan ragamnya ini menjadi ilmu silat partai mereka. Song-bun-kwi yang sudah tua tentu saja menjadi pelindung dan penasehat, didalam masa tuanya kakek ini dapat juga mengecap kebahagiaan dengan menyaksikan kerukunan cucunya itu.

Demikianlah, biarpun tadinya bergembira ria dalam merayakan pernikahan Sin Lee dan Kong Bu, setelah anak-anak itu pergi membawa isteri masing-masing, ketua Thai-san-pai dan isterinya merasa kesunyian.

Puteri mereka satu-satunya, gadis lincah jenaka yang amat mereka sayang, telah meninggal dunia dalam keadaan mengenaskan (baca Rajawali Emas), membunuh diri karena patah hati dalam cinta kasihnya dengan Kwa Kun Hong. Sekarang, dua orang putera yang baru saja muncul mengakui ayah mereka setelah mereka itu dewasa, telah pergi pula.

Baiknya tak lama setelah pernikahan-pernikahan itu dilangsungkan, Cia Li Cu melahirkan anak perempuan. Bayi ini merupakan sinar terang dalam cuaca gelap, menerangi hati suami isteri yang sedang diliputi kegelapan itu, Puteri mereka, Cui Bi, telah mati. Akan tetapi sekarang lahirlah seorang anak perempuan, pengganti Cui Bi! Anak itu mungil, montok sehat dan tangisnya nyaring.

Dengan muka berseri-seri ketua Thai-san-pai itu memondong bayinya, mengamat-amati muka bayi itu sambil tertawa-tawa senang.

“Aha, kau Cui Bi cilik! Ha-ha-ha, serupa benar, cuma bibirnya lebih runcing, tentu lebih suka mengoceh daripada mendiang cicinya, ha-ha!”





Li Cu yang masih rebah di pembaringan memandang terharu dan dua titik air mata menghias bulu matanya.

“Siapa……. siapa namanya…….?” tanyanya lirih.

Mendengar suara ini Beng San menengok dan diapun menggigit bibir melihat dua titik air mata itu. Dengan hati-hati dia meletakkan puterinya di dekat Li Cu mengusap dahi isterinya penuh kasih sayang lalu berkata,

“Cui Sian namanya, ya……. dia Cui Sian……”

Setelah mencium dahi isterinya perlahan, Beng San cepat keluar dari kamar itu agar tidak terlihat oleh isterinya betapa diapun menitikkan dua butir air mata. Akan tetapi Li Cu tahu akan hal ini karena air mata itu tertinggal di dahinya ketika suami itu tadi menciumnya. Bayangan mendiang Cui Bi lah yang mendorong keluarnya air mata dari mata kedua orang suami isteri ini.

Kehadiran Cui Sian dalam rumah tangga ketua Thai-san-pai benar-benar mendatangkan kegembiraan. Hal ini tentu saja amat menggirangkan hati para anak murid Thai-san-pai karena sekarang guru mereka mulai rajin pula melatih ilmu silat. Tadinya, semenjak peristiwa hebat di puncak Thai-san-pai itu, semenjak kematian Cui Bi, ketua Thai-san-pai ini selalu tampak murung dan malas mengajar sehingga para anak murid menjadi khawatir karena hal ini berarti akan melemahkan partai persilatan itu.

Akan tetapi kelahiran Cui Sian benar-benar mengubah segalanya, malah nyonya ketua sendiri berkenan turun tangan dan kadang-kadang memberi petunjuk kepada murid-murid pilihan.

Cui Sian sendiri ternyata makin besar menjadi makin mungil. Ia menjadi kesayangan semua orang di Thai-san-pai, malah disayang pula oleh anak-anak para penduduk disekitar pegunungan itu.

Biarpun dia menjadi ketua partai persilatan, namun Beng San dan isterinya tidak mengasingkan diri. Seringkali mereka mengajak puterinya ini turun dari puncak untuk mengunjungi para penduduk kampung dan beramah tamah, membiarkan Cui Sian bermain-main dengan anak-anak kampung.

Tiga tahun terlalu cepat Thai-san-pai berkembang pesat dan tampak tanda-tanda bahwa berkumpulan ini kelak akan menjadi sebuah partai persilatan yang besar dan berpengaruh. Hal ini terjadi karena Beng San memang pandai memilih murid yang memiliki bakat dan dasar yang baik. Dia tidak mengutamakan jumlah banyak, melainkan mengutamakan mutu.

Anak murid Thai-san-pai kurang lebih lima puluh orang laki perempuan, sebagian besar tinggal di bawah gunung dan hanya beberapa hari sekali naik ke puncak untuk menerima petunjuk dan untuk memperlihatkan hasil latihan di depan guru mereka. Ada pula sebagian orang anak murid, yaitu mereka yang datang dari jauh dan terutama sekali yang tidak mempunyai keluarga lagi, tinggal di Thai-san-pai, di bawah puncak, mendirikan pondok-pondok kayu yang makin lama makin banyak dan merupakan perkampungan tersendiri.

Mereka yang bertempat tinggal di situlah yang mengerjakan sawah ladang sebagai sumber penghasilan Thai-san-pai, di samping pemberian para anak murid yang memiliki tempat tinggal sendiri dan yang mampu menyumbang.

Pada hari itu menjelang senja, serombongan orang mendaki Pegunungan Thai-san. Rombongan ini besar juga, lebih dari dua puluh orang berkuda, dan mereka menghentikan kuda di bagian lereng bukit yang tak mungkin dapat dilalui kuda. Seorang kakek tinggi besar setelah melompat turun dari atas punggung kudanya dan menambatkan kendali kuda pada batang pohon, berkata kepada teman-temannya,

“Tidak patut kalau kita semua naik ke puncak. Biarpun ketuanya adalah terhitung saudara angkat, namun dia adalah seorang ketua partai besar yang harus dihormati. Saudara-saudara tinggallah menanti disini, juga ji-wi-enghiong (saudara gagah berdua) dan ji-wi-loenghiong (orang tua gagah berdua), biarlah saya sendiri naik ke puncak menemui Thai-san-paicu (ketua Thai-san-pai). Setelah fihak tuan rumah memperkenankan, barulah saudara-saudara naik.”

Yang bicara ini bukan lain adalah Tan Hok dan sebagian besar diantara para temannya adalah bekas-bekas anggauta dan tokoh Pek-lian-pai. Dua orang laki-laki berusia tiga puluhan tahun yang berwajah tampan dan bertubuh tegap adalah Kam-hengte (dua saudara Kam) dari Lok-yang, sepasang kakak beradik gagah perkasa yang terkenal dengan julukan Lok-yang-siang-houw (Sepasang Harimau Lok-yang) dan terkenal pula sebagai pendekar-pendekar perkasa anak murid Kong-thong-pai.

Yang tua bernama Kam Bok, yang muda bernama Kam Siok. Mereka ini adalah jago-jago Kong-thong-pai, murid Yang Ki Cu, tokoh Kong-thong-pai yang dahulu menjadi seorang pejuang juga. Agaknya darah patriot menurun kepada sepasang anak murid ini sehingga dalam banyak hal kedua orang saudara Kam ini suka membantu Tan Hok dan Pek-lian-pai. Mereka terkenal dengan keahlian bermain golok, tentu saja mengandalkan Ilmu Golok Kong-thong-to-hoat.

Adapun dua orang kakek tua yang ikut dalam rombongan itu dan yang disebut sebagai lo-cianpwe (orang tua gagah) oleh Tan Hok adalah dua orang pendeta beragama To yang jelas dapat dilihat dari pakaian mereka yang berwarna kuning polos dan rambut putih mereka diikatkan keatas.

Seorang yang punggungnya agak bongkok dan tubuhnya kurus kering adalah seorang tokoh Bu-tong-pai, seorang ahli pedang bernama Seng Tek Cu. Orang ke dua adalah sahabat baiknya, seorang tosu (pendeta To) perantauan, penggemar permainan catur yang namanya tidak banyak dikenal orang namun sesungguhnya adalah seorang ahli silat tinggi yang amat lihai. Dia tidak membawa senjata apa-apa kecuali sebatang cambuk biasa seperti cambuk penggembala kerbau yang terbuat daripada bambu dengan ujung tali. Di punggungnya tergantung sebuah papan catur sedangkan di pinggangnya terdapat sebuah kantung berisi biji-biji catur. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya selalu tersenyum ramah. Inilah Koai To-jin, nama yang selalu dia pakai. Tentu saja ini adalah nama samaran belaka karena Koai To-jin berarti Pendeta To Aneh. Dua orang tosu ini sedikitnya tentu ada enam puluh tahun usianya.

Seperti telah dituturkan dibagian depan, setelah kehilangan mahkota kuno yang mengandung rahasia itu sehingga menderita luka-luka, Tan Hok mengadakan perhubungan dengan bekas anak buahnya yaitu para orang gagah dari Pek-lian-pai, kebetulan dia dapat bertemu pula dengan Kun Hong sehingga mendapat pertolongan dan disembuhkan.

Kemudian Tan Hok lalu mengumpulkan teman-temannya yang sementara itu sudah mencari bala bantuan, bahkan berhasil mendapat bantuan Kam-hengte dan dua orang tosu lihai itu.

Mendengar penuturan Tan Hok tentang mahkota yang terjatuh ke tangan penghuni Pulau Ching-coa-to, dua orang tosu itu kaget karena mereka sudah mendengar kehebatan pulau ini. Maka serta merta mereka menyatakan kegembiraan dan persetujuan ketika Tan Hok menyatakan hendak minta bantuan ketua Thai-san-pai Si Raja Pedang. Berangkatlah rombongan itu sampai berpekan-pekan lamanya dan menjelang senja itu mereka tiba di lereng Thai-san.

Mendengar permintaan Tan Hok supaya mereka menanti disitu, Koai To-jin tertawa bergelak, lalu menurunkan papan catur dan membuka kantong biji catur sambil berkata.

“Ha-ha-ha, Tan-sicu baik sekali, memberi kesempatan kepada pinto (aku) untuk mengaso dan bermain catur dengan Seng Tek Cu. Hayo, sobat, kita main catur sampai sekenyangnya, siapa tahu kita akan segera menghadapi urusan penting sehingga tidak akan sempat main catur lagi!”

Dalam sekejap mata saja papan catur sudah diletakkan diatas tanah dan biji-bijinya diatur diatas papan. Seng Tek Cu tertawa pula dan menyambut tantangan ini.

Tak Hok tertawa, kemudian berpamit lagi lalu cepat-cepat mendaki puncak karena khawatir kalau-kalau malam segera tiba dan membuat pendakian itu sukar. Teman-temannya memandang dan melihat punggung orang gagah yang bertubuh raksasa itu lenyap dibalik sebuah batu karang besar. Kemudian karena tidak ada pekerjaan lain, sebagian diantara mereka asyik menonton dua orang tosu yang sedang mengadu otak bermain catur, sebagian lagi duduk bercakap-cakap.

Kita ikuti Tan Hok yang dengan sigapnya berloncatan menuju ke puncak Thai-san pai. Tiba-tiba dengan kaget dia melihat tujuh orang berloncatan keluar dari balik batu-batu gunung dan pohon, langsung menghadangnya dengan pedang di tangan dan sikap mengancam. Dia tersenyum dan menegur,

“Sahabat-sahabat di depan bukankah para eng-hiong (orang gagah) dari Thai-san-pai?”

“Tentu saja kami adalah anak murid Thai-san-pai. Kau ini siapakah berani lancang memasuki wilayah Thai-san-pai tanpa ijin?” jawab seorang diantara mereka dengan suara keras dan sikap yang angkuh.






No comments:

Post a Comment