Ads

Wednesday, January 23, 2019

Pendekar Buta Jilid 043

Sejenak Tan Hok tidak berkata apa-apa. Kun Hong tidak tahu betapa orang tua tinggi besar itu memandang kepadanya dengan mata mendelik alis berdiri, bukan main marahnya!

“Hiante……. Hiante…….. kalau aku tidak ingat kau sudah buta, kalau aku tidak ingat bahwa kau putera Kwa Tin Siong, kalau aku tidak tahu bahwa kau seorang pendekar gagah perkasa dan bahwa ucapanmu ini hanya karena tidak mengerti, telah kujatuhkan kedua tanganku untuk memukulmu sampai mati!”

Kun Hong kaget setengah mati sampai dia meloncat keatas dalam keadaan masih duduk bersila. Perbuatan ini tidak dia sengaja, saking kagetnya, namun Tan Hok menjadi kagum bukan main. Sedikit banyak orang she Tan ini adalah seorang pejuang kawakan, seorang yang tahu akan ilmu silat tinggi, akan tetapi ilmu meringankan tubuh seperti ini baru sekarang dia melihatnya.

Kun Hong yang sudah duduk kembali cepat berkata sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada.

“Maaf, Paman. Aku benar-benar terkejut. Kuanggap kaulah yang keliru dan terlalu mementingkan harta dan kedudukan, siapa kira kau anggap aku yang keliru. Harap jelaskan, kekeliruan bagaimana yang kulakukan dengan ucapanku tadi, agar terbuka mata hatiku.”

Tan Hok memegang lengan Kun Hong.
“Anak muda, kau pandai ilmu silat, kau ahli filsafat, kau seorang berbudi dan penuh welas asih, akan tetapi agaknya ayahmu tidak menurunkan pengetahuan tentang jiwa kepahlawanan kepadamu. Ketahuilah bahwa semua usahaku ini kulakukan bukan sekali-kali untuk mencari kedudukan, bukan sekali-kali untuk membela kaisar semata-mata, melainkan demi kepentingan negara dan bangsa!”

Kun Hong kaget.
“Bagaimana penjelasannya, Paman? Aku tidak mengerti.”

“Ketahuilah bahwa jatuh bangunnya kebangsaan adalah dalam tangan pemerintahan yang memegang tampuk pimpinan. Demikian pula kesejahteraan rakyat, kemajuan, kemakmuran, ketenteraman hidup, semua berada di tangan pemerintah yang berkuasa. Kalau orang-orang yang memegang tampuk kekuasaan terdiri dari orang-orang yang tidak bersih batinnya, yang tidak baik martabat dan wataknya, pemerintah akan menjadi lemah, kacau-balau dan rakyat akan hidup sengsara. Biarpun kita telah berhasil menghalau pemerintah penjajah dan menjadi merdeka, namun bahaya masih selalu mengancam dari segenap penjuru. Bajak-bajak laut Jepang selalu merongrong keamanan di pantai timur, terutama sekali orang-orang Mongol yang hendak membalas dendam atas kekalahannya selalu berusaha menyerang dari utara. Juga suku-suku bangsa di perbatasan barat mengincar kedudukan di pusat sehingga kalau pemegang pemerintahan lemah, ada bahaya besar mengancam negara dan bangsa. Aku melihat sendiri betapa lemah Pangeran Kian Bun Ti, betapa buruk wataknya dan dia hanya mementingkan kesenangan diri pribadi tanpa memperdulikan bangsanya dan tugasnya sebagai pemimpin. Oleh karena inilah aku sebagai seorang pencinta bangsa dan negara, harus ikut bertindak, kalau perlu membantu Pangeran Yung Lo menjatuhkan Pangeran Kian Bun Ti sehingga keadaan pemerintahan kuat, negara dan bangsa menjadi makmur. Itulah cita-citaku, sama sekali bukan untuk kepentingan diriku sendiri dan inilah cita-cita semua patriot yang mencintai bangsanya.”

Inilah pelajaran baru bagi Kun Hong. Semenjak kecil, ketika dia dahulu masih gemar membaca kitab-kitab, dia selalu membaca kitab-kitab filsafat, kebatinan dan kesasteraan. Belum pernah dia mempelajari tentang tata negara, tentang politik, maupun sifat-sifat pahlawan yang berjiwa patriot. Akan tetapi oleh karena dasar daripada sifat kepahlawanan inipun sama, yaitu sifat yang mementingkan kemakmuran rakyat daripada diri sendiri, yaitu sifat yang amat indah dan baik, maka dengan mudah dia dapat menerimanya.

“Terima kasih, Paman. Sekarang aku mengerti dan maafkan prasangkaku yang bukan-bukan atas usahamu yang ternyata suci murni dan gagah perkasa itu. Nah, sekarang giliranku untuk bercerita tentang mahkota kuno itu.”

Dengan singkat, Kun Hong menceritakan tentang mahkota itu kepada Tan Hok. Bahwa mahkota itu dijadikan perebutan antara Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang yang hendak menggunakan benda itu untuk mencari kedudukan dan mencari muka di depan kaisar baru. Bahwa kemudian mahkota itu terjatuh ke dalam tangan Tiat-jiu Souw Ki akan tetapi terampas kembali oleh seorang gadis pendekar bernama Loan Ki, kemudian dalam kunjungan ke pulau Ular Hijau bersama dia, mahkota itu akhirnya terampas oleh majikan pulau Ular Hijau yang dibantu banyak orang pandai.

Mendengar ini, Tan Hok menjadi girang.
“Memang bukan hal menggembirakan mendengar benda itu terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat yang lihai, akan tetapi masih tidak begitu buruk. Celakalah kalau mahkota itu terjatuh ke tangan kaisar baru, tentu akan musnah pula surat rahasia itu. Kun Hong, bagaimanakah keadaan Pulau Ching-coa-to di telaga itu? Adakah harapan andaikata aku diam-diam menyelidik kesana dan mencari kesempatan merampasnya kembali? Aku sudah menghubungi banyak teman, bekas anak buahku di Pek-lian-pai dahulu dan aku bisa mengumpulkan tenaga-tenaga yang dapat dipercaya.”





Kun Hong menggeleng kepala.
“Berbahaya, Paman. Majikan pulau itu, Ching-toanio dan anak perempuannya, adalah dua orang yang berilmu tinggi, sukar dikalahkan. Pulau itu sendiri penuh jebakan dan perangkap yang amat berbahaya. Ini semua masih belum hebat, yang paling sulit adalah kenyataan bahwa Ching-toa-nio mendapat bantuan orang-orang pandai dan benar-benar lihai, apalagi Ka Chong Hoatsu, benar-benar merupakan tokoh yang sukar dilawan. Harap kau jangan sembrono menyerbu kesana, sebaiknya dicari jalan yang baik.”

Berkali-kali Tan Hok mengeluh.
“Aku sudah tahu sampai dimana hebatnya kepandaianmu, Hiante, akan tetapi kau sendiri masih memuji penghuni Ching-coa-to, berarti tentu mereka benar-benar lihai. Kalau begini, tidak lain jalan bagiku kecuali pergi ke Thai-san dan minta bantuan adikku Beng San, Thai-san Ciang-bun-jin (ketua Thai-san-pai).”

Kun Hong mengangguk-angguk.
“Kiranya memang hanya paman Beng San yang akan sanggup merampas kembali mahkota itu.”

Tan Hok memegang pundak Kun Hong.
“Terima kasih atas pertolonganmu dan terutama atas keterangan tentang mahkota itu, Hiante. Sekarang juga aku akan berangkat ke Thai-san agar tidak terlambat. Tolong kau beritahukah kepadaku resep obat itu.”

Kun Hong lalu menyebutkan nama bahan-bahan obat. Dia sengaja memilih ramuan yang tidak hanyak macamnya dan yang paling manjur. Kemudian mereka berpisah dan Kun Hong tidak mencegah perginya kakek itu karena dia maklum akan pentingnya tugas kakek patriot ini.

Setelah kakek raksasa Tan Hok itu pergi, Kun Hong termenung di dalam kuil rusak. Cerita kakek itu amat mempengaruhi hatinya. Bangkit jiwa kepahlawanannya. Memang, apa artinya hidup ini kalau tidak dapat berbuat kemanfaatan bagi sesama manusia? Dan kiranya kemanfaatan yang paling utama adalah kebaktian terhadap nusa dan bangsa, kebaktian yang tak kenal batas, kebaktian berdasarkan rela berkorban, baik harta benda, badan, maupun nyawa.

Alangkah mulianya, alangkah besarnya. Dan Tan Hok adalah seorang pahlawan, seorang patriot seperti itu. Tapi dia seorang buta. Apa yang dapat dia lakukan untuk ikut-ikutan berdarma bakti terhadap tanah air dan bangsa? Kepandaiannya hanya dapat dia pergunakan untuk membela diri, atau melindungi orang-orang tertindas yang kebetulan bertemu dengannya. Terbatas dan sempit sekali. Bagaimana dia akan dapat ikut membantu perjuangan seperti yang dilakukan kakek Tan Hok?

Kun Hong termenung sedih. Keadaan negara sedang kacau-balau. Orang-orang besar berebutan pangkat, saling serang saling menjatuhkan, untuk membantu golongan masing-masing, untuk mengangkat kaisar pilihan masing-masing. Kun Hong seorang ahli filsafat. Dia dapat menduga apa akan jadinya kalau orang-orang yang memiliki bakat dan kepandaian memimpin rakyat, sibuk maunya sendiri berebutan kedudukan. Lupa bahwa mereka itu menjadi pembesar dan pemimpin untuk mengatur kehidupan rakyat, untuk mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat.

Kalau para pembesar dan yang menyebut diri sendiri atau disebut orang pemimpin-pemimpin itu saling bekerja sama mencurahkan pikiran dan tenaga demi kepentingan rakyat, sudah tentu negara akan menjadi aman dan baik kesejahteraan rakyat terjamin, kesukaran-kesukaran teratasi.

Akan tetapi sebaliknya kalau orang-orang besar ini saling cakar untuk berebutan kedudukan, agaknya kesejahteraan atau kemakmuran hanya akan terasa oleh mereka sendiri, negara kacau, keamanan rusak, hukum dan keadilan tak berlaku, hukum liar atau hukum rimba merajalela, siapa kuat dia menang dan siapa menang dia benar selalu.

Semua renungan ini membuat Kun Hong. berduka karena dia tidak berdaya untuk ikut menggulung lengan baju dan membantu usaha para patriot. Kemudian dia teringat akan mahkota itu. Mahkota yang menyimpan sehelai surat rahasia dari mendiang kaisar. Penting sekali surat itu, karena siapa tahu kekuasaan dan pengaruh surat peninggalan kaisar itu akan dapat mengakhiri kedudukan Kaisar Muda Kian Bun Ti tanpa banyak terjadi pertumpahan darah. Ah, mengapa dia tidak berusaha mendapatkan surat itu? Inipun akan merupakan sebuah usaha perjuangan membantu para patriot! Dia harus kembali ke Ching-coa-to dan mendapatkan mahkota itu! Akan tetapi bagaimana? Selain dia buta, juga pulau itu amat berbahaya, penuh rahasia, bagaimana dia bisa mencari mahkota itu? Belum lagi diingat bahwa penghuni pulau amat lihai sehingga merampas mahkota merupakan hal yang amat tak mungkin baginya. Akan berbeda kiranya kalau dia tidak buta.

“Duhai Cui Bi…….” keluhnya sedih, “…… ternyata pengorbananku membutakan mata ini sama sekali tidak merugikan aku sebaliknya malah merugikan cita-cita baik, merugikan perjuangan dan menambah dosaku belaka……”

**** 043 ****





No comments:

Post a Comment