Ads

Wednesday, January 16, 2019

Pendekar Buta Jilid 021

Loan Ki tertawa dan menarik tangan Kun Hong. Sambil bergandengan tangan mereka lari ke arah perahu kecil yang terapung-apung di pinggir telaga, tersembunyi diantara pepohonan yang tumbuh menjulang ke pinggir telaga.

Perahu itu kecil mungil, bentuknya ramping dan ujungnya meruncing, terikat kepada sebatang tonggak kayu yang sengaja dipasang disitu. Di dalam perahu terdapat sebatang dayung yang gagangnya terukir indah merupakan gambar ular melingkar pada dayung itu dan terdapat ukiran huruf “Ching-coa” (Ular Hijau).

“Wah, perahu inipun milik Ching-coa-to, Hong-ko. Mari naik.”

Kun Hong dituntun melangkah dan masuk ke dalam perahu, terus duduk. Dara itupun masuk setelah melepaskan tali dan mendayung. Perahu kecil meluncur cepat ke tengah telaga.

“Perahu kecil tapi bagus!” Kun Hong memuji. “Imbangannya tepat, kayunya kuat dan ringan, luncurannya laju. Ditambah tenaga dalammu yang kuat, ah……. nikmat benar berperahu seperti ini. Hemm……. sayang tidak ada arak…….”

Loan Ki tertawa.
“Dasar pelamun dan pemalas. Sungguh tak pantas seorang laki-laki duduk enak-enak membiarkan seorang wanita mendayung perahu.”

“Eh, mana dayungnya. Tapi aku tidak tanggung perahu ini akan meluncur kemana. Kalau kembali ke daratan sana jangan salahkan aku yang tak bermata!”

“Tak usah, Hong-ko. Aku hanya berkelakar, masa sungguh-sungguh? Apa sih sukarnya berdayung begini, aku memang ahli dayung, semenjak kecil sudah biasa aku berlayar malah di samudera besar bersama ayah.”

Memang nyaman sekali hawanya di tengah telaga. Angin bertiup perlahan membawa keharuman aneka macam bunga yang tumbuh di tepi telaga dan dipulau, hawanya sejuk dan sunyi. Suara air terkena dayung berirama amat menyedapkan pendengaran.

Suasana ini menimbulkan kegembiraan di dalam hati Kun Hong, dan otomatis pikirannya merangkai sebuah sajak yang segera disenandungkan perlahan mempergunakan suara dayung menimpa air sebagai irama pengiring nyanyian.

“Biduk kecil meluncur laju,
menentang hembusan angin
lalu membawa harum seribu kembang
tambah nyaman ayunan gelombang
membikin si buta ingin bertembang
wahai kasih aku disini!!”

Tiba-tiba suara dayung menimpa air terhenti, biduk berhenti melaju dan Loan Ki bertanya kaku,

“Yang mana kasihmu itu, Hong-ko? Kau terkenang kepada si janda muda?”

Kun Hong tertawa.
“Jangan membawa-bawa janda itu kesini, semoga ia sudah berjumpa dengan pamannya dan hidup bahagia bersama anaknya. Dunianya dan duniaku jauh berpisahan, Ki-moi.”

Agaknya senang hati gadis itu mendengar jawaban ini, buktinya ia tidak lagi bertanya tentang kekasih Kun Hong, sebaliknya malah terdengar ia memuji.

“Kau pandai benar bersajak dan bertembang, Hong-ko. Kata-katamu muluk, lagunya sedap didengar, dan suaramu empuk benar.”

Kun Hong tertawa.
“Kau lebih pandai lagi memuji orang, sebentar lagi bisa aku membubung tinggi ke awang-awang oleh pujianmu. Heee, Ki-moi, sudah lama sekali perahu melaju, kenapa belum juga sampai di pulau? Kalau pulau itu tadi dapat kau lihat dari darat tentu tidak sejauh ini!”

“Aku sengaja memutar, Hong-ko. Masa aku begitu bodoh mendarat di pulau itu dari depan? Ingat, kunjungan kita ini bukan kunjungan terundang. Aku akan mengitari pulau, mencari tempat yang tepat untuk mendarat sehingga mereka yang di pulau tidak melihat kedatangan kita.”





Kun Hong mengerutkan keningnya,
“Sebetulnya aku tidak suka mengunjungi tempat orang dengan sembunyi seperti pencuri saja. Adik Loan Ki, apakah tidak lebih baik kalau kita secara berterang mengunjungi mereka untuk menyatakan penyesalan dan permintaan maaf kita? Mungkin majikan pulau itu akan menghabiskan urusan kecil itu dan bersikap manis.”

“Hemm, agaknya kau sudah membayangkan siocia cantik jelita dan manis menyambutmu dengan senyum di bibir dan bintang di manik mata, ya? Dasar kau ini…….”

“Bukan begitu, Ki-moi. Tapi kan lebih baik menjadi tamu terhormat daripada tamu tak diundang?”

“Apa kau lupa bahwa kita telah memakai perahu mereka tanpa ijin? Mana ada orang datang minta maaf dengan jalan mencuri perahu pula? Jangan-jangan begitu berjumpa kita akan dicaci maki. Tidak, aku tidak ingin bertemu dengan mereka, baik toa-nio atau siocia itu, baik si iblis betina tua maupun si iblis betina muda. Aku hanya ingin menyaksikan betapa lucunya koki dan jagal tadi menerima hukuman mereka, hi-hik!”

“Kau memang nakal, Ki-moi….. heeeiii, bukan main harumnya…….!”

Loan Ki tiba-tiba memegang lengan Kun Hong dan terdengar gadis ini berseru lirih,
“Aduuuuuhhh, hebat…….! Bukan main…..! Majikan pulau ini benar-benar telah menjadikan pulau ini sebagai taman surga…….!”

“Ada apa, Ki-moi? Kau melihat apa?”

Penuh gairah Kun Hong bertanya, kepalanya agak dimiringkan, hidungnya kembang kempis, kerut-merut antara kedua matanya yang buta. Telinga dan hidung, dua alat pengganti mata untuk mengetahui apakah sebenarnya di depan sana, sekarang dikerahkan.

“Taman indah, penuh kembang beraneka warna, menara-menara merah dan kuning, patung ukir-ukiran disana-sini, kolam-kolam dengan air berwarna, buah-buahan tergantung rendah……. ah, entah apa lagi disana, sudah agak gelap, Hong-ko……. wah, kulihat banyak kijang, ada kelinci……. monyet-monyet di pohon……. burung-burung beterbangan, merak…….. aduh indahnya…….”

Wajah Kun Hong berseri gembira, kerut-merut diantara matanya makin jelas tampak, senyumnya membayangkan kepahitan. Agaknya Loan Ki menoleh dan menatap wajahnya. Gadis ini kembali memegang lengannya dan kini suaranya sudah kehilangan kegembiraan.

“Ah, sebetulnya hanya taman biasa, Hong-ko. Masih tidak menang dengan taman ayahku. Tapi, merupakan tempat pendaratan yang baik bagi kita.”

Loan Ki mendayung perahunya ke pinggir. Tiba-tiba ia berseru kaget dan perahu berhenti melaju.

“Ada apa, Ki-moi?”

Dara itu menyumpah perlahan.
“Gila benar! Banyak sekali teratai liar disini, sambung-menyambung dan tebal. Perahu kita tak dapat lewat, celaka. Biar kucari jalan dari sana. Sebelah sana itu agaknya kelihatan bersih dari gangguan tanaman-tanaman ini.”

Ia mendayung kembali perahunya mundur untuk melepaskan diri dari taman teratai di air ini. Agak lama ia mendayung mencari air bersih untuk meminggirkan perahunya. Akhirnya dapat juga ia minggir.

“Kita mendarat, Hong-ko.”

Gadis itu memegang ujung tambang, lalu menggandeng tangan Kun Hong. Keduanya melompat ke darat dan Loan Ki mengikatkan tambang kepada sebatang pohon di pinggir telaga.

“Lho, dimana kita ini…….?”

Tiba-tiba ia mengeluh. Suaranya terdengar begitu kaget dan heran sehingga Kun Hong cepat memegang tangannya.

“Ada apa lagi, Ki-moi?”

“Aneh, Hong-ko. Benar-benar aku bingung dan tidak mengerti. Kemana lenyapnya taman surga tadi? Baru saja masih ada, aku tahu betul, malah perahu kudaratkan di pinggir taman, tampak jelas dari perahu tadi. Tapi setelah kita mendarat, kenapa kita di tempat yang buruk, liar merupakan hutan gelap begini?”

“Barangkali hutan ini merupakan bagian daripada taman tadi, Ki-moi. Mari kita cari ke depan. Anehnya, ganda harum tadi juga lenyap dan sekarang…….. hemmm, baunya amat tidak enak, Ki-moi.”

“Benar, Hong-ko. Akupun merasa muak dan ingin muntah. Bau apa sih ini?”

Pegangan tangan Kun Hong pada lengan gadis itu tiba-tiba menjadi lebih erat.
“Ki-moi, mari kita kembali saja. Kalau aku tidak salah duga, ini bau……. amisnya ular-ular beracun! Agaknya pulau ini banyak rahasianya dan merupakan tempat amat berbahaya bagi seorang luar.”

“Tidak, Hong-ko. Aku tidak takut! Aku malah makin ingin sekali menyelidiki tempat aneh ini berikut penghuni-penghuninya. Hayo kita maju, Hong-ko.”

Dengan berhati-hati dua orang muda itu berjalan maju. Belum ada sepuluh langkah mereka memasuki hutan liar itu, tiba-tiba Kun Hong menggerakkan tongkatnya kekiri, cepat seperti kilat menyambar.

Loan Ki kaget dan menengok kekiri dan…… ia menahan jeritnya melihat seekor ular sebesar lengan tangan telah hancur kepalanya, berkelojotan dan menggeliat-geliat diatas tanah.

Ular itu kulitnya berwarna hijau mengkilap, seluruh tubuh mengeluarkan lendir berminyak ketika dia berkelojotan itu. Bau amis makin memuakkan. Dalam kengeriannya, Loan Ki diam-diam makin kagum dan heran sekali kepada pemuda buta ini. Bagaimana seorang buta malah lebih “awas” daripada ia yang selain berkepandaian tinggi, juga memiliki sepasang mata yang tajam?

“Ki-moi, daerah ini berbahaya sekali. Apakah warna kulit ular itu?”

“Hijau…….” jawab Loan Ki, suaranya masih gemetar sedikit karena tegang. Ia maklum betapa berbahayanya ular itu, ular berbisa yang amat jahat.

“Hemm, ching-coa (ular hijau)……. agaknya penghuni aseli pulau ini ……. Ki-moi, kau keluarkan pedangmu, siap-siap menghadapi segala kemungkinan. Aku khawatir kalau-kalau kita dikurung musuh.”

Mendadak dari arah belakang mereka terdengar suara yang sayup sampai dibawa angin,

“Haaiiiii! Anak-anak nakal, jangan tergesa-gesa mendarat…….!”

Kun Hong dan Loan Ki terkejut, cepat membalikkan tubuh. Kun Hong memasang telinga memperhatikan tapi tidak mendengar suara apa-apa.

“Apa yang kau lihat, Ki-moi? Siapa yang datang dari telaga?” bisiknya.

Loan Ki membelalakkan mata memandang. Cuaca sudah mulai gelap, akan tetapi ia dapat melihat datangnya sebuah perahu besar berlayar kuning dengan cepat menuju pantai.

Ia kaget sekali dan mengira bahwa suara tadi ditujukan kepada mereka. Mungkinkah dari jarak yang begitu jauh orang di dalam perahu itu dapat melihat mereka? Ia menarik tangan Kun Hong diajak menyelinap bersembunyi di balik rumpun pohon kembang.

“Ki-moi, apakah ada perahu datang?”

Sekali lagi Loan Ki heran dan kagum. Jalan pikiran Kun Hong benar-benar tajam dan cerdik biarpun pemuda ini tak dapat melihat lagi. Memang sesungguhnya Kun Hong cerdik. Kalau ada orang atau apa saja berada di darat di sekitar tempat itu yang terlihat oleh Loan Ki, tentu akan dapat ditangkap oleh telinga atau hidungnya. Terang bahwa Loan Ki melihat sesuatu, dan karena tidak mendengar apa-apa, maka dapat dia menduga bahwa suara orang tadi tentulah datang dari perahu.

“Perahu besar…….” kata Loan Ki, “berlayar kuning……. ada lima orang laki-laki berpakaian hijau di atas perahu, memegang tongkat……. eh, seperti suling. Perahu sudah minggir, Hong-ko……. kulihat benda-benda panjang kecil meloncat ke air, ke darat, seperti ranting-ranting kayu panjang……. heiii, benda-benda itu bergerak……. ohh, Hong-ko. Ular! Ular-ular besar kecil, banyak sekali, puluhan……. ah, ratusan mungkin ribuan. Dan lima orang itu berjalan di belakang mereka. Apa itu…….? Ah, mereka……. mereka agaknya menggembala ular-ular itu!”

Kun Hong miringkan kepala, hidungnya mengembang-kempis.
“Ki-moi, lihat baik-baik. Apakah diantara mereka terdapat seorang tua bongkok yang bercacat, telinga kiri dan lengan kiri buntung, mata kiri buta, dan mulutnya lebar seperti robek?”






No comments:

Post a Comment