Ads

Friday, January 11, 2019

Pendekar Buta Jilid 004

Lauw Teng melangkah maju.
“Siauw-sinshe, harap kau suka mengobatinya. Terus terang saja, tadi kami meragukan kepandaianmu maka sengaja hendak mengujimu. Maafkanlah.”

Kun Hong memang bukan seorang pendendam. Tentu saja dia memaafkan mereka yang tadi hendak main-main kepadanya. Malah perbuatannya terhadap A Sam inipun hanya untuk main-main belaka. Dia segera maju mendekat, beberapa kali dia membetot urat-urat di leher dan dibawah pangkal lengan. Sebentar saja berhentilah A Sam berbatuk-batuk, peluhnya keluar semua dan dia segera terduduk saking lelahhya.

“Siauw-sinshe, sekarang kuharap kau suka mengobati semua orangku, juga mengobati lukaku sendiri. Ketahuilah bahwa aku adalah Hui-houw-pangcu (ketua Hui-houw-pang) Lauw Teng. Tentu kau sudah mendengar tentang Hui-houw-pang, bukan?”

Ketua ini mengira bahwa tentu sinshe buta yang masih muda ini akan terkejut sekali mengetahui bahwa dia berada di dalam markas Hui-houw-pang yang sudah amat terkenal di seluruh Propinsi Santung. Akan tetapi dia terheran dan juga kecewa ketika orang muda buta itu menggeleng kepalanya dan berkata tak acuh.

“Aku baru saja datang di pegunungan ini, Lauw-pangcu, maka tidak mengenal perkumpulanmu. Akan kucoba mengobati kalian. Suruh orang-orangmu yang menderita luka sama dengan Hek-twa-to, yang ada bintik merahnya pada tubuh mereka, maju dan berjajar di depanku.”

Ada delapan orang yang menderita seperti Hek-twa-to Lima belas orang lain menderita luka senjata yang parah dan luka-luka itu membengkak dan keracunan. Ketika mengetahui bahwa belasan orang ini terluka oleh macam-macam senjata, Kun Hong dapat menduga tentu telah terjadi pertempuran hebat antara orang-orang Hui-houw-pang ini melawan rombongan lain yang agaknya dikepalai oleh seorang she Bhe yang telah melukai delapan orang itu dan tentu seorang yang berkepandaian tinggi juga.

Cepat dia menuliskan resep obat untuk orang-orang yang terluka. Tulisannya cepat dan tidak memperdulikan seruan-seruan heran dari semua orang yang melihat betapa seorang buta dapat menulis secepat dan seindah itu. Untuk luka-luka yang dapat dia obati dengan obat-obatan yang tersedia dalam buntalannya, segera dia obati.

Akan tetapi ketika Kun Hong memeriksa tubuh Lauw Teng, diam-diam dia terkejut sekali. Dengan rabaan tangannya dia mendapat kenyataan bahwa ketua ini memiliki tubuh yang kuat dan Iweekang yang tinggi. Namun ternyata dia terkena pukulan beracun yang amat keji. Pukulan yang mengenai pundak itu busuk menghitam sedangkan tulang pundaknya remuk-remuk.

Hebat sekali penderitaan ketua ini, namun dia tadi masih dapat menahannya, membuktikan bahwa Lauw Teng adalah seorang yang amat kuat. Diam-diam Kun Hong mengeluh. Agaknya dugaannya bahwa yang merobohkan orang-orang ini tentu seorang pendekar kiranya tidak betul. Seorang pendekar gagah tidak mungkin memiliki ilmu pukulan yang begini keji, atau andaikata memiliki juga, tidak akan sudi mempergunakan. Kalau begini, agaknya fihak yang menjadi lawan Hui-houw-pang inipun bukan golongan baik-baik!

Kun Hong menarik napas panjang, menyesalkan dirinya yang tanpa disengaja telah memasuki dunia golongan hitam. Akan tetapi dia berusaha juga menolong Lauw Teng, menggunakan sebatang jarum perak untuk mengoperasi luka itu, mengurut beberapa jalan darah dan menempelkan obat luka buatannya sendiri yang amat manjur. Kemudian dia menulis sebuah resep obat untuk ketua Hui-houw-pang ini.

Begitu dia selesai mengobati Lauw Teng dan ketua ini mengucapkan terima kasihnya, tiba-tiba terdengar suara keras dan tahu-tahu ada hawa menyambar ke arah Kun Hong. Pemuda buta ini maklum bahwa ada orang menyerangnya, maka dia cepat menjatuhkan jarumnya ke bawah dan membungkuk untuk memungut jarum itu.

Hal ini dia lakukan untuk mengelak dengan gerakan seperti tidak disengaja. Akan tetapi kiranya serangan itu bukan untuk memukulnya, melainkan untuk menangkap pergelangan tangannya. Kun Hong tersenyum dan membiarkan pergelangan tangan kanannya dicengkeram orang. Dia pura-pura kaget dan berseru,

“Eh, siapa memegang lenganku? Kau mau apa?”

“Orang muda, katakan, apa hubunganmu dengan Toat-beng Yok-mo?” Penanya ini adalah kakek bersuara halus melengking tadi.

“Orang tua, beginikah caranya orang bertanya? Apakah harus mencengkeram lengan orang yang ditanya? Pakaianmu seperti pendeta, kenapa sikapmu kasar seperti penjahat?”

Tosu itu cepat melepaskan cengkeraman tangannya, mukanya yang bopeng menjadi merah sekali dan dia melangkah mundur tiga langkah. Heran sekali dia bagaimana orang buta ini dapat mengenal pakaiannya? Tentu saja dia tidak tahu bahwa pendengaran Kun Hong yang luar biasa dapat menggambarkan bentuk pakaian!





“Siauw-sinshe, tamuku yang terhormat ini adalah Ban Kwan Tojin yang berdiam di Kuil Pek-kiok-si (Kuil Seruni Putih). Beliau seorang tokoh pantai timur yang terkenal, harap kau suka menjawab pertanyaannya.”

Kun Hong menjura kearah Ban Kwan Tojin.
“Maaf, kiranya seorang tosu. Ban Kwan Tojin tadi bertanya tentang Toat-beng Yok-mo? Dia terhitung guruku karena aku mendapatkan ilmu pengobatan ini dari kitab-kitabnya.”

Tidak hanya Ban Kwan Tojin yang berseru kaget, bahkan Lauw Teng dan anak buahnya menjadi kaget sekali, juga girang. Siapa tidak mengenal nama mendiang Toat-beng Yok-mo yang bukan saja terkenal sebagai setan obat, akan tetapi juga sebagai seorang sakti yang luar biasa?

Di samping kekagetan, keheranan dan kegirangan ini, kembali timbul keraguan dan tidak percaya. Apalagi Ban Kwan Tojin yang tahu betul bahwa belum pernah Toat-beng Yok-mo mempunyai seorang murid buta.

“Siauw-sinshe, bolehkah pinto mengetahui namamu yang terhormat?” dia bertanya, suaranya menghormat karena betapapun juga, pemuda buta ini sudah membuktikan kepandaiannya tentang ilmu pengobatan.

“Namaku Kwa Kun Hong, Totiang.”

“Hemm, serasa belum pernah mendengar nama ini ………..”

“Tentu saja belum, apa sih artinya nama seorang tabib buta?” Kun Hong tersenyum polos.

“Kwa-sinshe, kalau kau betul murid Toat-beng Yok-mo, tahukah kau dimana sekarang gurumu itu berada?”

Pertanyaan dari tosu ini terdengar oleh Kun Hong sebagai pancingan, kata-kata penuh nafsu menyelidiki.

“Dia sudah meninggal dunia, tiga tahun yang lalu,” jawabnya bersahaja.

“Ah, jadi kau tahu bahwa tiga tahun yang lalu dia tewas dalam pertempuran di puncak Thai-san, ketikaThai-san-pai didirikan? Dan kau diam saja tidak berusaha membalas dendam? Tahukah kau siapa yang membunuhnya, Sinshe?”

Pertanyaan yang bertubi-tubi dari tosu itu hanya diterima dengan senyum saja. Sudah tentu saja dia tahu bagaimana tewasnya Toat-beng Yok-mo karena kakek iblis itu tewas ketika bertanding melawan dia sendiri. Kakek berhati iblis yang amat jahat itu tewas karena bertindak curang kepadanya dalam pertempuran itu dan boleh dibilang tewasnya adalah karena perbuatannya sendiri.

“Tentu saja aku tahu siapa yang pembunuhya. Yang membunuhnya adalah dia sendiri, ya ……. dia membunuh diri sendiri.”

Hati Kun Hong mulai tidak enak. Jangan-jangan tosu ini tiga tahun yang lalu hadir pula di Thai-san dan melihat betapa Toat-beng Yok-mo tewas ketika berhadapan dengan dia sebelum dia buta dan sekarang tosu ini sengaja memancing-mancing.

“Totiang, kalau tiga tahun yang lalu kau sendiri hadir disana, mengapa mesti bertanya-tanya?” jawabnya pendek.

Tosu itu tertawa.
“Ha-ha-ha, kalau pinto hadir tidak nanti bertanya lagi. Sayangnya pinto tidak hadir ketika itu, hanya mendengar berita dari kawan-kawan bahwa gurumu itu telah tewas dalam pertempuran. Kau yang menjadi muridnya tentu tahu lebih jelas bukan?”

“Sudah kujelaskan bahwa dia mati karena perbuatannya sendiri.”

“Jadi kau tidak ada niat untuk mencari musuh-musuh gurumu itu dan membalas dendam? Hemm, murid yang baik kau itu, Kwa-sinshe.” Ban Kwan Tojin mengejek.

“Toat-beng Yok-mo terkenal jahat. Biarpun dia guruku, hanya guru dalam ilmu pengobatan saja. Dia boleh bermusuhan dengan orang lain, akan tetapi aku tidak berniat bermusuhan. Kepandaianku menyembuhkan orang sakit supaya sehat, bukan menjadikan orang sehat supaya sakit. Sudahlah, Lauw-pangcu, setelah selesai tugasku disini, aku mohon diri hendak melanjutkan perjalananku.”

Dia menjura ke depan ke kanan kiri, lalu membereskan buntalan obatnya dan bersiap-siap untuk pergi. Ketika mengerjakan semua ini, juga ketika tadi melakukan pengobatan, Kun Hong tidak lupa menyelipkan tongkatnya di punggung.

Bagi seorang buta seperti dia, tongkat merupakan pengganti mata dalam melakukan perjalanan, apalagi kalau tongkat itu seperti tongkatnya, tongkat yang berisi pedang pusaka Ang-hong-kiam, tongkat yang sengaja dibuat oleh kakek sakti Song-bun-kwi (Setan Berkabung) untuknya (baca cerita Rajawali Emas).

Pada saat itu terdengar suara seorang wanita,
“Ayah ………..!”

Lauw Teng menengok dan keningnya berkerut ketika dia melihat anaknya, seorang gadis berusia dua puluh tahun, gadis yang berdandan secara mewah, muncul dari pintu samping. Gadis ini perawakannya tinggi besar, cukup manis dan gerak-geriknya kasar dan genit, pakaiannya serba indah dan di punggungnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya terhias ronce-ronce merah, berkibar di dekat rambutnya yang disanggul tinggi dan dihias kupu-kupu emas bertabur mutiara.

“Swat-ji, ada keperluan apa kau datang kesini?” tegur Lauw Teng marah.

Seharusnya anaknya itu berdiam bersama ibunya dan keluarga Hiu-houw-pang di perkampungan, biarpun dia menjadi kepala para perampok namun dia tidak senang melihat anak perempuannya bergaul dengan para perampok yang kasar dan biasa mengeluarkan ucapan-ucapan kotor dan tak sopan.

Memang beginilah watak orang seperti Lauw Teng, biarpun dia sendiri sudah biasa tidak menghormati kaum wanita, namun dia tidak suka melihat wanita-wanita keluarganya tidak dihormati orang!

Dengan lagak genit, tersenyum-senyum, dan melirik-lirik gadis itu menjawab,
“Ayah, kau dan semua orang sibuk berobat, kabarnya ada tabib pandai disini, mengapa tidak menyuruh tabib itu datang ke kampung? Ibu menderita batuk, bibi masuk angin dan aku sendiri sering merasa dingin kalau malam. Suruh dia ke kampung Ayah.”

Mendengar ucapan terakhir ini di sana-sini sudah terdengar suara orang terkekeh-kekeh, akan tetapi segera berhenti ketika Lauw Teng dengan mata tajam menengok ke arah suara orang-orang tertawa itu.

“Huh, dasar perempuan, baru sakit batuk dan masuk angin saja sudah ribut-ribut. Pulanglah, biar nanti kumintakan obat kepada siauw-sinshe.”

Akan tetapi ketika dia menengok, dia melihat anaknya itu berdiri di dekat Kun Hong, memandang bengong kepada pemuda buta yang sedang membereskan buntalannya.

“Swat-ji, lekas pulang!” tegur ayahnya.

Swat-ji, gadis itu, seperti baru sadar, menengok kepada ayahnya dan berkata.
“Ayah, dia inikah tabibnya? Masih muda benar dan……. dan agaknya dia……. dia buta, Ayah.”

Mendengar gadis itu bicara dekat di depannya Kun Hong merasa tidak enak sekali. Akan tetapi dia segera bangkit berdiri, menjura dan berkata sambil tersenyum ramah.

“Bukan agaknya lagi, Nona, memang aku seorang buta.”

Sejenak Swat-ji berdiri bengong memandang wajah Kun Hong. Belum pernah ia melihat seorang pemuda setampan ini, apalagi ketika tersenyum, benar-benar membuat Swat-ji seperti kena pesona. Mata yang buta itu bahkan menambah rasa kasihan yang mendalam.

“Swat-ji, pulang kataku!” Lauw Teng membentak marah.

“Ayah, kulihat kau dan para paman sudah sembuh. Tentu sinshe buta ini yang menolong kalian. Setelah ditolong, kenapa tidak berterima kasih? Sepatutnya kita membawanya ke kampung, menjamunya dengan pesta tanda terima kasih. Ayah, kalau sekarang kau membiarkan penolong pergi begitu saja, bukankah Hui-houw-pang akan ditertawai orang dan dianggap tak kenal budi?”

“Ha-ha-ha, tepat sekali ucapan Nona! Lauw-sicu, benar-benar pinto tidak pernah mengira bahwa kau mempunyai seorang anak perempuan yang begini cantik lahir batinnya. Benar-benar pinto kagum dan terpaksa pinto berfihak kepada puterimu, Lauw-sicu.”






No comments:

Post a Comment