Ads

Sunday, February 10, 2019

Pendekar Buta Jilid 111

Kakek ini memang Hek Lojin adanya, orang tua lihai dari Go-bi, guru The-kongcu atau The Sun. Sudah kita ketahui bahwa kakek ini pernah bertemu dengan Kun Hong dan rajawali emas, dan hampir terjadi peristiwa kalau saja Kun Hong tidak bersabar dan mengalah.

Ketika Hek Lojin ini memasuki kota raja, dia disambut dengan segala kehormatan oleh The Sun. Akan tetapi ketika kakek aneh ini mendengar tentang Kun Hong dan rajawali emas, dia mengejek dan menceritakan pengalamannya menghina pemuda buta itu kepada The Sun dan para jagoan istana yang ikut menyambutnya.

“Heh-heh-heh, A Sun, muridku, kenapa kalian begitu goblok? Menangkap pemberontak buta seperti dia saja tidak becus, padahal di kota raja ini terdapat banyak orang? Heh-heh, percuma saja kalau begitu. Habis, Thian Te Cu ini apa saja kerjanya?”

Dia menuding adik seperguruannya yang hadir pula disitu, dan mengerling kepada semua yang hadir.

“Suheng, biarpun dia masih muda, si buta itu benar-benar lihai sekali,” bantah Thian Te Cu dengan muka merah karena ditegur dan diketawai suhengnya di depan banyak orang.

“Uuaaah, lihai apanya? Kalau dia lihai kenapa mau berlutut dan mengangguk tujuh kali di depan kakiku, kepalanya kulangkahi kaki dia tidak berani apa-apa. Dasar kalian yang tiada gunanya. Uhh!”

Kakek hitam ini memang sudah terlalu lama meninggalkan dunia ramai, bertapa di dalam hutan diatas gunung sehingga wataknya sudah berubah seperti orang hutan saja. Dia tidak perduli lagi akan sopan santun dunia ramai, bicara asal membuka mulut saja, tidak perduli apakah kata-katanya menyinggung orang ataukah tidak. Karena terlalu tua, agaknya dia sudah pikun atau sudah lupa akan tata susila atau tata cara pergaulan.

Bhok Hwesio sebaliknya adalah seorang hwesio yang menjaga keras peraturan, seperti biasanya hwesio-hwesio dari Siauw-lim-pai. Sejak tadi dia sudah mendelik-mendelik memandang kepada kakek hitam itu. Akan tetapi karena dia tersinggung tidak secara langsung dan kakek hitam itu hanya menegur sutenya sendiri, diapun menahan kesabaran dengan muka merah.

Sekarang, mendengar betapa kakek hitam itu berkali-kali menyebut “kalian” goblok, tiada gunanya dan lain-lain, dia menjadi marah sekali. Terdengar dia mendengus satu kali dan tiba-tiba meja di depannya amblas ke bawah sampai dua puluh senti lebih.

Empat kaki meja itu amblas menembus lantai yang keras dari ruangan itu, amblas tanpa mengeluarkan bunyi seakan-akan empat kaki meja itu menembus agar-agar saja. Dalam kemarahannya, hwesio Siauw-lim ini ternyata telah menggunakan Iweekangnya yang memang amat mengagumkan dan sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Semua orang kaget dan diam-diam merasa tidak enak, maklum bahwa hwesio ini marah kepada kakek hitam itu.

“Hemmm, sudah pernah pinceng mendengar nama besar Hek Lojin dari Go-bi yang tinggi menyundul langit. Dengan adanya Hek Lojin disini orang-orang macam pinceng ini apa gunanya lagi? Lebih baik pergi dan membaca doa di kelenteng! Tapi, biasanya kalau geledek menyambar-nyambar hebat, belum tentu hujannya lebat.”

Hek Lojin pelototkan matanya. Tentu saja dia maklum apa artinya ucapan “geledek menyambar-nyambar hebat, belum tentu hujannya lebat” itu yang boleh diartikan, bicara besar, belum tentu kepandaiannya tinggi. Melihat hwesio Siauw-lim itu sudah bangkit dari tempat duduknya, diapun berdiri dan berkata,

“He-heh-heh, hwesio tukang berdoa. Boleh kita coba-coba!”

“Omitohud, pinceng ingin sekali menerima petunjuk!”

The Sun menjadi sibuk. Cepat-cepat dia bangkit dan berdiri diantara kedua jago tua yang sudah hendak saling terjang ini.

“Suhu…….. Losuhu……. harap ji-wi sudi duduk kembali. Harap suka melihat muka teecu……. yang dalam hal ini mewakili kaisar. Ji-wi dipersilahkan datang untuk menghadapi para pemberontak, bukan untuk saling bermusuhan. Harap suka ingat bahwa para pemberontak belum tertumpas.”

Bhok Hwesio menarik napas panjang dan duduk kembali.
“Maaf, pinceng sampai lupa diri, omitohud…….”

Hek Lojin nampak uring-uringan.
“Apa sih hebatnya si pemberontak buta? Kalian semua lihat saja, aku akan pergi menangkapnya dan menyeretnya ke hadapan kalian!”





Setelah berkata demikian, kakek hitam ini melesat lenyap dari situ tanpa dapat dicegah lagi.

Demikianlah, dengan hati marah, Hek Lojin keluar dari kota raja untuk mengejar Kun Hong. Dia hendak membuktikan kesanggupannya, hendak membuktikan omongannya. Dia yakin bahwa dengan mudah dia akan dapat membunuh burung rajawali dan lebih mudah lagi menawan pemberontak buta yang sudah amat takut terhadapnya itu. Karena mendongkol kepada sutenya yang menjadi tosu, mendongkol pula kepada Bhok Hwesio, maka di sepanjang jalan dia menyanyikan sajak-sajak Agama To dan Buddha sambil mengejek dan kebetulan sekali dia bertemu dengan Kong Bu dan Li Eng.

Suami isteri muda itu menjadi marah sekali setelah mendengar bahwa kakek ini memusuhi Kun Hong. Setelah mereka berdua serentak maju menyerang menggunakan pedang mereka, barulah Hek Lojin menjadi kaget. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ilmu pedang kedua orang muda ini begitu hebat, menyambar-nyambar seperti sepasang burung garuda sakti.

Gaya permainan kedua suami isteri itu jauh berbeda dan inilah yang membuat dia terheran dan kagum. Jelas bahwa suami isteri ini memiliki ilmu pedang dari dua macam sumber yang sama tingginya. Kalau tadinya Hek Lojin bersikap main-main dan bermaksud melayani kedua orang itu dengan memandang rendah, kini dia bersungguh-sungguh.

Cepat diapun menggerakkan tongkat hitam yang panjang itu, sekaligus menangkis dan balas menyerang dengan hebatnya. Sekali bertemu senjata, baik Li Eng maupun Kong Bu terkejut karena tenaga kakek hitam ini benar-benar dahsyat bukan main. Hampir saja pedang mereka terlempar ketika beradu dengan tongkat hitam panjang. Mereka berlaku hati-hati sekali karena maklum bahwa apabila pertempuran mengandalkan tenaga, mereka akan kalah jauh.

Dilaln fihak, kakek itupun kagum ketika pada pertemuan pertama antara senjata mereka tadi, dia masih belum mampu memukul jatuh pedang-pedang lawan. Ini saja menjadi bukti bahwa kedua orang lawannya yang masih amat muda-muda itu benar-benar murid-murid orang sakti. Kiranya dalam hal kepandaian, suami isteri ini setingkat dengan muridnya, The Sun. Padahal, tadinya dia mengira bahwa di dunia ini belum tentu dapat dicari keduanya seorang muda dengan kepandaian setingkat muridnya itu.

Pertempuran itu berjalan cepat sekali. Dua puluh jurus telah lewat dan masih saja mereka bertempur mempergunakan kecepataan, suami isteri itu memang sengaja mengerahkan ginkang dan hendak mencari kemenangan mempergunakan kelincahan.

Siapa kira, kakek hitam itupun ternyata seorang ahli ginkang yang hebat sehingga ketika kakek ini menandingi mereka, maka bayangan tiga orang itu lenyap terbungkus sinar senjata. Tiba-tiba Hek Lojin tertawa. Setelah dua puluh jurus, barulah dia mengenal ilmu pedang Li Eng. Kiranya ilmu pedang wanita muda ini adalah Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat. Akan tetapi baru sekarang dia menghadapi ilmu pedang Hoa-san-pai yang sehebat ilmu pedang yang dulu dimainkan oleh mendiang Lian Bu Tojin tokoh Hoa-san-pai yang mengasingkan diri.

Ia tidak tahu bahwa memang orang tua Li Eng adalah murid Lian Ti Tojin yang telah mewariskan ilmu pedangnya kepada mereka.

“Wah, kau masih apanya Lian Ti Tojin dari Hoa-san-pai?” Kakek itu sempat menegur dengan gembira. “Dan kau ini bocah, dari mana kau memperoleh ilmu pedang aneh ini!” tegurnya kepada Kong Bu.

Li Eng kaget juga mendengar disebutnya kakek gurunya yang memang menjadi pewaris ilmu pedangnya. Adapun Kong Bu yang ingin menggertak segera menjawab,


“Kakekku Song-bun-kwi yang mengajar kepadaku!”

“Wuuuuuttttt…tranggggg……. !”

Tidak dapat dihindarkan lagi, pedang Kong Bu bertemu dengan tongkat, sedangkan Li Eng dapat cepat mengelak. Kong Bu merasa betapa telapak tangannya seperti dibakar, maka cepat-cepat dia mengerahkan Iweekang untuk melawan hawa itu. Kakek itu sudah berdiri tertawa dan tongkatnya berdiri pula di depannya.

“Ha-ha-ha-heh-heh-heh, kiranya kau cucu setan bangkotan itu? Ha-ha-ha, ketika kakekmu masih muda, pernah dia bertekuk lutut di depan kakiku, tahukah kau? Ha-ha-ha, Song-bun-kwi, dahulu kau kalah, sekarang kau mewakilkan kepada cucumu untuk menderita kekalahan kedua kalinya. Dan Lian Ti Tojin, dulu belum sanggup mengalahkan aku, apalagi sekarang bocah perempuan yang mengandung ini, heh-heh-heh!”

“Sombong!!”

Li Eng dan Kong Bu berteriak hampir berbareng. Mereka berdua marah sekali mendengar ejekan-ejekan dan hinaan ini. Betapapun juga, tadi mereka belum kalah, malah belum terdesak hanya baru kalah tenaga saja. Mereka tidak takut dan setelah berteriak demikian, keduanya menyerbu lagi mengirimi serangan-serangan maut.

Akan tetapi sekarang kakek itu mengubah gerakannya. Tongkatnya yang panjang itu terputar seperti kitiran angin, cepat dan mendatangkan angin pukulan yang amat kuat. Cara kakek itu menyerang bukan seperti ilmu silat lagi, melainkan seperti sebuah kitiran angin besar yang tiada hentinya berputar dan menerjang mereka dengan kekuatan yang dahsyat !

Kong Bu dan Li Eng adalah keturunan orang-orang pandai yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi mereka ini ketinggalan jauh kalau dibanding dengan kakek ini dalam hal pengalaman bertempur. Menghadapi cara bertempur kakek ini, mereka menjadi repot dan bingung. Berusaha menangkis dengan pedang, akan tetapi setiap kali bertemu tongkat, pedang mereka terpental dan mereka terpaksa meloncat kesana kemari agar jangan terkena sambaran tongkat yang luar biasa itu. Sama sekali mereka tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang!

Tiba-tiba, seperti juga mulainya, kakek itu menghentikan pemutaran tongkatnya dan bersilat lagi, malah seperti sengaja memberi lowongan-lowongan kepada dua orang lawannya.

Girang hati Kong Bu dan Li Eng melihat ini, mengira bahwa kakek itu tentu lelah memutar tongkat seperti itu dan kini hendak beristirahat dan bersilat biasa. Kesempatan baik ini mereka pergunakan dan cepat mereka menyerbu, membalas dengan serangan-serangan maut yang amat berbahaya.

Mendadak kakek itu berseru keras dan tongkatnya kembali diputar secara tiba-tiba dan tidak terduga. Terdengar suara “trang-trang!” keras sekali dan tidak dapat dicegah lagi pedang Kong Bu dan Li Eng terpental, terlepas dari pegangan. Pedang Kong Bu melesat ke kanan dan pedang Li Eng melesat ke kiri, menancap sampai amblas sebatas gagang pada tanah beberapa meter jauhnya!

“Ha-ha-ha-he-he-he, baru kenal kelihaianku, ya?”

Kakek itu mengejek dan kembali tongkatnya berputaran menerjang suami isteri yang sudah tidak bersenjata lagi itu! Namun dua orang muda itu bukanlah orang-orang lemah, biarpun mereka sudah tidak bersenjata lagi, tidaklah mudah merobohkan mereka.

Biarpun tongkat itu berputar seperti kitiran, namun tubuh mereka melesat dan menyelinap diantara bayangan tongkat, ginkang mereka amat hebatnya sehingga tubuh mereka seakan-akan bayang-bayang yang sukar dipukul tongkat.

“Bagus, bagus……. ! Orang-orang muda cukup mengagumkan……. ha-ha, tetapi harus roboh oleh Hek Lojin!”

Kakek itu menerjang terus, kini dia selingi dengan pukulan-pukulan tangan kiri yang mengandung hawa pukulan jarak jauh. Memang hebat ilmu tongkat kakek ini. Tongkat yang diputar oleh kedua tangannya itu, kadang-kadang-kadang bisa dioper dengan tangan kanan saja, malah ada kalanya tongkat berputar cepat mendesing keatas, dilepas oleh kedua tangan yang melakukan pukulan-pukulan ke depan dan tongkat itu tanpa dipegang lagi terus berputaran diatas kepala, dan disambut lagi dengan enaknya.

Payah juga Kong Bu dan Li Eng menghadapi penyerangan kakek kosen. Mereka sudah mengambil keputusan untuk melarikan diri karena tidak sanggup melawan lagi, akan tetapi tiba-tiba kakek itu membentak keras, tongkatnya melayang dan menyerang kedua orang muda itu tanpa dia pegang, sedangkan tubuhnya mengikuti tongkatnya, kedua tangannya melakukan tamparan-tamparan disertai tenaga Iweekang.

Melihat Li Eng terpeleset ketika mengelak tongkat dan terdorong angin pukulan lawan, Kong Bu kaget, cepat dia menghadang desakan kakek itu. Dengan mengerahkan tenaga dia menangkis dengan tangan kiri.

“Krakkk” lengannya patah ketika bertemu dengan tangan si kakek, dan sebuah tendangan membuat Li Eng terjungkal!

Kong Bu marah bukan main, dengan nekat dia menggunakan tangan kanannya menerjang, tetapi diapun harus terjungkal ketika kakek itu mendorong dengan kedua tangannya dari samping.






No comments:

Post a Comment