Ads

Friday, February 8, 2019

Pendekar Buta Jilid 109

Sudah sebulan lebih Kong Bu dan isterinya, Li Eng, meninggalkan puncak Min-san. Sebulan yang lalu, secara tiba-tiba seperti juga ketika perginya, kakek Song-bun-kwi muncul di Min-san. Tadinya Kong Bu dan Li Eng menyambut kedatangannya dengan gembira sekali. Akan tetapi alangkah kaget dan kecewa hati mereka ketika dengan muka cemberut kakek itu berkata pendek,

“Kalian dengar baik-baik. Thai-san-pai telah diserbu orang, dirusak binasakan, banyak muridnya yang tewas. Adikmu Cui Sian diculik orang, Sekarang ayahmu Tan Beng San dan isterinya meninggalkan Thai-san untuk mencari jejak musuh dan Cui Sian. Kau, Kong Bu, sebagai putera tertua Thai-san-pai, kalau tidak dapat turun gunung membalas sakit hati ayahmu ini, kau akan menjadi dua kali pu-thauw (durhaka), selain goblok tidak mempunyai keturunan juga durhaka tidak tahu budi orang tua.” Hanya demikian saja kakek itu bicara, lalu membalikkan tubuh lari pula turun gunung.

Kong Bu dan isterinya saling pandang dengan muka pucat. Mereka tahu bahwa kakek itu masih saja penasaran dan marah karena mereka tidak mempunyai turunan. Sakit hati mereka dikata-katai seperti itu oleh kakek mereka dan Li Eng yang biasanya tabah dan keras hati itu sudah menangis.

“Eng-moi,” Kong Bu menghibur sambil memeluk isterinya, “sabarlah, sudah tidak aneh lagi kalau kakek bersikap seperti itu. Memang beliau seorang yang berwatak keras dan aneh.”

Li Eng menggeleng kepala.
“Bukan itu…….. bukan itu…….” katanya menahan isak. “Aku bersumpah, sebelum dapat melihat adik Cui Sian kembali kepada orang tuanya dan sebelum mampu membalas musuh-musuh Thai-san-pai, aku tidak akan mau pulang ke Min-san.”

Kong Bu mengangguk.
“Baiklah, mari kita turun gunung dan membantu ayah mencari adik Cui Sian dan membalas musuh-musuh itu.”

Demikianlah, sepasang suami isteri ini lalu turun gunung, meninggalkan puncak Min-san dan mulai melakukan penyelidikan di dunia kang-ouw

Baru kali ini semenjak mereka menikah empat tahun lalu, mereka melakukan perjalanan berdua, turun gunung. Dengan heran mereka mendapatkan kenyataan betapa menyenangkan perjalanan ini, betapa menggembirakan! Perjalanan ini mengingatkan mereka akan pertemuan pertama mereka dahulu, pertemuan yang aneh, lucu dan mesra. Pada pertemuan pertama itu keduanya juga masing-masing sedang merantau seperti sekarang ini, begitu bertemu saling bermusuh mengadu ilmu kepandaian sampai berjam-jam lamanya karena ilmu silat mereka memang setingkat.

Akhirnya Li Eng dapat dikalahkan dan dijadikan tawanan oleh Kong Bu, kemana-mana dipondong diluar kemauan Li Eng. Kemudian, dengan menggunakan akal, Li Eng dapat merobohkan Kong Bu dan bertukar peranan. Li Eng yang sekarang menawan Kong Bu dan karena tidak sudi memondong tawanannya, ia lalu menyeretnya di sepanjang jalan (baca Rajawali Emas).

Semua peristiwa ini terbayang oleh sepasang suami isteri itu, menimbulkan kegembiraan besar dan kini mereka saling pandang dengan amat mesra, dengan kasih sayang baru. Kenangan masa lalu itu membangkitkan kembali kasih mesra diantara mereka.

Memang sesungguhnyalah, amatlah tidak baik kalau suami isteri melupakan hal-hal seperti ini. Tinggal dirumah saja bertahun-tahun, hidup sebagai alat-alat mati, segalanya sudah teratur dan selalu begitu-begitu tanpa perubahan, setiap hari terulang kembali tanpa muncul hal-hal baru, tanpa melihat hal-hal baru, akan mudah mendatangkan rasa bosan.

Tanpa disadari akan membuat suami isteri itu merasa bahwa mereka terikat oleh beban rumah tangga yang membuat mereka tunduk terbungkuk-bungkuk, menyeret mereka menjadi hamba daripada keseragaman yang mereka ciptakan sendiri, memaksa mereka menjadi sebagian daripada bangunan mesin rumah tangga yang mereka bentuk sendiri.

Tubuh ini milik dunia, dan sudah menjadi sifat dunia selalu menghendaki yang baru mengubur yang lama. Oleh karena tubuh ini milik dunia maka tubuh inipun seperti halnya dunia, menghendaki pula hal-hal yang baru, selalu rindu dan mencari sesuatu yang baru. Demikian pula dengan suami isteri, karena mereka hanya manusia-manusia yang bertubuh, dengan sendirinya merekapun membutuhkan hal-hal yang baru untuk mempertahankan kebahagiaan rumah tangganya.

Mereka sendirilah yang harus menciptakan hal-hal baru ini, harus pandai mencari suasana yang baru karena hal ini akan membangkitkan gairah hidup, akan menambah terang cahaya kebahagiaan rumah tangga, akan memperbarui atau mempertebal kasih mesra diantara mereka sendiri (dalam bahasa Jawa disebut ambangun trisno). Suami isteri harus pandai memilih saat-saat dimana mereka dapat memisahkan diri daripada keseragaman tiap hari itu, berdua saja untuk sementara memisahkan diri daripada suasana sehari-hari yang selalu begitu-begitu saja sehingga membosankan.





Demikianlah, tanpa disengaja, Kong Bu dan Li Eng telah menciptakan suasana baru dengan kepergian mereka turun gunung. Tidak mengherankan apabila mereka merasakan kebahagiaan dan kegembiraan luar biasa dalam perjalanan ini, seakan-akan mereka memasuki hidup baru yang jauh berbeda daripada kehidupan sehari-hari yang begitu-begitu saja di puncak Min-san.

Biasanya setiap hari mereka hanya mengenal hal seperti ini, yaitu bangun pagi-pagi, melatih para murid, bekerja diladang, melatih murid-murid lagi, malamnya berlatih sendiri, mengaso, tidur. Demikianlah acara tunggal tiap hari. Pemandangan alam yang dilihatpun itu-itu juga.

Kini, begitu turun gunung, mereka memasuki suasana baru. Hawa baru, pemandangan baru, pendengaran baru dan kesemuanya ini menyiram bunga kebahagiaan yang tadinya agak melayu oleh kebosanan. Bersinar-sinar mata mereka, tersenyum-senyum bibir mereka, kemerahan pipi Li Eng kalau memandang suaminya, amat mesra pandang mata Kong Bu kalau menatap wajah isterinya, dan keduanya mendapatkan kebagiaan baru dalam perjalanan ini.

Seperti juga yang telah dilakukan oteh kakek mereka, juga oleh suami isteri Thai-san-pai dan oleh Sin Lee dan isterinya, suami isteri Min-san inipun melakukan penyelidikan di dunia kang-ouw. Banyak sudah tokoh kang-ouw yang mereka datangi untuk dimintai keterangan, kalau-kalau ada diantara mereka yang mendengar siapa-siapa yang telah menyerbu Thai-san.

Akan tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang mengetahui akan peristiwa itu dan karenanya juga tidak dapat menduga siapa yang memusuhi Thai-san. Malah berita ini mengejutkan dan menggegerkan dunia kang-ouw, karena peristiwa itu sudah pasti akan berekor panjang. Siapakah mereka yang begitu berani mati mengganggu Thai-san-pai? Dengan hati berdebar dan tegang, para tokoh kang-ouw menanti-nanti datangnya ledakan dahsyat akibat kejadian ini, karena tidak boleh tidak tentu fihak Thai-san-pai akan melakukan pembalasan !

“Tidak ada lain jalan, isteriku,” kata Kong Bu ketika mereka berdua sedang mengaso pada tengah hari yang terik di bawah pohon besar, “Kita harus mendatangi tempat tinggal para musuh Ayah. Penyerbuan di Thai-san itu agaknya dilakukan penuh rahasia sehingga tidak ada yang tahu. Menurut pendapatku, mereka yang menyerbu Thai-san-pai tentulah keluarga atau handai-taulan daripada musuh-musuh ayah, tanpa dasar dendam sakit hati siapakah orangnya berani dan mau menyerbu Thai-san-pai sedangkan ayah terkenal sebagai seorang pendekar besar?”

Li Eng sedang duduk melonjorkan kedua kakinya dan tubuhnya bersandar pada batang pohon itu, kedua matanya dimeramkan. Agaknya ia nampak lelah sekali dan mengantuk. Mendengar ucapan suaminya, ia menjawab,

“Memang agaknya begitu, akan tetapi yang lebih jelas lagi adalah bahwa mereka yang menyerbu itu tentu orang-orang yang memiliki ilrnu kepandaian tinggi. Kalau tidak, mana mampu mereka mengganggu Thai-san-pai ?”

Kong Bu setuju dengan pendapat isterinya ini. Ayahnya adalah Raja Pedang yang sukar dicari bandingannya di dunia kang-ouw, ibu tirinya juga seorang pendekar pedang wanita yang berilmu tinggi. Kalau bukan orang-orang yang sakti, takkan mungkin berani mengganggu kesana, apalagi sampai berhasil merusak binasakan dan menculik Cui Sian.

Ia mengingat-ingat mereka yang dahulu memusuhi ayahnya Siauw-ong-kwi tokoh utama dan muridnya, Siauw-coa-ong Giam Kin, keduanya sudah tewas dalam pertemuan di Thai-san. Toat-beng Yok-mo juga sudah tewas, begitupun Pak Thian Locu dan Hek Hwa Kui-bo. Tokoh-tokoh utama dunia persilatan sudah banyak yang tewas dan diantara empat besar yaitu Song-bun-kwi dari barat, Swi Lek Hosiang dari timur, Siauw-ong-kwi dari utara dan Hek Hwa Kui-bo dari selatan, kini yang masih hidup hanya kakeknya, Song-bun-kwi dan Swi Lek Hosiang.

Akan tetapi Tai-lek-Sin Swi Lek Hosiang bukanlah orang yang termasuk menjadi musuh ayahnya. Adapun kakeknya, biarpun dahulu memusuhi ayahnya, akan tetapi sekarang tidak mungkin lagi, malah membantu. siapakah pula orang sakti yang dapat menyerbu ke Thai-san? Terbayang wajah Hek Hwa Kui-bo yang jahat dan dia mengingat-ingat siapa sanak keluarga nenek iblis ini. Tiba-tiba dia meloncat bangun dan menepuk-nepuk pahanya.

“Wah, kalau bukan mereka siapa lagi ?”

Mendengar suara suaminya ini, Li Eng membuka kedua matanya yang mengantuk, terheran-heran melihat sikap suaminya yang seperti keranjingan itu.

“Eh, kau teringat siapakah ?” tanyanya, terganggu karena tadi ia hampir pulas saking nikmatnya mengaso di bawah pohon yang teduh dan dikipasi angin semilir.

“Ketemu sekarang, Eng-moi! Tentu mereka, wah, siapa lagi kalau bukan mereka?”

Li Eng kini melemparkan punggungnya, duduk tidak bersandar lagi, matanya sudah terbuka lebar menatap wajah suaminya.

“Duduklah yang baik bicara yang benar! Siapa yang kau maksudkan? Kau seperti sedang teringat kepada kekasihmu yang dulu saja.”

“Eh, eh, tiada hujan tiada angin tiba-tiba saja kau cemburu?” Kong Bu segera duduk di dekat isterinya dan merangkul lehernya. “Sejak dahulu kekasihku hanya kau, ada siapa lagi? Aku bukan sedang teringat akan kekasih, melainkan teringat akan murid mendiang Hek Hwa Kui-bo, yaitu ketua Ngo-lian-kauw yang berjuluk Kim-thouw Thian-li. Kau tentu masih ingat akan dia, bukan? Nah, dia sudah tewas tetapi Ngo-lian-kauw masih berdiri, kabarnya malah makin kuat. Orang-orang Ngo-lian-kauw lihai, juga licin dan curang sekali. Mereka patut dicurigai. Kurasa, setidak-tidaknya mereka tentu bercampur tangan dalam penyerbuan Thai-san-pai.”

Li Eng mengerutkan keningnya yang hitam panjang, lalu mengangguk-angguk.
“Betul juga katamu, kalau mengingat mereka, akupun curiga. Perkumpulan iblis itu dapat melakukan kejahatan yang bagaimanapun juga.”

“Aku tahu sarangnya!” Kong Bu berkata cepat. “Ngo-lian-kauw (Perkumpulan Agama Lima Teratai) berpusat di lembah Sungai Huai, di sebelah barat kota raja dan sebelah utara kota Ho-pei. Li Eng, hayo kita berangkat sekarang juga.”

Kong Bu melompat berdiri lagi, akan tetapi dia memandang heran kepada isterinya yang masih saja duduk bermalas-malasan, malah sambil menguap dan mengulet isterinya kembali bersandar kepada batang pohon. Kong Bu memegang tangan Li Eng, menarik-nariknya mengajak bangun

“Hayo, bangunlah…….!”

Tetapi dia menjadi keheranan, ketika melihat Li Eng sama sekali tidak mau bangun berdiri, malah merenggut tangannya.

“Ihhh, kau kenapakah ?” Kong Bu cepat berlutut lagi dekat isterinya. “Kenapa malas benar ? Atau……. tidak enakkah badanmu ?”

“Entah, aku malas……. ngantuk. Kita mengaso dulu, biarlah aku tidur, hari masih amat panas, aku ogah melakukan perjalanan. Disini enak sekali, sejuk dan nyaman. Nanti saja kalau sudah teduh kita melanjutkan perjalanan, mengapa sih buru-buru amat?”

Kong Bu memandang terheran-heran. Ini bukan watak Li Eng sehari-hari, pikirnya. Biasanya, isterinya adalah seorang wanita yang lincah, yang selalu bergerak seperti burung walet, tidak mau diam apalagi bermalas-malasan seperti ini. Apakah yang terjadi? Mengapa isterinya mengalami perubahan watak begini aneh?

“Eng-moi, sakitkah kau……. ?”

Dengan penuh kasih sayang Kong Bu meraba jidat isterinya. Akan tetapi Li Eng mengipatkan tangan itu dan berkata, suaranya agak kaku,

“Jangan ganggu aku ! Aku mau tidur, aku tidak sakit apa-apa!”

Dan ia tidak mau perdulikan lagi pada suaminya karena matanya sudah meram dan ia benar-benar berusaha untuk tidur.

Kong Bu tercengang, lalu duduk termenung menatapi wajah isterinya. Benar-benar luar biasa. Kenapa Li Eng jadi berangasan seperti ini? Tampaknya hendak marah-marah, akan tetapi anehnya, sebentar saja isterinya itu telah pulas, dari pernapasannya yang panjang Kong Bu terpaksa menahan sabar, menunda keberangkatannya ke sarang Ngo-lian-kauw untuk menyelidiki perkumpulan itu yang dia duga tentu mempunyai saham besar dalam peristiwa penyerbuan Thai-san-pai.

Memang panas hawa pada tengah hari amat teriknya, biarpun sinarnya ditangkis oleh dahan-dahan pohon, namun sinar yang menerobos dari celah-celah daun menyilaukan mata. Nyaman berlindung di bawah pohon itu dan Kong Bu perlahan-lahan mengantuk juga setelah lama memandang wajah isterinya yang sudah tidur pulas dengan aman tenteramnya.






No comments:

Post a Comment