Ads

Tuesday, February 5, 2019

Pendekar Buta Jilid 092

Cepat dia menarik tangan kirinya, akan tetapi pedang itu dengan gerakan lambat dan aneh namun mengandung tenaga menempel yang luar biasa, tahu-tahu telah menghantam huncwenya.

Terdengar suara nyaring dan……. huncwe itu terlepas dari tangan Ang Mo-ko yang tiba-tiba merasa betapa tangan kanannya setengah lumpuh! Ang Mo-ko kaget sekali, mengeluarkan suara keras dan melompat ke belakang, keringat dingin membasahi lehernya karena maklum bahwa tadi kalau lawannya berniat buruk, tentu dia akan terluka. Ternyata pedang itu tidak mengejarnya dan Hui Kauw hanya berdiri dengan pedang melintang di depan dada.

“Kiam-hoat bagus…….!!”

Terdengar pujian dari seorang diantara mereka yang tempat duduknya di dekat The Sun, seorang laki-laki setengah tua yang gagah dan tampan, yang bermata tajam bersinar-sinar.

Terdengar tepuk tangan, ternyata kaisar sendiri yang bertepuk tangan memuji. Semua orang lalu mengikuti gerakan ini dan meledaklah tepuk tangan dan pujian di taman itu. Kaisar mengangkat tangan dan semua suara itu berhenti.

“Kwee Hui Kauw, sebagai seorang gadis muda, ilmu silatmu hebat bukan main. Kalau sampai mendapat pujian dari Sin-kiam-eng Tan Beng Kui, itu berarti bahwa ilmu pedangmu sudah mencapai tingkat tinggi. Bagus sekali!” kata kaisar dengan suara gembira.

Hui Kauw baru teringat bahwa ia berada di dalam pertemuan agung dimana kaisar hadir dan melihat betapa Ang Mo-ko sudah menjatuhkan diri berlutut, iapun segera berlutut menghadap kepada kaisar dengan penuh hormat. Diam-diam ia mencatat ucapan kaisar tadi bahwa orang setengah tua yang memujinya itu adalah Sin-kiam-eng Tan Beng Kui yang amat tersohor sebagai juara ilmu pedang!

“Kwee Hui Kauw, menyaksikan kepandaianmu, kami mengangkatmu sebagai pembantu komandan pengawal istana. The Sun yang akan membagi tugas kepadamu. He, The Sun kau perkenalkan Nona perkasa ini kepada para enghiong yang hadir!”

Dengan sikap gembira sekali kaisar itu lalu melanjutkan makan minum dan suasana pesta makin gembira.

Hui Kauw hanya dapat menghaturkan terima kasih sambil berlutut, kemudian ia mengiringkan The Sun yang mengajaknya untuk berkenalan dengan beberapa orang tokoh yang duduk di bagian tamu kehormatan. Pertama-tama ia diperkenalkan dengan orang setengah tua yang tadi memujinya, yaitu Sin-kiam-eng Tan Beng Kui! Tokoh pedang ini memandangnya dengan tajam penuh selidik, kemudian mengangguk dan berkata,

“Nona Kwee, sebagai puteri angkat Giam Kin, aku tidak tahu dari mana kau mendapatkan ilmu pedang yang hebat tadi. Lain waktu bila ada kesempatan aku ingin sekali mengajak kau bercakap-cakap tentang ilmu pedangmu itu.”

Suara itu terdengar manis memuji, akan tetapi mengandung sesuatu yang mendebarkan jantung Hui Kauw, karena jelas terasa olehnya bahwa tokoh pedang ini nampak tidak puas. Ia tidak dapat memperhatikan tokoh pedang ini lebih lanjut karena The Sun sudah memperkenalkan dia kepada tokoh-tokoh lain yang banyak terdapat di bagian itu.

Orang kedua yang diperkenalkan oleh The Sun kepadanya adalah seorang kakek yang berpakaian seperti tosu tua, bertubuh pendek gemuk akan tetapi mempunyai sepasang lengan yang panjang sekali, usianya sudah lebih dari lima puluh tahun namun mukanya halus seperti muka kanak-kanak. Tosu ini adalah seorang undangan dan dia bukanlah orang sembarangan karena dia ini bukan lain adalah paman guru The Sun sendiri!

Tosu pendek ini adalah seorang pertapa Go bi, adik seperguruan Hek Lojin yang terkenal dengan sebutan Kui-kong atau Malaikat Guntur! Adapun julukan atau nama pendetanya adalah Thian Te Cu. Menilik sebutan dan julukan ini, Lui-kong Thian Te Cu, sudah membuktikan bahwa betapa tokoh ini mempunyai watak jumawa. Akan tetapi kejumawaannya tidaklah kosong belaka karena dia memang memiliki kepandaian yang amat luar biasa dan dia bahkan pernah membikin ribut di Go-bi-pai, yaitu partai persilatan Go-bi-san yang amat tersohor.

Berbeda dengan watak suhengnya, Hek Lojin, yang lebih suka menyembunyikan diri di puncak gunung, tosu pendek ini menerima undangan The Sun dengan gembira karena sesungguhnya dia masih suka bersenang-senang menikmati kemuliaan duniawi.

“Heh-heh, Nona Kwee masih amat muda hebat ilmunya,” kata Lui-kong Thian Te Cu sambil memandang dengan matanya yang sipit dan menggerak-gerakkan kedua lengannya yang panjang. “Muka yang cantik jelita disembunyikan di balik kehitaman yang disengaja. Heh-heh, Giam Kin si iblis cilik benar-benar luar biasa, sudah mati meninggalkan keturunan begini hebat!”





Bukan main mengkalnya hati Hui Kauw mendengar ini dan diam-diam iapun terkejut karena kakek pendek itu benar-benar awas pandang matanya sehingga secara menyindir sudah membuka rahasia mukanya yang hitam, agaknya dapat menduga bahwa mukanya menjadi hitam karena racun. Lebih-lebih kagetnya ketika suara ketawa terkekeh yang terakhir dari kakek itu membuat ia hampir roboh karena badannya serasa tertekan hebat membuat kedua kakinya seperti lemah tak bertenaga.

Cepat-cepat nona ini mengerahkah hawa murni di dalam tubuh melindungi jantung karena ia maklum bahwa dengan suara ketawa itu, si kakek aneh telah menyerangnya atau menguji tenaga dalamnya. Itulah semacam ilmu khikang yang hebat sekali, yang dapat mempergunakan suara ketawa untuk menyerang seseorang yang dikehendaki tanpa mempengaruhi orang lain di sekelilingnya. Hanya seorang yang Iweekangnya sudah tinggi sekali dapat melakukan hal ini! Cepat ia menjura kepada kakek itu dan mengucapkan kata-kata merendah,

“Saya yang muda dan bodoh mana berani menerima pujian Locianpwe?”

Orang ketiga yang diperkenalkan oleh The Sun adalah seorang yang tidak kalah aneh dan menariknya. Dia ini seorang hwesio yang bertubuh tinggi besar, berjubah sederhana dengan dada setengah terbuka sehingga kelihatan bulu dadanya yang lebat. Usianya tentu tidak kurang dari lima puluh tahun, kepalanya gundul kelimis dan besar sekali sesuai dengan tubuhnya, matanya lebar bundar tapi jarang dibuka karena seringkali meram, alisnya tebal berbentuk golok.

Wajah hwesio ini tampak angker dan berwibawa, tidak mencerminkan sifat welas asih melainkan mendatangkan rasa segan dan hormat karena jelas dari pribadinya bersinar sifat keras dan kuat yang sukar ditundukkan. Berbeda dengan para tamu lain, hwesio ini menghadapi meja kecil dimana terdapat hidangan dari sayur-sayuran tanpa daging, tanda bahwa dia seorang yang ciak-jai (pantang daging) akan tetapi suka minum arak, terbukti dari guci besar arak yang disediakan untuknya.

“Nona Kwee, losuhu ini adalah Bhok Hwesio, tokoh besar dari Siauw-lim, seorang patriot sejati yang siap mengorbankan tenaga dan jiwa untuk mempertahankan negara. Pernahkan kau mendengar tentang Heng-san Ngo-lo-mo (Lima Iblis Tua dari Heng-san)? Nah, begitu Bhok losuhu ini menginjakkan kaki ke Heng-san dan turun tangan, lima iblis tua terbasmi habis, sarangnya dibakar dan semua dilakukan oleh Bhok tosuhu seorang diri saja!”

Hui Kauw terkejut. Pernah ia mendengar ketika masih berada di Ching-coa-to tentang Heng-san Ngo-lo-mo ini, yang terkenal kejam dan amat tinggi kepandaiannya, apalagi kalau maju berlima. Ibu angkatnya sendiri pernah menyatakan rasa jerihnya kalau harus menghadapi lima orang iblis tua itu dan sekarang hwesio tua ini seorang diri saja mampu membasminya!

“Omitohud, kaum pemberontak dan pengacau negara kalau tidak dibasmi, tentu membikin sengsara rakyat,” komentar hwesio itu tanpa membuka matanya, akan tetapi senyum yang membayang di bibirnya yang tebal itu menjadi tanda bahwa dia merasa senang akan pujian The Sun. “Syukur Nona Kwee sudah terlepas dari ayah angkat macam Giam Kin yang jahat, seterusnya harap meneladani ayah sendiri yang mengabdi kepada negara.” Hwesio itu selanjutnya menutup mata dan mulut tidak perduli lagi kepada Hui Kauw.

Masih banyak tokoh-tokoh diperkenalkan oleh The Sun kepada Hui Kauw, akan tetapi selain dua orang yang sudah disebutnya tadi, hanya ada dua orang lagi yang menarik perhatian Hui Kauw, yaitu seorang laki-laki tinggi kurus berambut keriting berkulit hitam yang diperkenalkan sebagai Bhewakala, seorang pendeta Hindu yang tadinya adalah seorang pertapa di puncak Anapurna di Himalaya. Dia seorang bangsa Nepal yang berilmu tinggi dan dalam perantauannya di timur akhirnya dia bertemu dengan The Sun dan dapat dibujuk membantu kaisar baru dalam menghadapi musuh-musuhnya.

Seorang lagi tokoh wanita yang usianya sudah mendekati lima puluh tahun, seorang ahli pedang dari Kun-lun-pai. Sebetulnya tokoh wanita ini adalah seorang pelarian dari Kun-lun-pai beberapa tahun yang lalu karena sebagai anak murid Kun-lun ia telah melakukan pelanggaran susila dan ketika ditegur oleh ketua Kun-lun-pai pada waktu itu, ialah Pek Gan Siansu, ia melawan dan akhirnya ia dikalahkan dan diusir oleh Pek Gan Siansu.

Semenjak itu, ia melakukan perantauan dan tidak berani kembali ke Kun-lun-pai, akan tetapi dalam perantauannya ini ia malah mendapat penambahan ilmu kepandaian yang hebat sehingga kini ia merupakan tokoh yang lihai sekali. Wanita ini bernama Gui Hwa dan berjuluk It-to-kiam (Setangkai Pedang).

“Demikianlah, Kun Hong,” kata Hui Kauw mengakhiri penuturannya kepada Kun Hong. “Selanjutnya aku tinggal bersama orang tuaku. Karena tidak berani menolak perintah kaisar, aku terpaksa membantu The Sun, akan tetapi bukan membantu di dalam istana, hanya aku berjanji kepada The Sun akan membantu setiap kali tenagaku dibutuhkan. Dia amat baik kepadaku dan memang keadaan di kota raja amat kuat, banyak terdapat tokoh-tokoh pandai. Oleh karena itu, ketika mendengar bahwa ada seorang buta dikeroyok, hatiku kaget bukan main. Cepat-cepat aku keluar dan menuju ke tempat pertempuran untuk mencegah mereka yang mengeroyokmu, akan tetapi, ternyata kau telah dapat melarikan diri dan aku tak berdaya melihat penyembelihan yang dilakukan para pengawal terhadap orang-orang Hwa I Kaipang. Aku menyusul dan mencarimu dengan diam-diam dan aku melihat jejak The Sun di rumah ini…….”

Hui Kauw memandang kepada mayat janda Yo yang tak bergerak sambil menarik napas panjang.

“Karena salah sangka setelah melihat The Sun dilayani janda ini aku menjadi marah, menghinanya dan merampasmu, Ah, aku menyesal sekali, Kun Hong.”

Selama Hui Kauw berceritera, Kun Hong hanya mendengarkan dengan penuh perhatian. Terutama sekali penuturan Hui Kauw tentang orang-orang kosen di kota raja amat menarik hatinya. Agaknya hwesio yang sanggup menghadapi jurusnya “Sakit Hati” tentulah Bhok Hwesio jago tua Siauw-lim itu. Wah, berat kalau begini. Dia merasa bersyukur bahwa mahkota kuno itu tidak terampas oleh mereka. Teringat akan ini, Kun Hong berkata heran.

“Ah, kenapa A Wan begini lama belum kembali?”

Karena tadi Hui Kauw asyik berceritera, nona inipun seperti lupa kepada A Wan. Sekarang iapun merasa heran dan curiga.

“Biar aku mencarinya di belakang rumah.” Ia bangkit berdiri dan melompat keluar dari pondok itu melalui pintu belakang.

Baru beberapa menit seperginya Hui Kauw, tiba-tiba Kun Hong memiringkan kepalanya. Dia mendengar suara banyak kaki dengan gerakan ringan sekali di sekeliling rumah! Otomatis tangan kanannya menggenggam tongkatnya erat-erat dan seluruh tubuhnya tegang dalam persiapan. Luka-lukanya biarpun masih terasa sakit, namun sudah tidak berbahaya lagi, punggungnya masih kaku. Dia masih tetap duduk bersila diatas tikar dengan sikap tenang tapi dengan hati tegang.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang sudah amat dikenalnya, ketawa The Sun!
“Ha-ha-ha, Kwa Kun Hong, kiranya benar kau yang secara pengecut bersembunyi dibalik selimut janda muda, pura-pura menjadi seorang kakek. Ha-ha-ha!”

Berbareng dehgan ucapan itu, tubuh The Sun melayang masuk ke dalam pondok, tertawa-tawa lagi.

“Perempuan keparat, berani kau menipuku, ya?”

Kun Hong mendengarkan penuh perhatian, namun dia sudah bersiap sedia membela diri. Terdengar The Sun hampiri jenazah janda Yo, kemudian pemuda itu menahan pekik.

“……. ahhh..”

Kun Hong tersenyum mengejek.
“The Sun manusia keparat, kau lihat baik-baik wanita tak berdosa yang menjadi korbanmu!”

Sehabis mengeluarkan ejekan ini, tubuhnya tiba-tiba melesat kearah The Sun dan tongkatnya sudah mengirim tusukan maut. The Sun kaget dan cepat membanting diri kekanan sehingga dinding pondok yang tidak kuat itu menjadi jebol, terus tubuhnya menggelinding keluar.

Kun Hong mengejar terus, juga melalui dinding yang jebol itu. Setibanya di luar pondok, Pendekar Buta ini berhenti karena dia tidak dapat mengenali lagi dimana adanya The Sun. Di depan pondok itu ternyata telah menanti banyak orang yang kini menghadapinya setengah mengurung.






No comments:

Post a Comment