Ads

Wednesday, February 27, 2019

Jaka Lola Jilid 061

Tentu saja sebagai putera Pendekar Buta, Swan Bu maklum akan hal ini, malah andaikata tadi Siu Bi tidak mengeluarkan jarum itu dengan jalan membedah kulit dan daging pundak, dia sendiripun sanggup melakukannya.

Kini dia duduk bersila dan meramkan mata, mengerahkan sinkang, tidak saja untuk membersihkan darah dan mendorong racun merah keluar melalui luka, akan tetapi sebagian besar lagi untuk menenteramkan jantungnya yang bergolak tidak karuan tadi. Gangguan ini membuat usahanya kacau karena sukar baginya untuk mengerahkan panca indera. Yang terbayang adalah wajah Siu Bi, sinom rambut, bibir, hidung mancung, mata bintang, dan napas hangat halus yang membelai leher dan pipinya!

Siu Bi mengerutkan kening. Celaka, pikirnya. Kenapa belum juga keluar darah yang teracun dari luka? Apakah pemuda yang memiliki ilmu silat sehebat ini sudah begini lemah sinkangnya oleh racun jarum merah itu? la menjadi tidak sabar lagi dan tanpa berkata sesuatu Siu Bi mengulurkan tangan kirinya, menempelkan telapak tangannya yang halus itu kepada dada kanan Swan Bu dan menyalurkan sinkang untuk membantu pemuda itu mendorong keluar racun jarum merah!

Merasa betapa telapak tangan itu mengeluarkan hawa panas di dadanya, Swan Bu membuka mata memandang heran, akan tetapi segera ditutupnya kembali kedua matanya. Jantungnya makin berdebar, usahanya mengumpulkan panca indera makin kacau-balau.

Gadis itu duduk begitu dekat di depannya! Tangan yang halus itu serasa membakar kulit dadanya! Kemudian dia merasa betapa hawa panas yang keluar dari telapak tangan halus itu menyusup ke dalam tubuhnya, makin lama makin panas dan seakan-akan hendak membakar jantung.

Swan Bu kaget dan bergidik. Kiranya gadis yang berwajah dewi kahyangan ini benar-benar seorang iblis betina dan agaknya malah hendak membunuhnya dengan penyaluran sinkang. Cepat dia mengumpulkan tenaganya dan mengerahkan sinkang kearah dada dan pundak kanan untuk menjaga diri.

Tiba-tiba Siu Bi membuka kedua matanya yang tadi dipejamkan, memandang heran dan kaget. Mereka berdua merasa betapa tenaga sinkang mereka berhantaman hebat. Dua pasang mata beradu, mengeluarkan sinar berapi. Tiba-tiba Siu Bi menjerit perlahan, badannya terasa terbakar. Swan Bu bergoyang-goyang badannya lalu keduanya roboh terguling. Pingsan!

Apa yang terjadi? Kiranya tanpa mereka sadari, kedua orang muda ini telah mencelakakan diri sendiri. Dalam usahanya membantu Swan Bu mengusir racun merah, Siu Bi telah mengerahkan sin-kangnya, disalurkan ke dalam dada dan pundak Swan Bu karena mengira bahwa pemuda itu kurang kuat untuk mengusir racun. Sama sekali ia tidak tahu bahwa dasar pelajaran yang ia dapat dari kakeknya dahulu sama sekali berlawanan dengan dasar pelajaran yang dimiliki Swan Bu.

Oleh karena ini, hasil kekuatan di dalam tubuhnya, yaitu hawa sakti yang dimilikinya, juga berlawanan dengan sinkang dari Swan Bu. Maka ketika ia menyalurkan sinkang ke dalam tubuh Swah Bu, ia sama sekali bukan membantu, malah merusak dan mengacau penyaluran sinkang pemuda itu, sehingga tanpa ia sadari kekuatan mujijat dari Hek-in-kang malah menyerang pemuda itu secara hebat.

Inilah yang menyebabkan Swan Bu terkejut dan bahaya maut yang mengancamnya ini membuat kekacauan perasaannya yang terganggu oleh kecantikan gadis itu segera lenyap dan cepat dia mengerahkan tenaga dalam untuk menolak bahaya itu.

Akibatnya dua macam hawa sakti yang berlawanan sifatnya, bertemu dan beradu dengan hebatnya. Siu Bi kalah kuat, pada dasarnya memang ia kalah setingkat. Pertemuan tenaga sinkang itu membuat tenaganya membalik dan menghantam diri sendiri.

Sebaliknya Swan Bu yang lebih dulu menerima serangan, tidak terluput daripada luka dalam, sehingga keduanya roboh berbareng dalam keadaan pingsan dan terluka hebat di sebelah dalam tubuh!

Ketika Swan Bu tersadar karena kaget mendengar jerit halus, dia membuka matanya. Tadinya dia serasa mimpi, mimpi sedang tenggelam diantara ombak besar yang hendak menelan dirinya bersama Siu Bi. la berhasil memeluk gadis itu dan dalam menghadapi maut ditelan ombak, dia merasai kenikmatan yang luar biasa, merasai kebahagian karena gadis itu berada dalam pelukannya. Kemudian Siu Bi meronta, mengambil pedang dan membacok lengannya! Swan Bu marah dan memukulkan tangannya yang tidak buntung ke dada Siu Bi sehingga gadis itu menjerit dan lenyap ditelan ombak.

Agaknya jeritan inilah yang menyadarkannya. Dengan napas terengah-engah Swan Bu membuka matanya. Tubuhnya serasa lemas tak bertenaga. Sejenak dia bingung, akan tetapi segera dia teringat akan segala yang terjadi. la roboh berbareng dengan Siu Bi, di tengah hutan.

Akan tetapi sekarang dia tidak berada di hutan lagi, melainkan di dalam sebuah ruangan yang amat kasar, ruangan sebuah gua yang kotor dan lembab. Dan disudut sana, dekat dinding batu gua, dia melihat Siu Bi rebah telentang, mata gadis itu membelalak ketakutan, bajunya bagian atas robek dekat pundak kiri. Yang membuat Swan Bu terkejut adalah mahluk yang berdiri dekat Siu Bi. Mahluk mengerikan, bentuknya setengah manusia setengah monyet. Atau mungkin juga manusia hutan atau manusia gila.






la seorang laki-laki, sukar menaksir usianya, akan tetapi jelas tidak muda lagi. Bertelanjang, kecuali sehelai cawat dari kulit harimau. Tubuhnya yang tinggi tampak pendek karena agak bongkok, kedua tangan dan kakinya berbulu. Rambutnya riap-riapan, matanya merah.

“Heh-heh-heh….. hah-hah-hah..;.. cantik….. muda…..” terdengar dia bicara, suaranya parau dan kata-katanya kurang jelas.

Tangan yang lengannya berbulu itu meraih ke bawah, mencengkeram baju Siu Bi yang sudah robek, sekali tarik terdengar kain robek dan tampaklah baju dalam berwarna merah muda.

Siu Bi menjerit. Heran, pikir Swan Bu. Suara gadis itu sekarang menjadi lirih dan gerakannya begitu lemah. Teringatlah dia. Tentu Siu Bi juga terluka parah, seperti dia. Siu Bi berusaha untuk melompat bangun, namun ia roboh lagi dan mengeluh,

“Jangan….. bunuh saja….. bunuh aku…..”

“He-he-he, Sayang! Kau jadi isteriku, cocok, heh-heh-heh!”

“Bedebah! Binatang! Aku tidak sudi….. kau bunuh saja aku…..!” Dalam kelemahannya, Siu Bi masih galak dan memaki kalang-kabut.

“Ha-hah-hah, kau perempuan, tidak ada yang punya. Aku laki-laki, akupun belum punya isteri….. apa salahnya? Kau jadi isteriku….. hah-hah-hah, dan dia itu Jadi bujang kita…..”

“He, tunggu dulu!”

Swan Bu melompat, akan tetapi seperti juga Siu Bi tadi, dia jatuh terduduk dan mengeluh. Dadanya terasa sakit dan maklumlah dia bahwa pertemuan tenaga dalam tadi telah melukai isi dadanya, luka yang cukup parah. la tahu bahwa hal itu akan membuat dia kehilangan tenaga dalamnya untuk sementara. Mungkin beberapa hari lamanya, sebelum pulih kembali kesehatannya. Agaknya juga demikian halnya dengan Siu Bi. Dalam beberapa hari lamanya, mereka berdua akan menjadi orang-orang lemah, tak mungkin dapat menolong diri sendiri, dan orang liar itu kelihatannya kuat sekali.

“Heh-heh-heh, orang muda lemah tiada guna. Kau mau bilang apa? Wah, kau begini lemah, menjadi bujangpun kurang berharga. Huh!”

Diam-diam agak lega hati Swan Bu mendengar omongan itu. Ucapan itu membayangkan bahwa kakek liar atau gila tu tidak bisa disebut ahli ilmu silat karena tidak mengerti bahwa kelemahannya ini adalah karena luka dalam. Hal ini mendatangkan harapan. Kalau kakek gila ini tidak pandai ilmu silat, biarpun memiliki tenaga besar, lebih mudah dilawan kalau dia atau Siu Bi tidak selemah ini. Mungkin istirahat dua tiga hari cukup. Sekarang paling perlu harus dapat mencari akal, agar kakek itu….. agar dia jangan mengganggu Siu Bi.

“Lopek, harap kau jangan mengganggu dia…..”

“Eeehhhhh, kau bilang apa? Dia ini akan kuambil sebagai isteriku. Peduli apa kau? Kau menjadi bujang kami, dan mulai sekarang kau harus hormat dan taat kepada dia ini, dia isteriku yang muda….. heh-heh-heh, yang cantik….. heh-heh-heh. Aku laki-laki kesunyian, bertahun-tahun…., dlia perempuan….. tidak ada yang punya….. cocok sekali…..!”

“Lopek, tidak boleh begitu. Dia itu punyaku!”

Tiba-tiba kedua tangan yang tadinya sudah menyentuh pundak Siu Bi hendak merangkulnya itu, melepaskan pundak dan tubuh bongkok itu serentak membalik dengan gerakan yang cepat.

“Apa kau bilang?? Perempuan ini punyamu? Bagaimana…..? Apa maksudmu?”

Swan Bu menelan ludah dan memandang kepada Siu Bi yang melotot kepadanya.
“Lopek, dia ini….. dia isteriku yang sangat kucinta, kau tidak boleh mengganggu isteri orang lain!”

“Heh…..? Hoh…..? Isterimu…..??”

Kakek itu nampak bimbang ragu, mukanya yang liar jelas membayangkan kekecewaan besar.

“Bohong dia!!”

Tiba-tiba Siu Bi berseru, akan tetapi suaranya tidak seketus dan sekeras biasanya. Tenaganya amat lemah sehingga untuk berseru keras saja tidak mampu dia. Namun ucapan ini cukup membuat Swan Bu merasa kepalanya terpukul, dan pandang matanyp gelap. Celaka, pikirnya, gadis tolol! Sebaliknya kakek liar itu nampak gembira, mulutnya yang lebar, berbibir tebal dan giginya besar-besar nyongat kesana-sini, tertawa-tawa girang.

“Hah? Dia bohong, ya? Bukah isterinya, kan? Ha-ha-hah, kau bukan isterinya? Kau tidak ada yang punya? Ha-ha-hah! Akulah yang akan memilikimu, kau punyaku, kau isteriku…..”

Kakek itu menggerakkan tangannya, hendak meraih tubuh Siu Bi. Gadis ini menjadi pucat

“Tidak….. tidak…,.! Bukan begitu…..! Aku….. aku….. isterinya!”

Kembali tangan berbulu itu serentak kaget dan tidak jadi ke bawah.
“Apa? Kau betul isterinya? Kenapa bilang bohong?”

“Ohhh…..” sejenak Siu Bi bingung dan lehernya serasa tercekik saking gemasnya melihat betapa Swan Bu tersenyum-senyum!

“Dia tidak bohong bahwa aku isterinya, tapi….. dia bohong bahwa dia sangat….. mencintaiku.”

Muka liar itu berkerut-kerut.
“Huh…? begitukah? Kalau tidak mencinta lagi, cerai dulu, baru aku mengambilmu sebagai isteri dan bekas suamimu itu jadi bujangmu. Senang, kan?” Kakek itu kini melangkah maju mendekati Swan Bu, berkata dengan suara membujuk,

“Orang muda, kau ceraikan dia, ya? Kau ceraikan dia dan berikan kepadaku, biar dia menjadi isteriku. Kau tidak cinta lagi, untuk apa? Kau baik, ya? Berikan saja padaku, aku akan mencintanya melebihi diriku sendiri, hah-hah-hah!”

Swan Bu tersenyum. Jelas sekarang bahwa kakek ini adalah seorang yang berotak miring. Agaknya terlalu lama terasing di dalam hutan, berubah seperti binatang. Akan tetapi agaknya masih belum lupa akan “kesopanan” diantara manusia, antara lain bahwa tidak boleh mengambil isteri orang lain sebelum dicerai! la melirik kearah Siu Bi yang pucat dan matanya terbelalak ketakutan seperti mata kelinci dikejar harimau. Puas kau, pikirnya. Kau yang bertingkah, mengatakan aku bohong tadi.

“Lopek, terserah kepada dia. Terserah kepada isteriku itu, apakah dia sudah tidak suka lagi kepadaku. Kalau tidak suka dan minta cerai, apa boleh buat, akan kulepaskan dia dan boleh dia menjadi isterimu.”

Kakek itu tiba-tiba memeluk Swan Bu dan….. mencium pipinya,
“Ha-ha-hah, anak baik! Kau baik sekali. Terima kasih, ya? Bagus-bagus, dia sudah tidak cinta lagi padamu, boleh jadi isteriku…..”

Setelah berkata demikian dia meninggalkan Swan Bu yang menggosok-gosok pipinya dengan jijik karena disitu tertinggal ludah dari mulut kakek gila.

Kini Siu Bi yang kelabakan karena kakek itu sudah mendekatinya lagi. Sebelum kakek itu bicara ia telah mendahului, suaranya penuh rasa takut,

“Tidak, dia main-main saja! Aku….. aku cinta kepadanya. Kakek baik, aku isterinya..,.. aku cinta padanya. Dan diapun cinta padaku….. kami hanya bertengkar sedikit ….. aku tidak mau cerai, juga aku tidak minta cerai.”

Kakek itu tersentak kaget dan kecewa bukan main.
“Aahhh? Kau lebih suka dia yang lemah itu? Wah….. celaka….. aku tetap kesepian…..”

“Kakek yang baik. Kau sudah tua, aku patut menjadi anakmu, tidak pantas menjadi isterimu…..”

“Heh, kau suka padaku?”






No comments:

Post a Comment