Ads

Thursday, January 31, 2019

Pendekar Buta Jilid 079

Dua batang pedang lain mengejarnya dan langsung menyambar dari kanan kiri.
“Wuuuttt! Singgg!”

Kun Hong melenting keatas, begitu kedua kakinya menginjak tanah, otomatis dia telah membuat gerakan jurus Sakit Hati.

“Tranggg! Wesss!”

Tongkat dan tangan kirinya telah bergerak tanpa dapat dicegah lagi. Dua orang perwira yang tadi berlomba untuk membunuhnya setelah melihat dia terluka dan bergulingan, kini berdiri tegak seperti patung, kemudian perlahan-lahan roboh terguling dan……… pinggang mereka ternyata telah putus dan kepala mereka remuk-remuk?

Bukan main ngerinya hati para perwira menyaksikan ini. Malah orang-orang sakti yang kini sudah berada disitu melengak heran.

“Penjahat keji!”

Terdengar Sin-kiam-eng Tan Beng Kui berseru marah dan pedangnya menyambar dengan suara mendesing-desing. Kun Hong merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit. Luka di pangkal paha makin panas dan perih, gatal sukar ditahan nyerinya. Luka di dagu dan dada terus mengucurkan darah sedangkan punggungnya terasa patah-patah tulangnya oleh hantaman ujung lengan baju yang amat hebat tadi.

Dia terheran-heran siapakah gerangan si pemukul ini. Melihat hebatnya hantaman itu, dia taksir orangnya tidak di bawah Song-bun-kwi tingkat kepandaiannya. Celaka, kiranya di kota raja telah berkumpul begini banyak orang sakti!! Karena ini, dengan pikiran sudah pening, Kun Hong berlaku nekat dan menanti setiap lawan dengan jurus Sakit Hati!

Sambaran pedang yang datang cepat laksana kilat dari Sin-kiam-eng itu sudah ditunggu oleh Kun Hong. Dia tidak ingat lagi siapa lawannya, yang teringat olehnya hanya bahwa dia harus melindungi surat rahasia dalam mahkota dan harus mengalahkan tiap orang musuhnya untuk dapat melarikan diri dari kepungan. Setelah serangan itu tiba, tubuhnya bergerak, tongkatnya menyambar berbareng dengan tangan kirinya mencengkeram.

“Ayaaaa!!”

Sin-kiam-eng berteriak keras dan tubuhnya melayang sampai lima enam meter jauhnya, lalu dia terbanting keatas tanah dan terengah napasnya, mukanya pucat. Nyaris dia menjadi korban jurus Sakit Hati yang amat mujijat itu dan biarpun dia tidak menjadi korban, namun tetap saja hawa pukulan tangan kiri Kun Hong yang mengandung hawa Yang-kang itu telah membuat dadanya serasa panas terbakar. Cepat-cepat Sin-kiam-eng duduk bersila mengatur napas memulihkan tenaga agar jangan sampai isi dadanya terluka.

“Omitohud, ilmu siluman apakah ini?” terdengar suara berpengaruh yang tadi dan segumpal hawa dingin menyambar kearah Kun Hong.

Pemuda buta ini maklum bahwa lawannya yang bersenjata ujung lengan baju, yang tadi berhasil menghantam punggungnya, ternyata adalah seorang hwesio. Maklumlah dia bahwa semakin lama dia berada di tempat ini, makin besar bahayanya. Hantaman kali ini yang mendatangkan segumpal hawa dingin menandakan bahwa dalam hal ilmu tenaga dalam hwesio ini sudah mencapai tingkat tinggi sehingga sukar dilawan.

Namun dia sudah nekat. Tiada artinya kalau dia hanya mengelak kesana kemari, akhirnya tentu celaka juga, lebih baik mengadu tenaga, tinggal pilih satu antara dua. Menang dan lolos, atau kalah dan tewas! Dengan pikiran ini, sambaran dingin itu dia sambut dengan jurus Sakit Hati.

“Dess! Bakkk!!”

Tubuh Kun Hong serasa didorong oleh tenaga yang maha kuat, sehingga kuda-kuda jurus Sakit Hati itu biarpun masih tetap, namun sudah tidak di tempatnya lagi karena kedua kakinya itu bergeser sejauh dua meter lebih, membuat garis di tanah yang dalamnya sampai dua dim lebih! Dari tempat lima enam meter jauhnya terdengar hwesio itu berseru heran,

“Omitohud……. hebat……. hebat”

Diam-diam Kun Hong mengeluh. Tadi tongkat yang dia gerakkan bertemu dengan benda lemas, agaknya ujung lengan baju, sedangkan tangan kirinya bertemu dengan lengan hwesio itu yang mengandung getaran tenaga dalam yang hebat pula.





Biarpun berkat dua ilmu sakti Kim-tiauw-kun dan Im-yang-sin-kiam, dia tadi menggunakan tenaga mujijat sehingga kalau diukur dia tidak kalah tenaga, namun hwesio yang dapat menyambut jurus Sakit Hati ini sudah terang merupakan lawan yang paling berat! Dia sudah memasang kuda-kuda lagi dan bersiap sedia mengadu nyawa.
Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk, diatas suara bentakan nyaring.

“Jago-jago kawakan yang mengaku para tokoh istana, kiranya hanya cacing-cacing busuk yang beraninya mengeroyok pemuda buta!”

Pada saat itu terdengar sorak-sorai, disusul suara senjata saling beradu, tanda terjadi pertempuran besar di tempat itu antara para perwira dan banyak orang yang baru datang dipimpin oleh orang yang membentak tadi.

Kun Hong mengerutkan kening mengingat ingat, dia merasa kenal suara tadi. Pada saat itu, suara tadi berkata perlahan kepadanya,

“Pangcu (ketua), silakan pergi mengaso.”

“Hwa I Lokai………..!”

Kun Hong berseru kaget. Memang benar. Yang datang adalah Hwa I Lokai bersama anak buahnya yang dengan nekat sekarang bertanding melawan para jagoan istana itu. Karena tidak ada kesempatan untuk bicara lagi setelah Hwa I Lokai kini bertanding melawan tokoh-tokoh istana, Kun Hong lalu mengamuk, menggunakan jurus Sakit Hati sambil melompat kesana kemari.

Para perwira yang lancang berani menyambut atau menghadangnya pasti roboh tak bernyawa lagi. Dengan jalan membuka jalan darah ini, akhirnya Kun Hong berhasil keluar dari kepungan yang ketat itu dan mulailah dia melarikan diri karena merasa betapa tubuhnya sudah makin lemas dan gemetar. Ia mengerahkan tenaga terakhir dan lari sekuatnya di malam gelap, lari secara ngawur karena tidak dapat melihat. Dia hanya menyerahkan nasibnya ke tangan Thian Yang Maha Kuasa.

Agaknya Thian memang masih melindunginya karena secara aneh sekali Kun Hong dapat berlari jauh meninggalkan tempat itu. Akan tetapi akhirnya, di tempat yang sunyi, agaknya daerah penduduk kota yang miskin, dia menabrak pohon besar yang berdiri di belakang sebuah pondok kecil. Karena dia tertumbuk pada batang pohon itu dengan dahi di depan, pendekar buta ini roboh terguling dalam keadaan pingsan!

Hening sejenak setelah suara beradunya kepala dengan batang pohon dan robohnya tubuh Kun Hong. Pintu pondok berderit terbuka dan sinar lampu menyorot keluar mengantar bayangan seorang anak laki-laki yang agaknya kaget mendengar suara tadi.

Anak ini melangkah keluar pintu belakang dan memandang kekanan kiri. Seorang anak laki-laki yang tabah. Biasanya anak sebesar itu, berusia enam tujuh tahun, suka takut-takut akan tempat gelap. Akan tetapi anak ini biarpun tadi mendengar suara gedebukan aneh, masih berani membuka pintu belakang dan keluar di tempat gelap. Tak lama kemudian dia sudah menghampiri tubuh yang menggeletak miring di bawah pohon itu dan terdengar teriakan.

“Ibu……! Ibu……. mari kesini, ada orang jatuh……. mari bantu aku…….!”

Dan tanpa ragu-ragu sedikitpun anak itu sudah mulai berusaha membangunkan Kun Hong yang masih pingsan. Kali ini kembali membayangkan ketabahan hati anak itu, bahkan membayangkan wataknya yang baik dan suka menolong orang lain.

Seorang wanita muda muncul dari pintu belakang, ragu-ragu sejenak, ngeri melihat kesunyian dan kegelapan malam.

“A-wan…….! Kau dimana? Siapa yang jatuh?”

“Di sini, Bu. Lekas, jangan-jangan dia mati.”

Ibu muda itu datang mengharnpiri, tersentak kaget mendengar ucapan terakhir.
“Apa…….? Ma……. mati…….??”

“Mungkin juga belum. Aduh beratnya, lekas bantu, Bu. Mari kita bawa masuk dan beri pertolongan.”

Ibu muda itu membulatkan hatinya dan melangkah maju. Dengan susah payah Kun Hong diangkat dan setengah diseret oleh ibu dan anak itu, dibawa masuk ke dalarn rumah melalui pintu belakang yang segera ditutup kembali.

“Inkong…….!”

“Paman buta…..! Betul dia paman buta…….!”

Ibu dan anaknya itu terbelalak memandang wajah Kun Hong yang kini sudah direbahkan diatas tempat tidur bambu yang sederhana. Keduanya menubruk, memeluk dan mengguncang-guncang tubuh Kun Hong.

Terdengar Kun Kong mengeluh, bibirnya bergerak perlahan.
“……. terlalu banyak musuh……. terlalu banyak…….” Kemudian dia menjadi lemas dan mengigau tidak karuan.

“Inkong, ingatlah……. Inkong, ini aku janda Yo……”

“Paman, aku A Wan…..”

Kun Hong mendengar suara ini, nampak terheran-heran, lalu berkata lirih,
“Yo-twaso…….? A Wan…….? Bagaimana……. ahhhhh…….” Dia menjadi lemas dan pingsan lagi.

“Celaka! Inkong terluka hebat. Lihat darahnya begini banyak. Wah, bagaimana ini? A Wan lekas kau buka pakaiannya, bersihkan luka-lukanya, aku akan memasak air…….” janda itu dengan gugup sekali lalu lari kesana kemari mempersiapkan segala keperluan, akan tetapi sesungguhnya tidak tahu betul bagaimana ia harus menolong Kun Hong yang mandi darah itu.

A Wan adalah seorang anak yang tabah. Biarpun ngeri juga dia melihat semua baju Kun Kong penuh darah, akan tetapi dengan cepat dia membuka pakaian, menurunkan buntalan dari punggung Kun Hong.

Ketika dia membuka buntalan itu untuk mencari pengganti baju, dia melihat mahkota kecil dari emas yang mencorong terkena sinar lampu. Terkejutlah dia dan diambilnya mahkota itu, diamat-amatinya penuh perhatian. A Wan adalah anak yang cerdik, otaknya lalu bekerja. Tadi paman buta bicara tentang musuh banyak, tentu habis berkelahi dikeroyok banyak musuh, pikirnya. Mengapa berkelahi? Paman buta ini adalah seorang miskin, pendekar berbudi yang miskin, dari mana bisa mempunyai benda begini indah? Tak salah lagi, tentu paman buta berebutan benda ini dengan banyak orang jahat, akhirnya dikeroyok dan luka-luka. Pikiran ini membuat A Wan cepat membawa lari mahkota itu keluar kamar.

Agak lama dia pergi ke belakang rumah diluar tahu ibunya yang sibuk memasak air. Setelah dia kembali menyelinap ke dalam kamar, dia sudah tidak membawa mahkota tadi. Dengan cepat A Wan membersihkan luka-luka di badan Kun Hong, menggunakan sehelai kain bersih.

Ibunya datang membawa air panas. Ia cepat mengusir rasa jengah dan malu ketika melihat keadaan Kun Hong yang setengah telanjang itu, malah perasaan ini lenyap sama sekali dan terganti rasa ngeri dan cemas melihat betapa dada pemuda buta itu tergurat dari atas ke bawah, juga dagunya terluka dan pangkal paha sebelah belakang biru mengembung, punggungnya juga kebiruan. Napas pemuda itu terengah-enah, badannya panas sekali.

Dengan air mata mengalir saking bingung dan cemasnya, janda itu lalu membersihkan luka-luka Kun Hong dengan kain yang dicelup air panas. Hilang sudah semua rasa malu dan segan. Air matanya mengalir makin deras ketika ia melihat betapa wajah yang tampan itu nampak pucat dan mulutnya terbuka menahan nyeri.

“A Wan, lekas kau pergi panggil sinshe (tukang obat) Thio di jalan raja utara. Katakan ada orang sakit, luka-luka, lekaslah!”

“Baik, Ibu. Kasihan paman buta, bagaimana kalau dia……. mati…….?”

“Hushh…….? Jangan bicara dengan siapa juga tentang dia, ini rahasia, mengerti? Lekas pergi dan lekas kembali!”

A Wan mengangguk dan melompat keluar, lenyap di dalam kegelapan malam. Setelah anak itu pergi, janda muda ini tak dapat menahan lagi sedu-sedannya. Sambil membersihkan luka-luka itu, ia merangkul dan mengguncang-guncang tubuh Kun Hong sambil berseru lirih memanggil,

“Inkong…….! Inkong……. sadarlah, Inkong…….”

Melihat betapa muka itu makin lama seakan-akan makin pucat, ia menjadi amat cemas. Terbayanglah ia akan semua pengalamannya dahulu ketika pemuda buta ini menolongnya, dan sekarang melihat penolong yang selama ini tak pernah meninggalkan lubuk hatinya itu kini menggeletak seperti mayat di depannya, nyonya janda Yo tak dapat menahan luapan perasaan hatinya.

“Inkong…….!” Ia mendekap kepala itu, diciuminya dan dibanjiri air mata dengan penuh perasaan. “Jangan mati, Inkong……. jangan tinggalkan aku lagi……. setelah Thian mengembalikan kau kepadaku…….”






No comments:

Post a Comment