Ads

Saturday, January 26, 2019

Pendekar Buta Jilid 056

Loan Ki mencebirkan bibirnya yang kecil merah.
“Biarlah Ayah, biar saja dia ini mendengarkan ucapanku lebih dulu. Setelah mendengarkan ucapanku, baru aku tantang dia bertempur sampai sepuluh ribu jurus. Eh, tua bangka, kau berani tidak?”

“Setan cilik! Tidak berani padamu lebih baik mampus!”

“Nah, kalau begitu mampuslah, karena kau tidak berani mendengarkan kata-kataku. Berani tidak mendengarkan kata-kataku?”

Song-bun-kwi membanting-banting kakinya, tangannya gatal-gatal untuk sekali menggaplok menghancurkan kepala cantik yang memanaskan hatinya ini.

“Buka bacotmu, lekas kau mau bilang apa jangan banyak tingkah!”

Loan Ki tersenyum dan memainkan matanya yang jeli, mengerling kearah Teng Cun Le yang menjadi tidak enak hatinya ketika mengenal gadis yang mempunyai mutiara-mutiara hiasan mahkota kuno itu.

“Kakek Song-bun-kwi, seorang tokoh tua macam kau ini mana pantas menurunkan tangan kepada seorang bocah seperti aku? Nah, dengarlah omonganku. Kalau kau tidak menjawab dengan semestinya, mulai saat ini aku yang masih kanak-kanak akan menganggap bahwa semua nama besarnya kosong melompong belaka, bahwa mungkin kau Song-bun-kwi palsu karena yang tulen bukan macam begini tingkahnya……….”

“Cukup, lekas bicara! Setan!” Song-bun-kwi membentak.

Loan Ki meleletkan lidahnya.
“Waduh galaknya, kalau begitu kau agaknya yang tulen, bukan pengecut, bukan iblis curang. Kakek Song-bun-kwi, kau katanya seorang pendekar gagah segala jaman, kenapa hari ini melakukan perbuatan begini memalukan, menyerbu tempat tinggal ayahku, membunuhi orang-orang kami tanpa alasan? Memusuhi orang tanpa alasan hanya perbuatan manusia rendah dan sepanjang pendengaranku, Song-bun-kwi si iblis tua sama sekali bukanlah orang rendah! Nah, jawab, kenapa kau melakukan semua ini, memusuhi ayahku tanpa sebab?”

Dengan cemberut Song-bun-kwi terpaksa menjawab karena kalau dia tidak menjawab, sama saja artinya dengan mengakui bahwa dia seorang pengecut, curang dan manusia rendah! Dia boleh jadi lihai sekali dalam ilmu silat, namun dalam hal silat kata-kata mana dia becus melawan Loan Ki si dara lincah yang amat cerdik dan nakal ini?

“Bocah setan jangan coba bicara pokrol-pokrolan terhadap aku. Aku datang kesini hendak mencari si tua bangka Thai-lek-sin, tetapi orang-orangmu tidak tahu aturan mengeroyokku. Mereka mampus karena tidak ada kepandaian, kenapa salahkan aku? Ayahmu merupakan lawan yang lumayan, kenapa selagi kami berdua enak-enak saling gebuk untuk menentukan siapa lebih kuat, kau datang-datang mengacau? Heh, Tan Beng Kui, apa kau tidak bisa jewer telinga anakmu yang cerewet ini? Jewer dan usir ia, mari kita bertempur terus!”

Akan tetapi Loan Ki mana mau habis sampai disitu saja? Anak ini terlalu cerdik hingga ia tahu betul bahwa kalau pertandingan dilanjutkan, ayahnya tentu akan celaka. Sebelum ayahnya yang juga gemar bertanding itu terbujuk oleh lawan ia mendahului dengan suara nyaring,

“Kakek tua kau benar-benar pandai mencari alasan! Selama hidupku belum pernah aku melihat tua bangka berjuluk Thai-lek-sin di tempat ayah ini, sekarang kau menyebut namanya untuk alasan perbuatanmu mengacau disini! Huh, siapa sudi kau akali? Benar-benar tak kusangka bahwa jagoan tua tenar Song-bun-kwi ternyata hanya seorang tukang bohong belaka!”

“Bocah sembarangan menuduh yang bukan-bukan! Aku tidak menggunakan alasan kosong. Dia orang she Teng ini yang bilang bahwa aku akan dapat menemukan Thai-lek-sin disini. Betul tidak, orang she Teng?” bentaknya sambil menoleh kearah Teng Cun Le yang menjadi pucat dan kedua kakinya menggigil.

Akan tetapi terpaksa dia menjawab dengan kepalanya mengangguk-angguk dan bibirnya berkata lirih.

“………..aku mendengar diluaran begitu……….. eh……….. Thai-lek-sin sering kesini………..”

Tiba-tiba Loan Ki tertawa nyaring dan menudingkan telunjuknya kepada Teng Cun Le, lalu berkata kepada Song-bun-kwi,

“Wah, kakek tua goblok Song-bun-kwi, kau kena dipedayai orang! Nanti dulu aku hendak bertanya, pernahkah kau mendengar adanya anjing-anjing penjilat? Nah, manusia ini adalah seekor diantara anjing-anjing penjilat. Dia orang dari kota raja, mudah diduga. Dia selalu mengikuti aku karena tertarik akan mutiara Ya-beng-cu yang kubawa. Dan dia telah menggunakan kau orang tua goblok untuk menyerbu kesini karena dia sendiri mana mampu? He-he, Song-bun-kwi kakek bodoh, kau diperalat anjing ini masih tidak tahu.”





Teng Cun Le bukanlah seorang bodoh. Dia tadinya kaget setengah mati mendengar semua kata-kata Loan Ki dan diam-diam dia mengeluh. Gadis ini benar-benar pandai bicara dan kakek yang sudah setengah pikun itu kalau sampai kena diakali oleh gadis ini, dialah yang akan celaka. Cepat dia bicara,

“Locianpwe, harap Locianpwe jangan mendengarkan ocehan gadis ini. Terang ia berusaha menolong ayahnya yang tadi hampir kalah oleh Locianpwe dan sengaja hendak mengadu domba kita, Locianpwe, mari kita gempur orang-orang ini, Locianpwe lanjutkan menghajar Sin-kiam-eng dan serahkanlah gadis itu kepada saya, saya sanggup menghajar kekurang ajarannya.”

Sambil berkata demikian, Teng Cun Le menggerakkan goloknya hendak menyerang Loan Ki.

“Tunggu dulu dan dengar kata-kataku sampai habis!” Loan Ki menjerit. “Kalau tidak mau mendengarkan, itu tandanya kau sengaja memperalat Song-bun-kwi!”

Terpaksa Teng Cun Le menahan goloknya karena kalau dia teruskan khawatir kalau-kalau kakek itu kena diakali omongan pancingan ini.

“He, orang she Teng. Kau seorang laki-laki, hayo jawab betul tidak kau telah mengikuti aku beberapa hari yang lalu dan bahwa kau mengincar tiga butir mutiaraku atau……….. mungkin juga kau ingin mengetahui tentang sebuah mahkota? Jawab!”

Teng Cun Le tak dapat mundur lagi, terutama karena dia lihat Song-bun-kwi amat memperhatikan percakapan itu.

“Memang betul. Kau telah membawa tiga butir mutiara yang tadinya menghias mahkota yang dicuri dari istana kaisar. Sudah semestinya kau mengembalikan mahkota itu kepadaku untuk kubawa kembali ke kota raja!”

“Bagus, manusia she Teng! Kau hendak merammpas mahkota dari kami? Apa kau berani melawan ayah dan aku?” tantangnya.

Tentu saja Teng Cun Le menjadi sibuk sekali. Tak disangkanya gadis itu akan memutar-mutar omongan sedemikian rupa sehingga dia selalu terdesak. Akan tetapi diapun bukan bodoh, maka dia segera menjawab berani.

“Tentu saja berani karena Kwee-locianpwe tentu akan membantuku menghadapi ayahmu yang memang patut menjadi lawannya.”

“Uhu-hu, sekarang mengertikah kau, kakek Song-bun-kwi? Kau dengar sendiri bahwa dia ini adalah seekor anjing penjilat kaisar dan kau telah dibodohinya, diperalat olehnya. Agar kau mau diperalat dan mau menyerbu kesini, dia membohongimu dengan pernyataan bahwa Thai-lek-sin berada disini. Padahal tua bangka Thai-lek-sin itu melihatpun aku belum pernah. Nah, tidak benarkah aku kalau aku bilang bahwa Song-bun-kwi si jago kawakan itu ternyata sekarang mudah saja dikempongi oleh seekor anjing penjiiat kaisar? Hi-hik!”

Dengan gaya nakal sekali Loan Ki menyambung hidungnya yang kecil mancung itu dengan jari-jari tangannya untuk mengejek Song-bun-kwi. Song-bun-kwi menjadi merah mukanya.

Racun yang disebar oleh Loan Ki melalui kata-katanya tadi telah mengenai hatinya. Dia seorang tokoh besar dari dunia bagian barat, dapat dengan mudah dikempongi oleh seorang anjing penjilat kaisar dan diperalat diluar kesadarannya. Benar-benar memalukan sekali. Dia menoleh dengan mata melotot kepada Teng Cun Le sambil memaki,

“Kau berani membawa aku untuk bantu menjadi perampok? Setan alas!”

“Tidak……….. Locianpwe…… tidak……….!”

Akan tetapi tangan Song-bun-kwi sudah bergerak. Teng Cun Le dalam takutnya nekat menangkis dengan goloknya, tapi akibatnya golok itu patah-patah dan tubuhnya melayang sampai sejauh lima meter lebih dan dia tak dapat bangun kembali karena dadanya sudah remuk tulang-tulangnya!

Hebat kejadian ini, namun Loan Ki memandang dengan senyum simpul saja sedangkan Tan Beng Kui yang memang wataknya angkuh tidak mau memandang siapapun juga, sejak tadi hanya berdiri tegak dengan pedang siap di tangan dan diam-diam dia mengatur napas dan memulihkan tenaga di dalam tubuhnya, siap menghadapi pertempuran lagi kalau perlu.

Setelah membunuh orang yang mempermainkannya dengan sekali gempur, kakek itu menoleh kepada Loan Ki, sepasang matanya memancarkan ancaman menyeramkan. Bulu tengkuk dara lincah itu meremang, akan tetapi dengan memberanikan hati ia tersenyum-senyum seakan-akan kejadian mengerikan itu “bukan apa-apa” baginya. Beginilah sikap seorang cabang atas, pikirnya, dan ia tidak mau kalah dalam berlagak. Pandang matanya kepada kakek itu seolah-olah menyuarakan tantangan “kau mau apa?”

“Bocah, jangan kau ketawa-tawa dulu. Memang bangsat she Teng itu telah menipuku maka layak mampus. Akan tetapi kaupun telah mempermainkan aku, jangan kira aku takut untuk memberi hajaran kepadamu di depan ayahmu!”

Gadis itu tertawa mengejek.
“Kakek Song-bun-kwi, kau terlalu sombong. Agaknya kau tidak mau melihat tingginya langit dalamnya lautan. Ayah adalah seorang gagah yang tidak mau begitu saja menanam permusuhan, kau tahu? Ayah sudah mendengar bahwa kau adalah seorang tokoh besar kawakan, maka tadi ayah telah menjaga muka dan namamu, kau tahu? Kalau ayah mau sungguh-sungguh melawanmu, dengan mudah dia akan dapat merobohkanmu, kau tahu?”

“Loan Ki! Omongan apa yang kau keluarkan ini?”

Ayahnya menegur marah karena merasa betapa gadisnya benar-benar keterlaluan kali ini. Masa seorang tokoh seperti Song-bun-kwi mau di “kecapi” seperti itu?

Benar saja, Song-bun-kwi tak dapat menguasai kemarahan hatinya lagi. Sambil menggerak-gerakkan pedang dan sulingnya, dia berkaok-kaok,

“Siluman! Setan! Iblis jejadian, neraka jahanan! Hayo kalian ayah dan anak maju bersama, biar kalian buktikan macam apa adanya Song-bun-kwi Kwee Lun!”

Muka kakek itu merah sekali, kedua matanya melotot, alisnya yang sudah putih itu bergerak-gerak terangkat tinggi. Marah betul-betul dia.

“Song-bun-kwi, jangan kira aku Sin-kiam-eng takut kepadamu. Hayoh!”

Beng Kui menantang sambil melintangkan pedangnya di depan dada. Dalam pertempuran tadi diapun belum kalah, memang dia agak kehabisan tenaga karena kalah ulet, akan tetapi setelah beristirahat tadi, tenaganya pulih kembali dan dia merasa sanggup menghadapi kakek yang sakti itu. Dia maklum bahwa memang Sukar mencapai kemenangan, namun keangkuhannya melarang dia mengalah terhadap si kakek.

“Bagus! Mari bertanding sampai seorang diantara kita menggeletak!” Song-bun-kwi .tertawa bergelak. “Kita laki-laki sejati mana sudi cerewet seperti perempuan tukang celoteh?” Dia mengejek Loan Ki dan membalikkan tubuh untuk menghampiri Tan Beng Kui.

Akan tetapi tiba-tiba bayangan gadis itu berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di depannya, sampai kaget Song-bun-kwi menyaksikan kegesitan gadis ini.

“Kakek tua bangka pikun Song-bun-kwi! Kau benar-benar tak bermalu! Takut melawan aku kau mau meninggalkan aku begitu saja dan menantang ayah. Huh, tak tahu diri. Ayah tadi mengalah kau masih tidak tahu? Kau tidak cukup pandai, tidak berharga menjadi lawan ayahku. Siapa orangnya yang sudah bisa mengalahkan aku, barulah cukup berharga untuk bertanding sungguh-sungguh melawan ayah. Song-bun-kwi, beranikah kau melawan aku?”

“Loan Ki………..!” mau tidak mau Beng Kui menegur puterinya.

Memang dia merasa bangga menyaksikan keberanian dan ketabahan Loan Ki, akan tetapi mendengar gadisnya itu menantang Song-bun-kwi, benar-benar keterlaluan! Apanya yang akan dibuat menang? Dia sendiri setengah mampus melawannya, masa sekarang Loan Ki hendak melawan kakek itu? Huh, biar dikeroyok sepuluh orang Loan Ki juga masih bukan lawan Song-bun-kwi! Anaknya yang baru tiga hari pulang dari perantauannya ini memang benar-benar bersikap aneh, sama anehnya seperti ketika kemarin dia menegur karena gadis itu duduk termenung seperti orang kehilangan semangat!






No comments:

Post a Comment