Ads

Friday, January 25, 2019

Pendekar Buta Jilid 051

Juga para tamu yang nyalinya kurang besar, cepat-cepat menghabiskan makanan, membayar dan meninggalkan tempat dimana terdapat kakek yang menyeramkan itu. Akan tetapi yang nyalinya besar, malah menjadi girang dan diam-diam ingin menyaksikan perkembangan lebih lanjut dan menikmati keanehan yang jarang mereka lihat.

Diantara mereka itu terdapat seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun yang duduk seorang diri di sudut restoran, laki-laki yang bermata tajam berhidung betet berpakaian mentereng.

Mencium bau arak dari sebuah guci besar yang berada diatas sebuah meja di depannya, sepasang mata Song-bun-kui bersinar-sinar. Dia sudah amat rindu melihat arak, kini begitu bertemu dia segera menyambar guci, mengangkatnya keatas dan terdengarlah suara bergelogok seperti suara air pancuran jatuh dikolam. Tak setetespun terbuang.

Setelah agak lama mulut-mulut orang yang menyaksikan ini melongo, baru Song-bun-kwi meletakkan guci itu kembali keatas meja dan setengah isinya sudah ia pindah ke dalam perutnya.

Tanpa memperdulikan mata orang-orang yang berada disitu, dia menyambar sumpitnya dan segera menyikat masakan-masakan di depannya. Seperti mesin saja sumpit-sumpitnya bergerak, seperti disulap, mi, daging dan masakan-masakan itu terbang ke dalam mulutnya, dikunyah sebentar lalu masuk ke dalam lubang di kerongkongannya. Kadang-kadang masakan itu menyesakkan kerongkongan karena terlalu dijejal, dan terpaksa harus didorong arak menggelogok.

Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar disusul orang lari berserabutan kesana kemari. Ramai orang berteriak-teriak,

“Bajak laut…………! Bajak laut!”

Di dalam restoran itu sendiri terjadi keributan luar biasa. Para tamu lari keluar berserabutan, pelayan-pelayan lari pula sambil membawa barang-barang yang dianggap berharga, pengurus restoran membawa lari uang. Semua lari berserabutan meninggalkan tempat itu.

Nelayan-nelayan, pedagang-pedagang dan mereka yang merasa mempunyai barang berharga cepat-cepat lari meninggalkan tempat itu. Hanya mereka yang merasa tidak mempunyai apa-apa, tidak lari, hanya bersembunyi dengan muka pucat ketakutan.

Sejenak Song-bung-kwi menengok, lalu makan terus tanpa memperdulikan kegaduhan di sekelilingnya. Restoran itu sekarang kosong kecuali orang laki-laki yang berpakaian mentereng tadi. Tapi laki-laki inipun nampak tegang dan beberapa kali meraba gagang golok yang tersembunyi dibalik jubah panjangnya. Matanya memandang keluar, kearah laut.

Dengan kecepatan luar biasa, beberapa buah perahu kecil runcing berlayar ke pantai. Perahu-perahu ini agaknya diturunkan dari sebuah perahu besar yang berlabuh beberapa li dari pantai dan disetiap kepala perahu kecil ini berkibar bendera putih dengan gambar tengkorak hitam.

Itulah perahu-perahu bajak laut yang datang menyerbu kota pelabuhan ini. Jumlah perahu kecil ada sembilan buah, masing-masing ditumpangi lima orang anak buah bajak. Seorang laki-laki gemuk pendek berdiri di kepala perahu terdepan, tangannya memegang sebatang pedang yang besar dan panjang, pedang bengkok model Jepang.

“Bajak laut Jepang………..!”

“Si Tengkorak Hitam……….,!”

Demikian telinga Song-bun-kwi mendengar teriakan mereka yang lari ketakutan. Namun dia pura-pura tidak mendengar dan makan terus.

Para pedagang besar yang membawa banyak barang dagangan dan dikawal oleh jagoan-jagoan pengawal, sibuk mengumpulkan jagoan-jagoannya untuk melindungi barang mereka. Hanya pengawal-pengawal yang merasa dirinya berkepandaian dan mempunyai banyak teman, sedikitnya belasan orang anak buah saja yang berani menjaga barang yang dipercayakan mereka.

Begitu bajak-bajak itu mendarat, terdengar teriakan-teriakan mereka yang menyeramkan. Golok dan pedang mereka angkat tinggi-tinggi dan dengan pekik dan sorak-sorai, para bajak ini menyerbu ke darat.

Segera terjadi pertempuran dengan para jagoan pengawal yang jumlahnya semua tidak kurang dari tiga puluh orang. Hiruk-pikuk suara yang bertempur, bunyi senjata tajam beradu mendencing-dencing, pekik kesakitan dan sorak kemenangan mulai terdengar bersama muncratnya darah dan robohnya tubuh manusia.





Lima orang anak buah bajak lari ke dalam restoran besar. Mereka berteriak-teriak girang karena membayangkan pesta pora. Alangkah heran hati mereka ketika melihat betapa di dalam restoran besar itu terdapat dua orang tamu yang masih belum pergi. Seorang kakek gundul berusia lanjut enak-enakan saja makan, sedikitpun tidak melirik kepada lima orang bajak yang memasuki restoran. Malah ketika seorang bajak memekik-mekik sambil menendang meja sampai terguling, dia malah mengangkat guci araknya dan minum seenaknya. Orang kedua adalah laki-laki berpakaian mewah yang duduk tenang-tenang saja, dengan tangan di gagang goloknya.

Para bajak itu memang sudah terlalu lama berada di lautan dan kini melihat kakek itu makan minum, mereka menjadi mengilar. Maka berebutanlah empat orang lari menghampiri Song-bun-kwi, sedangkan seorang diantara mereka tertarik akan pakaian mewah laki-laki yang duduk di pojok, maka dia lari kepada orang itu.

Sambil mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tidak dimengerti oleh Song-bun-kwi, empat orang bajak itu menyerbu, ada yang menghantam kepala gundul kakek itu, ada yang membacok lehernya dengan golok, ada pula yang menyambar guci arak untuk merampasnya.

Kesudahannya hebat sekali. Kakek itu tanpa menoleh barang sedikit, menggerakkan tangan yang memegang sumpit, perlahan saja tapi cepat seperti kilat menyambar. Empat orang bajak seketika seperti orang terlongong, lalu membalikkan tubuh dan berjalan terhuyung-huyung ke pintu restoran, mulut mereka bergerak-gerak hendak memekik akan tetapi yang keluar hanya suara mengorok seperti babi disembelih! Dan sebelum mereka tiba di tempat teman-teman mereka diluar, robohlah mereka, terkulai satu-satu, dan hampir berbareng mereka mengeluarkan suara jeritan ngeri!

Kepala bajak yang gemuk pendek itu hebat sekali. Pedangnya yang panjang dan bengkok menyambar-nyambar dan banyaklah jagoan pengawal roboh dengan leher putus atau dada robek oleh pedangnya.

Akan tetapi selagi enak dia mengamuk, seorang temannya berteriak sambil menuding kearah empat orang anak buah yang roboh tanpa diserang lawan itu. Si kepala bajak sekali melompat sudah tiba disitu. Dengan kaki kirinya dia membalik-balikkan tubuh empat orang anak buahnya dan……….. ternyata mereka telah putus nyawanya dengan mata mendelik, mulut berdarah sedangkan leher mereka nampak bolong sebesar jari tangan!

Mata kepala bajak itu menjadi merah saking marahnya. Dia juga heran karena tidak melihat lawan di dekat empat orang anak buahnya ini. Matanya lalu mencari-cari dan terlihatlah olehnya cucuran-cucuran darah merah yang tercecer sepanjang jalan dari tempat itu ke pintu restoran. Dilihatnya seorang kakek duduk di dalam restoran dan tampak pula seorang anak buahnya tengah bertempur dengan seorang laki-laki yang mainkan golok. Jelas bahwa anak buahnya itu terdesak hebat.

Sambil memekik dengan suara yang keluar dari dasar perut, kepala bajak berjuluk Tengkorak Hitam ini lalu berlari, pedangnya teracung ke depan, mulutnya memekik panjang

“Yaaaaaaa!!!”

Dua orang jagoan pengawal mengira bahwa kepala bajak itu hendak menerjang mereka, berbareng dua orang ini memapakinya dengan pedang mereka. Akan tetapi bukan main hebatnya kepala bajak ini. Tanpa menghentikan larinya kearah restoran, pedang panjangnya berkelebat dan……….. dua orang jagoan pengawal itu rebah dengan perut robek dan isi perutnya berantakan keluar! Si kepala bajak terus berlari tanpa menghentikan pekiknya yang panjang menyeramkan itu.

Akan tetapi begitu sampai di ambang pintu restoran, tiba-tiba dari dalam ada bayangan menubruknya. Si Tengkorak Hitam yang baru saja berhenti memekik panjang, kini membentak,

“Yaaatt” dan pedangnya yang bengkok panjang itu bergerak ke depan berkelebat menyilaukan mata.

“Craaaatttt!”

Pedang yang amat tajam itu membabat pinggang bayangan itu yang……….. putus menjadi dua. Darah menyembur-nyembur mengerikan dibarengi suara terbahak-bahak si kepala bajak yang tertawa girang.

Tiba-tiba suara ketawanya berhenti ketika dia mendengar suara mendengus penuh ejekan di dalam restoran. Ketika dia menundukkan muka memandang, tiba-tiba muka Tengkorak Hitam menjadi pucat. Kiranya bayangan yang dibacoknya putus menjadi dua tadi adalah anak buahnya sendiri yang agaknya telah dilemparkan lawan. Dia mengarahkan pandang matanya yang berapi-api ke dalam restoran. Kakek itu masih duduk makan minum.

Sedangkan laki-laki bergolok yang tadi bertempur melawan anak buahnya sekarang berdiri dengan golok melintang di depan dada. Tengkorak Hitam tak dapat menahan kemarahannya lagi. Sekali lagi dia memekik panjang dan lari menyerbu ke dalam restoran, langsung menerjang si pemegang golok.

Biasanya, tiap sabetan pedangnya tak pernah gagal, kalau tidak merobohkan lawan, sedikitnya melukai atau mematahkan senjatanya. Akan tetapi sekali ini dia salah duga. Pedangnya bertemu dengan sebuah golok yang kuat dan terdengar suara berdencing nyaring dibarengi muncratnya bunga api berhamburan.

Cepat kedua lawan ini menarik senjata masing-masing, memeriksa sebentar. Lega mendapat kenyataan bahwa senjata masing-masing tidak rusak.

Tengkorak Hitam lagi-lagi menerjang, kini gerakannya lebih kuat dan cepat sekali, pedangnya berkelebat tanpa berhenti, membobat-babit dari kanan kembali kekiri, dari atas ke bawah seperti seorang akrobat mainkan dua obor api.

Laki-laki bergolok itu beberapa kali mengeluarkan seruan kaget karena hampir saja pertahanannya bobol, namun dia melawan sedapat mungkin dengan permainan goloknya.

Song-bun-kwi tidak perdulikan itu semua, masih saja makan minum. Melirikpun tidak dia. Akan tetapi ketika araknya habis, dia celingukan kesana kemari, lalu mulutnya mendamprat,

“Pelayan keparat! Kemana kalian? Hayo tambah lagi arak seguci penuh!”

Tentu saja tidak ada setan yang menjawabnya karena semua pelayan sudah melarikan diri jauh dari tempat itu. Song-bun-kwi marah-marah, digebraknya meja sampai mangkok-mangkok yang kosong bergulingan.

“Pelayan kemana kalian pergi?”

Tiba-tiba si pemegang golok yang menjawab,
“Lo-cianpwe, semua pelayan lari ketakutan karena bajak ini!”

Baru sekarang Song-bun-kwi menengok dan melihat pertempuran itu. Dia melihat seorang laki-laki pendek gemuk berkepala botak kelimis tapi di sebelah pinggir dan belakang berambut gemuk hitam. Laki-laki pendek gemuk ini tidak berbaju, hanya bercelana panjang yang komprang (kebesaran). Tubuhnya kelihatan kuat sekali, dan permainan pedangnya aneh bukan main, namun tak boleh dibilang lemah.

Si pemegang golok yang sepintas lalu dapat dinilai oleh Song-bun-kwi permainannya sebagai ilmu golok selatan yang tidak lemah, agaknya tidak kuat menandingi ilmu pedang aneh bajak pendek itu. Timbul kemarahan Song-bun-kwi kepada bajak itu. Benar-benar tidak memandang mata kepadanya. Sedang enak-enak makan berani datang mengacau sampai semua pelayan lari. Dengan langkah lebar dia menghampiri tempat pertempuran.

“Heh, babi buntung! Berani kau membikin kacau sampai semua pelayan pergi, ya? Hayo kau gantikan pekerjaan mereka, layani aku baik-baik!”

Si pemegang golok yang melihat cara Song-bun-kwi tadi mengalahkan empat orang bajak, dapat mengerti bahwa kakek itu adalah seorang sakti, maka sekarang melihat kakek itu mau turun tangan, diapun cepat memutar goloknya lalu melompat ke samping menjauhi kepala bajak yang lihai.

Tengkorak Hitam kaget mendengar bentakan Song-bun-kwi. Agaknya dia sudah sering kali menjelajah pantai timur ini sehingga dia mengerti juga bahasa daerah itu. Dengan kaku dia membentak sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi,

“Iblis tua bangka, kau memaki siapa?”

“Memaki kau, siapa lagi? Hayo lekas ambilkan arak seguci!” Song-bun-kwi membentak.






No comments:

Post a Comment