Ads

Thursday, January 24, 2019

Pendekar Buta Jilid 049

Pedang Beng San berkelebat dan sebuah batu besar di dekat tiga orang tosu itu menjadi bulan-bulanan. Beberapa kali pedang berkelebat dan batu itu berubah seperti tahu dicacah-cacah!

“Pergi…….! Pergi kalian dari sini….! Demi Tuhan……. pergi sebelum kubunuh……!”

Telunjuk tangan kiri Beng San menuding keluar. Tiga orang tosu itu menunduk, lalu berjalan pergi dengan langkah-langkah gontai.

“Antar mereka keluar, urus jenazah adik-adikmu,” kata Beng San kepada Su Ki Han yang cepat menjalankan perintah suhunya, mendahului tiga orang tosu menjadi penunjuk jalan.

Hatinya gelisah, murid ini sama sekali tidak merasakan lukanya. Murid-murid yang lain tanpa diperintah juga pergi mengikuti twa-suheng mereka, maklum bahwa guru dan ibu guru mereka tak mau diganggu orang lain.

Setelah semua orang pergi, Beng San menengok kearah isterinya. Jantungnya merasa ditusuk pedang oleh pandangan mata isterinya yang penuh penyesalan, penuh penderitaan dan penuh kebencian.

Seakan-akan dari pandang mata Beng San terungkap seribu satu macam pertanyaan dan otomatis Li Cu berkata, suaranya lirih seperti suara orang menangis,

“Mereka datang……. lima orang mengeroyokku……. yang lain membakar rumah……. kulihat Cui Sian dibawa lari…….” Tiba-tiba ia menangis menggerung-gerung. “Anakku…….! Ia berteriak-teriak memanggilku……. anakku……. Cui Sian…….. Cui Sian…….!!”

Beng San makin hancur hatinya, dia melangkah maju, hendak memeluk isterinya.
“Li Cu……. kenalkah kau siapa mereka? Biar kucari mereka, kurampas kembali anak kita…….”

“Jangan sentuh!”

Pedangnya berkelebat dan hampir saja lengan tangan Beng San terbabat putus kalau dia tidak cepat-cepat menariknya.

“Aku tidak kenal mereka. Perduli apa dengan kau! Kau lebih mementingkan Thai-san-pai! Nah, uruslah Thai-san-paimu itu. Aku akan pergi mencari anakku!!” Setelah berkata demikian, Li Cu berlari pergi menuruni puncak.

“Li Cu…….! Tunggu dulu…….!”

Beng San melompat melampaui isterinya, menghadangnya.
“Kau maafkanlah aku……. mari kita bicara baik-baik……”

“Jangan dekat!” Kembali pedang Li Cu berkelebat. “Kau uruslah Thai-san-pai, jangan perdulikan aku dan anakku. Aku bersumpah……. dengarlah Beng San, aku bersumpah takkan sudi melihat mukamu lagi tanpa adanya Cui Sian!”

Pedangnya membabat ke depan dan selagi Beng San meloncat minggir, ia berlari terus meninggalkan suaminya.

Beng San menggigit bibir, menahan suaranya yang hendak menjerit-jerit. Hampir tak kuat dia menahan gelora hatinya yang kalang-kabut menghadapi malapetaka ini. Seluruh batinnya diliputi kemarahan hebat. Kemudian kakinya menendang. Sebuah batu besar terlempar bergulingan. Pedangnya dikerjakan. Pohon-pohon roboh malang melintang. Beng San terus menyerbu pondoknya yang masih terbakar. Ditendangnya, dihantamnya, dibabatnya sehingga hiruk-pikuk suara pondok itu roboh.





Batu-batu beterbangan, tidak ada sebatangpun pohon utuh, semua dibabat rata dengan tanah! Dia mengarnuk terus, dari kerongkongannya terdengar suara menggereng-gereng, matanya liar dan semalam itu dia membuat puncak yang tadinya indah menjadi tempat yang rusak binasa. Tanam-tanaman bunga ludas, pondok habis, pohon-pohon ambruk, batu-batu malang melintang, banyak yang hancur.

Dalam keadaan seperti inilah tiga orang murid kepala mendapatkan gurunya. Beng San masih berdiri seperti patung, pedang di tangan, muka beringas mata liar.

“Suhu…..!” tiga orang murid itu menjatuhkan diri berlutut dan terdengar mereka terisak menangis.

Beng San menoleh, menunduk, matanya dikejap-kejapkan mengusir dua butir air mata yang sejak tadi menggantung tak mau jatuh. Seperti orang baru sadar dari mimpi buruk dia menengok kekanan kiri, melihat kerusakan yang diakibatkan oleh kemarahannya. Diam-diam dia bersyukur bahwa tidak ada seorangpun manusia disitu malam tadi. Kalau ada, entah apa akan jadinya.

Dia menarik napas panjang, terasa sakit di dada. Tahu bahwa dia terluka oleh hawa amarahnya sendiri! Cepat dia menyalurkan hawa murni ke dada, bernapas panjang-panjang memulihkan tenaga dan kesehatan. Dia insyaf akan kegilaannya. Boleh jadi Li Cu tak dapat menahan hantaman nasib seperti ini. Dia tidak menyalahkan isterinya. Seorang wanita bagaimanapun juga lebih lemah daya tahan batinnya. Apalagi pernah kehilangan Cui Bi, kini kehilangan Cui San. Amat berat tentu.

Tapi dia seorang laki-laki. Hampir lima puluh tahun hidupnya. Banyak sudah pengalaman. Masa belum juga matang jiwanya oleh gemblengan pengalaman hidup yang pahit getir? Kesadaran tak boleh tertutup kegelapan nafsu. Dia harus tetap berpendirian. Seorang gagah takkan mudah goyah imannya. Sekali lagi dia menarik napas panjang.

“Ki Han, siapa saja diantara adikmu yang tewas dan berapa yang terluka?” tanyanya, suaranya sudah biasa kembali. Beng San sudah pulih menjadi ketua Thai-san-pai yang berwibawa.

Sambil menangis Ki Han menyebutkan nama sembilan orang adik seperguruannya yang tewas dan empat orang yang luka-luka. Kembali Beng San menarik napas panjang untuk menyedot hawa murni guna menguatkan batinnya yang kembali terpukul kedukaan.

“Murid-muridku, kuharap kalian suka mengubur jenazah adik-adikmu baik-baik. Kemudian bubarlah kalian, pulang kerumah masing-masing. Mereka yang tak mempunyai rumah boleh saja tinggal di pegunungan ini. Akan tetapi ingat, mulai saat ini tidak ada Thai-san-pai lagi……”

“Suhu……!” Ki Han terisak. “Dimana subo (ibu guru) dan adik Cui Sian?”

“Adikmu diculik orang. Subomu pergi mengejar. Akupun akan turun gunung menyusul mereka. Ingat, Thai-san-pai tidak ada lagi…….”

“Suhu…….!” Kini terdengar seruan mereka serentak menyatakan keberatan hati.

“Atau……. biarlah untuk sementara ini Thai-san-pai dibekukan. Tunggu sampai aku pulang. Kalau aku tidak pulang selamanya, berarti Thai-san-pai tidak akan bangun lagi. Beri tahu kepada semua adikmu yang tidak tinggal disini. Terserah kalian mencari jalan hidup masing-masing. Aku tidak akan mengurus sepak terjang kalian selama kalian tidak menggunakan nama Thai-san-pai. Akan tetapi, percayalah akan kemurahan Thian. Kalau Thian menghendaki, aku akan kembali membangun lagi Thai-san-pai yang rusak binasa di hari ini. Nah, selamat tinggal, murid-muridku…….”

Suara terakhir ini mengandung isak dan semua murid menangis. Akan tetapi mereka hanya melihat bayangan suhu mereka berkelebat pergi dan lenyap. Murid-murid itu saling rangkul dan bertangisan. Keadaan di pagi hari itu amat menyedihkan. Thai-san-pai yang dibangun selama empat tahun dan tadinya terkenal sebagai partai baru yang kuat dan disegani, dalam semalam runtuh dan hancur binasa!

**** 049 ****





No comments:

Post a Comment