Ads

Thursday, January 24, 2019

Pendekar Buta Jilid 046

Berpekan-pekan lamanya Beng San dan isterinya merasa gelisah. Peristiwa pada tiga pekan yang lalu benar-benar menggegerkan Thai-san-pai. Dia dan isterinya turun dan memeriksa sendiri ketika seorang anak murid melapor bahwa di lereng sebelah barat terdapat dua buah mayat manusia yang keadaannya rusak teraniaya.

Ketua Thai-san-pai ini dan isterinya melakukan pemeriksaan dan alangkah gelisah hati mereka melihat betapa di samping mayat dua orang laki-laki muda yang mengerikan itu, juga tampak bekas-bekas pertempuran besar di tempat itu.

“Apakah artinya ini?”

Dengan muka berubah khawatir, Cia Li Cu bertanya kepada suaminya, Tan Beng San ketua Thai-san-pai. Yang ditanya mengerutkan kening, menggeleng-geleng kepala perlahan.

“Dua orang yang menjadi mayat itu sukar dikenali mukanya, dan agaknya pertempuran yang terjadi disini baru malam tadi terjadi. Sayang kita tidak mendengar sama sekali sehingga tidak dapat mengetahui siapa yang telah bertempur dan apa sebabnya. Tapi, dengan adanya dua mayat di tempat ini, dan kenyataan bahwa pertempuran dilakukan di wilayah Thai-san-pai, terang bahwa hal-hal yang tidak baik sedang terjadi dan hal itu tentu menyangkut Thai-san-pai.”

Sejak hari itu Beng San memberi perintah kepada para muridnya yang mondok di Thai-san-pai, untuk berjaga-jaga dan meronda setiap malam. Namun hatinya selalu terasa tidak tenteram. Juga Li Cu merasa tak enak hatinya semenjak terjadi hal yang penuh rahasia di lereng barat itu. Kekhawatirannya yang hendak disembunyikan dapat diketahui bahwa dia tidak memperbolehkan lagi Cui Sian bermain-main di luar pondok di puncak. Selalu anak perempuan yang baru berusia empat tahun kurang itu harus berada di dekatnya, tak boleh berpisah sebentarpun.

Beng San maklum akan perasaan isterinya, maka pada suatu hari dia menghiburnya.
“Isteriku, tak perlu kau terlalu gelisah. Bukan baru sekarang kita tahu bahwa banyak sekali orang-orang jahat di dunia kang-ouw selalu menaruh dendam dan memusuhi kita. Mereka itu mau apa? Kita bisa melawan, tentang mati hidup berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa. Kenapa harus gelisah?”

Li Cu menarik napas panjang. Semenjak kematian puterinya, Cui Bi, nyonya ini nampak kurus. Kehadiran Cui San sebagai pengganti Cui Bi, memang juga membawa serta kekhawatiran besar, khawatir kalau-kalau Cui Sian kelak akan mengalami nasib seperti cicinya (kakak perempuannya). Karena anaknya inilah maka ia berkhawatir sekarang ini.

“Suamiku, kiranya kau sudah cukup mengenal watakku. Akan menjadi buah tertawaan dunia agaknya kalau aku sampai ketakutan menghadapi ancaman orang jahat. Tidak, Suamiku, semenjak kecil aku sudah dididik oleh mendiang ayah untuk menjunjung tinggi akan kegagahan dan tidak takut akan kematian. Akan tetapi, kau lihat puteri kita ini…….. Cui Sian masih begini kecil. Hanya kalau teringat kepadanya maka hatiku menciut, nyaliku mengecil dan perasaanku diliputi kekhawatiran.”

“Sudahlah, kita serahkan saja kepada Thian Yang Maha Kuasa. Sampai pucat mukamu, agaknya kau kurang tidur dalam beberapa hari ini.”

“Memang demikian, hatiku tidak enak saja…….”

Enam pekan kemudian semenjak terjadinya peristiwa di lereng barat itu. Malam itu amat indah. Bulan bersinar tenang sejuk. Pohon-pohon dan rumput bermandikan cahaya bulan nampak segar. Dari puncak Bukit Thai-san, bulan seakan-akan mengambang diantara mega, begitu dekat seperti mudah dijangkau tangan.

Para anak murid Thai-san-pai, setelah sebulan lebih bekerja keras melakukan penjagaan, malam itupun mulai malas untuk meronda. Malam terlalu indah untuk memikirkan hal yang bukan-bukan, untuk menguatirkan hal yang tidak-tidak. Tak mungkin rasanya di malam seindah itu akan terjadi hal-hai yang tidak baik. Kata orang, cahaya bulan purnama membangkitkan kasih sayang di hati manusia sehingga pada malam seperti itu, sukarlah untuk menaruh hati benci kepada orang lain.

Cui Sian bersama ayah bundanya juga bergembira di pekarangan depan pondok mereka. Tiada habisnya anak itu bertanya kepada ibunya tentang puteri di bulan, tentang kakek bulan seperti yang didongengkan ibunya kepadanya.

“Ibu, apakah cici Cui Bi juga di bulan?” dengan kata-kata lucu dan tidak jelas anak itu bertanya sambil merebahkan kepala diatas pangkuan ibunya dan matanya yang lebar bening itu terbelalak memandang bulan.





Sejenak Li Cu bertukar pandang dengan suaminya.
“Betul, nak, cicimu juga di bulan.” Li Cu memeluk dan menciumi dahi puterinya itu.

“Ibu, aku juga ingin terbang ke bulan…….”

Cui Sian merengek. Ibunya menghibur dan memelukinya, diam-diam berdoa mohon kepada kakek bulan agar supaya kelak Cui Sian lebih bahagia dalam cinta kasihnya, tidak seperti Cui Bi.

Pada saat itu tangan Beng San menyentuh lengannya penuh arti. Li Cu menengok dan memandang kearah pandangan suaminya. Hatinya berdebar tegang. Jelas sekali, diudara sebelah barat, meluncur keatas sepucuk sinar merah, berulang-ulang sampai tiga kali. Tak salah lagi, itulah panah api yang dilepas orang sebagai tanda rahasia. Belum hilang kagetnya, di sebelah utara meluncur lain sinar, kini kehijauan, lebih terang daripada tadi.

“Bawa dia masuk…….” kata Beng San perlahan kepada isterinya, nada suaranya tenang.

Li Cu bangkit, memondong anaknya. Cui Sian tidak mau dan menangis ingin menonton bulan.

“Mari masuk, Sian-ji, diluar banyak angin,” ibunya menghibur dan membawanya masuk ke rumah, lalu menyerahkan anak itu kepada inang pengasuh, bibi Cang.

Cui Sian tetap menangis dan rewel, akan tetapi Li Cu memaksa anak itu dibawa masuk dan dihibur bibi Cang dan para pelayan yang berada di pondok itu. Ia sendiri setelah mengambil pedangnya, lalu kembali keluar. Ia melihat suaminya berdiri sambil memandang kearah barat. Ia segera berdiri di sisi suaminya, melayangkan pandang kearah barat dan utara dimana tadi tampak panah-panah api berwarna merah dan hijau.

“Siapakah yang datang? Apa maksud mereka?” bisiknya.

Beng San menggeleng kepala, mengerutkan kening.
“Entah, belum pernah mendengar tokoh menggunakan panah api. Biasanya panah-panah api dipergunakan oleh rombongan yang memberi tanda rahasia…….”

Tiba-tiba terdengar suara tinggi melengking dari arah barat, disusul suara hampir sama dari arah utara. Tubuh suami istri itu menegang.

“Li Cu, aku harus turun dari sini melakukan pemeriksaan ke bawah. Siapa tahu murid-murid kita menghadapi musuh.”

Tanpa menanti persetujuan Li Cu, Beng San menggerakkan kaki hendak lari turun. Akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang Li Cu yang menahannya. Dia heran, dan menoleh.

“Kau disini saja, menjaga Cui Sian, biarkan aku sendiri.”

“Jangan…….!” pinta Li Cu.

Beng San terheran-heran. Baru kali ini selama menjadi isterinya, Li Cu memperlihatkan keraguan yang amat mengherankan ini. Dia memegang kedua pundak isterinya, pandang matanya mencari-cari ke dalam mata isterinya, lalu tanyanya heran,

“Li Cu…….! Jangan bilang bahwa kau……. takut?”

Wanita itu menarik napas panjang, mengandung isak.
“Entahlah…….. aku……. tak enak sekali hatiku. Kau di sinilah saja bersamaku, menjaga keselamatan Cui Sian.”

Beng San memandang dengan mata terbelalak. Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Kemudian dia tertawa bergelak,

“Ha-ha-ha, isteriku, kau seperti anak kecil merengek-rengek! Alangkah lucunya! Siapakah berani mengganggu anak kita? Pula, biar aku turun puncak, kau berada disini dan siapa dapat mengganggu Cui Sian kalau kau berada disini? Huh, cacing busuk dari mana berani menghadapi isteriku! Pedangmu akan mampu membasmi seratus orang lawan, pula, jalan ke puncak ini tidak mudah, tak sembarangan orang dapat melewati jalan rahasia kita.”

“Tidak, suamiku……. sekali ini saja……. kau bersamaku menjaga Cui Sian.”

Beng San mencabut pedangnya dan tampak sinar berkilat ketika Liong-cu-kiam tercabut. Sekali berkelebat pedang itu.telah membelah sebuah batu besar di depannya, hampir tanpa bersuara!

“Li Cu!”

Suara Beng San terdengar tegas dan keren.
“Baiknya hanya batu ini yang mendengar ucapanmu tadi. Karena dia sudah mendengarkan suara isteriku, maka kubinasakan! Bagaimana kalau ada manusia yang mendengar isteri ketua Thai-san-pai bicara seperti itu? Kau tahu, aku adalah ketua Thai-san-pai, dan perkumpulan ini harus kupertahankan dengan nyawaku kalau perlu! Mana mungkin Thai-san-pai kedatangan musuh, ketuanya bersembunyi saja disini membiarkan anak-anak murid Thai-san-pai menghadapi bahaya tanpa pimpinan? Li Cu, insyaflah, tak mungkin kita berubah menjadi pengecut!”

Ucapan suaminya ini agaknya merupakan air dingin yang menyadarkan Li Cu. Ia terisak, menundukkan kepalanya, lalu berkata perlahan,

“Maafkan aku……. kau pergilah, kau benar. Tapi……. hatiku tidak enak……. aku khawatir anakku, bukan keselamatan kita…….”

“Li Cu, perlihatkanlah keberanianmu sebagai seorang gagah!” Beng San menuntut.

“Srattt!”

Kembali sinar berkelebat ketika pedang Liong-cu-kiam yang pendek tercabut. Sinar pedang menyambar dan batu yang tadi terbabat menjadi dua potong kini terbabat menjadi empat potong oleh pedang Li Cu, hanya sedikit menimbulkan suara dan bunga api!

“Aku siap menjaga puncak ini dengan taruhan nyawa!”

Beng San tersenyum, mendekatkan muka mencium pipi isterinya, lalu sekali berkelebat dia sudah melompat jauh dan lari turun puncak, dipandang oleh isterinya yang tanpa terasa menitikkan dua butir air mata.

Li Cu lalu menjaga di depan pondok, menyesali diri sendiri yang hampir saja kehilangan pegangan, kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Ini semua karena kekhawatirannya kehilangan Cui Sian. Ia menjadi penakut setelah satu kali ia kehilangan Cui Bi.

Melalui jalan rahasia, Beng San cepat tiba di lereng gunung. dimana dia melihat dari jauh banyak obor menyala dan malah terdengar suara senjata beradu. Kagetnya bukan kepalang dan cepat dia mengerahkan ilmu lari cepat menuju ke tempat itu. Diam-diam dia menyesal mengapa dia datang terlambat.

Baiknya pertempuran itu baru saja dimulai, buktinya di kedua belah fihak belum jatuh korban. Dia melihat belasan orang muridnya menghadapi serbuan puluhan orang, malah masih banyak terdapat kelompok orang-orang yang berjajar di sebelah barat dan sekelompok lagi di sebelah utara. Matanya menyapu cepat melihat bahwa kelompok diutara itu adalah orang-orang Kong-thong-pai yang dipimpin oleh seorang tosu tua.

Adapun di sebelah barat dengan kaget dia kenal beberapa orang dari Pek-lian-pai. Hatinya berubah lega. Orang-orang sendiri, pikirnya. Tapi mengapa terjadi pertempuran? Tentu salah paham! Cepat dia berseru keras,

“Saudara-saudara, harap suka menahan senjata dulu!!”

Para anak murid Thai-san-pai dengan girang mengenal suara guru mereka, cepat mereka melompat mundur dan menahan pedang masing-masing, lalu berkumpul dan berdiri di belakang Beng San. Dari fihak lawan terdengar tosu Kong-thong-pai menyuruh anak muridnya berhenti, juga di fihak Pek-lian-pai yang dipimpin oleh dua orang tosu pula.

“Bagus! Ketua Thai-san-pai sendiri keluar. Urusan ini harus diselesaikan!” kata seorang tosu tua yang kurus kering, bongkok, dan memegang pedang.

Melihat tosu ini, kembali Beng San terkejut dan cepat-cepat menjura.
“Ah kiranya totiang Seng Tek Cu yang datang berkunjung. Juga kalau tidak keliru sangka, totiang yang lain ini tentulah seorang tokoh Kong-thong-pai yang terhormat. Malah aku mengenal beberapa saudara dari Pek-lian-pai disini. Maaf-maaf ……. tamu-tamu terhormat datang, aku tidak tahu dan tidak mengadakan penyambutan.”

Kemudian Beng San menoleh kepada para anak muridnya dan membentak keren.
“Kalian ini bagaimana tidak bisa membedakan siapa kawan siapa lawan? Mengapa berani berlaku kurang ajar terhadap tamu-tamu terhormat?? Kau……. Ki Han! Jawablah, kau yang memimpin saudara-saudaramu melakukan penjagaan. Bagaimana bisa terjadi hal ini?”






No comments:

Post a Comment