Ads

Wednesday, January 23, 2019

Pendekar Buta Jilid 041

Seketika suara tangis gadis itu berhenti seperti seekor jangkerik terpijak. Malah suaranya mengandung kegembiraan besar,

“benarkah, Hong-ko? Kau hendak memberi pelajaran ilmu pukulan kepadaku?”

“Bukan ilmu pukulan, melainkan ilmu langkah rahasia. Kau lihat dan perhatikan baik-baik, semua ada dua puluh empat langkah rahasia. Lihat dan ingat baik-baik, aku mulai!”

Kun Hong lalu memasang kuda-kuda dan mulailah dia menjalankan langkah-langkah rahasia berdasarkan Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali Emas).

Melihat betapa Kun Hong melangkah dengan aneh, terhuyung-huyung, membongkok kadang-kadang jinjit (berdiri di atas ujung kaki), Loan Ki merasa kecewa. Agaknya tarikan nafasnya tidak terlepas dari pendengaran Kun Hong yang tertawa sambil berkata,

“Ki-moi, jangan kau pandang rendah ilmu langkah ini, kau cabutlah pedangmu dan kau boleh mencoba untuk menyerangku. Dengan langkah-langkah ini semua seranganmu akan gagal.”

Dasar seorang gadis jujur, tanpa bai-sengki (sungkan) lagi Loan Ki mencabut pedangnya dan menyerang kalang-kabut. Akan tetapi ia merasa seperti menyerang bayangan saja. Kilatan pedangnya yang seakan-akan sudah akan mengenai Kun Hong sampai ia menjadi kaget sendiri, ternyata hanya lewat di samping tubuh pemuda itu yang terus melangkah dengan cara aneh. Lewat tiga puluh jurus ia berhenti menyerang dan menyimpan pedangnya.

“Wah, Hong-ko, hebat ilmu langkah itu. Mari kupelajari baik-baik. Kau melangkahlah, jangan cepat-cepat!” katanya gembira sekali.

Maka belajarlah gadis itu dengan tekun dan penuh perhatian. Dasar ia berbakat baik dan memang sudah memiliki dasar-dasar yang kuat, setelah berlatih beberapa hari lamanya ia sudah hafal dan dapat melangkah dengan cukup baik. Saking girangnya gadis ini menari-nari lalu memeluk Kun Hong!

“Hong-ko, terima kasih. Ilmu langkah ini apa namanya, Hong-ko?”

Kun Hong bingung. Ketika dia mempelajari ilmu langkah ini, dia sendiri tidak tahu namanya. Pikirannya bekerja, lalu dengan cerdik dia berkata,

“Inilah Ilmu Langkah Hui-thian-jip-te (Terbang ke Langit Amblas ke Bumi) sebanyak dua puluh empat langkah. Dengan ilmu ini setelah kau latih dengan sempurna, tidak mudah kau dirobohkan orang.”

Dengan cerdik Kun Hong mengatakan “dirobohkan orang” karena tentu saja dengan ilmu itu masih mungkin gadis yang lincah ini dikalahkan orang, namun untuk dirobohkan, kiranya tidaklah mudah.

Loan Ki masih kegirangan, menari-nari dan melatih ilmu langkah yang baru ia pelajari itu. Memang pada dasarnya ia gesit dan lincah, tentu saja kini mendapatkan ilmu langkah yang ajaib itu, ia bagaikan seekor anak kijang tumbuh sayap! Saking asyiknya melatih diri, Loan Ki sampai tidak memperhatikan atau menengok lagi kepada Kun Hong.

“Nah, selamat berpisah, Ki-moi. Semoga Thian selalu memberkahimu dan terutama sekali, menuntunmu ke jalan benar.”

Baru kaget hati Loan Ki ketika mendengar kata-kata ini. Ia berhenti dan menoleh.
“Kau……. hendak kemana, Hong-ko?”

Kun Hong tersenyum,
“Tiada pertemuan tanpa akhir di dunia ini, Ki-moi. Kita harus berpisah melanjutkan perjalanan masing-masing. Kau pulanglah ke rumah orang tuamu yang tentu sudah mengharap-harap pulangmu sedangkan aku……. aku akan pergi kemana saja nasib membawaku.”

“Ih, jangan begitu, Hong-ko. Mari kau ikut saja dengan aku ke Pek-tiok-lim, ayah tentu senang bertemu denganmu.”

Kun Hong menggeleng kepala.
“Terima kasih, Ki-moi. Biarlah lain kali kalau kebetulan aku lewat disana, aku akan singgah menyampaikan hormatku kepada orang tuamu. Sekarang belum waktunya. Nah, selamat tinggal, adikku. Jangan lupa, jangan kau terlalu mudah membunuh orang. Kepandaian memang untuk menjaga diri dan membela kebenaran dan keadilan, akan tetapi sekali-sekali bukan untuk mendahului Tuhan, mencabut nyawa orang. Selamat tinggal.” Kun Hong melangkah sambil meraba-raba dengan tongkatnya.





“Hong-ko…….!”

Akan tetapi Kun Hong tidak mau banyak rewel lagi. Dia tahu bahwa kalau dia melayani gadis ini, sukar baginya untuk dapat berpisah, maka dengan nekat Kun Hong lalu menggunakan kepandaiannya berlari seperti terbang cepatnya sehingga sebentar saja lenyap dari pandangan mata Loan Ki yang berdiri bengong ketika tak dapat mengejar, kemudian mengusap-usap kedua matanya.

Kun Hong tidak berani terlalu lama berlari cepat seperti itu. Dia telah berlaku nekat untuk cepat-cepat meninggalkan Loan Ki. Kalau nasibnya sedang sial, mudah saja dia terjeblos ke dalam lubang atau terguling ke selokan ketika berlari cepat seperti itu tanpa dapat mengetahui apa yang berada di depannya. Setidaknya kepalanya bisa benjol terbentur sesuatu yang keras tanpa dapat dia elakkan. Baiknya dia ternyata mujur karena kebetulan sekali dia berlari cepat diatas tanah yang rata.

Segera dia memperlambat larinya ketika tidak mendengar suara Loan Ki mengejar dan pada detik selanjutnya dia hanya berjalan biasa, meraba-raba dengan tongkatnya dan menggerutu seorang diri. Dia marah kepada diri sendiri mengapa sekarang hatinya berhal lain daripada biasanya.

Biasanya, semua pengalaman dan peristiwa yang menimpa kepadanya, setelah lalu takkan dia kenangkan lagi, malah sebagian besar terlupa sudah. Akan tetapi mengapa sekarang benaknya penuh dengan kenangan di pulau Ular Hijau dan pendengarannya masih penuh suara yang halus seperti suara bidadari? Kenapa dia tidak dapat melupakan Hui Kauw? Banyak pertanyaan mengaduk-aduk pikirannya.

Kemana Hui Kauw sekarang? Bagaimana keadaannya? Mengapa gadis bidadari itu agaknya amat dibenci ibunya dan adiknya? Kenapa pula beberapa kali Loan Ki menyebut nona bersuara bidadari itu sebagai “nona muka buruk” atau “nona muka hitam”? Benar-benar dia tidak dapat menjawab, juga dia tidak mengerti mengapa suara nona itu menggores dalam-dalam di hatinya dan kesan satu-satunya di dalam hati adalah bahwa nona Hui Kauw adalah seorang nona seperti bidadari!

“Cui Bi……. ah, Bi-moi……. kau bantulah aku……. kenapa hatiku begini lemah?” gerutunya beberapa kali dan setelah dia mengerahkan kenangannya kepada mendiang kekasihnya itu, perlahan-lahan terusirlah kenangan tentang Hui Kauw dan bangkit kembali kegembiraannya.

Sejam kemudian orang sudah dapat melihat orang muda buta ini berjalan keluar masuk hutan sambil berdendang dengan suara nyaring,

“Wahai kasih, aku di sini….”

Kalau kebetulan dia memasuki sebuah dusun, nyanyiannya terhenti dan diganti terikan-teriakan nyaring,

“Usir penyakit…….. sembuhkan penyakit……! Jika diantara saudara ada yang sakit, cobalah beri kesempatan kepada saya untuk memeriksa dan mengobati! Biaya sesukanya, serelanya, cuma-cuma bagi si miskin!”

Ucapan ini dia ulangi dan dengan cara inilah Kun Hong tidak sampai kehabisan bekal di perjalanan. Banyak orang-orang kaya yang membalas budinya dengan hadiah banyak uang emas dan perak, akan tetapi banyak pula yang hanya membalas dengan ucapan terima kasih, malah tidak kurang jumlahnya mereka yang tidak saja menerima pemeriksaan cuma-cuma malah yang obatnyapun dibelikan oleh Kun Hong!

Tiga hari semenjak dia meninggalkan Loan Ki, Kun Hong berjalan memasuki sebuah dusun di kaki gunung. Begitu telinganya mendengar suara orang-orang dusun, dia segera meneriakkan penawarannya untuk mengobati orang-orang yang sakit.

Seperti biasa di setiap tempat yang dia datangi, teriakan ini selalu disambut ejekan dan cemooh dan selalu orang tidak mau percaya kepadanya sampai ada bukti dia menyembuhkan seorang sakit. Wah, mana bisa orang buta menyembuhkan orang sakit, ejek mereka. Masih begitu muda lagi, tentu hanya tukang tipu kata yang lain. Malah ada yang secara mengejek menyakitkan hati berkata,

“Mata sampai buta tidak bisa menyembuhkan, masih tak tahu malu hendak mengobati orang lain!”

Sekarang juga di dalam dusun itu, tak seorangpun menghiraukannya kecuali beberapa orang anak nakal yang mengikutinya sambil tertawa-tawa menggoda, malah ada yang meniru teriakan-teriakannya. Namun, seperti biasanya Kun Hong hanya tersenyum sabar, semenjak dia kehilangan Cui Bi dan kedua biji matanya, kesabarannya menebal.

Memang luar biasa sekali besarnya kesabaran Kun Hong, dan amatlah mengharukan ketika ada beberapa orang anak nakal menggunakan batu-batu kerikil menyambitinya, dia berhenti berjalan, menengok kearah anak-anak itu dan berkata dengan suara halus tapi penuh peringatan.

“Anak-anak, senangkah hati kalian bisa mengganggu seorang buta? Kalian senang, akan tetapi yang kalian ganggu belum tentu senang. Anak-anak, coba kalian meramkan mata sejenak dan bayangkan keadaan seorang buta. Andaikata kalian tiba-tiba menjadi buta, tidak bisa memandang wajah ayah bunda kalian……. kemudian kalian……. kalian diganggu oleh anak-anak seperti sekarang ini, bagaimana rasa hati kalian?”

Ucapan ini halus dan sama sekali tidak mengandung kemarahan, akan tetapi langsung menusuk jantung anak-anak dusun itu. Memang jauh bedanya bocah dusun dengan bocah kota. Bocah dusun belumlah terlalu rusak oleh keduniawian, batinnya masih cukup bersih dan mudah mereka menerima hal-hal yang langsung menyinggung perasaan. Oleh karena ini, ucapan halus ini rnembuat mereka sejenak berdiam. Malah diantara mereka mulai saling menyalahkan karena mengganggu seorang buta.

Kun Hong girang sekali, tertawa dan mengeluarkan beberapa keping uang tembaga,
“Anak-anak baik, aku si orang buta tidak punya apa-apa, hanya ada uang kecil ini bagi-bagilah rata diantara kalian.”

Anak-anak itu semua adalah anak-anak dusun yang miskin. Tentu saja mereka menjadi girang sekali dan bersorak-sorak menerima hadiah yang sama sekali tidak tersangka-sangka itu.

Yang paling besar maju menerima uang dari Kun Hong dan dibagi-bagilah uang itu merata. Diam-diam Kun Hong kagum dan girang. Biarpun nakal seperti lajimnya anak-anak lelaki tanggung, namun ternyata bahwa mereka itu rukun dan jujur, terbukti ketika uang-uang dibagi tidak terjadi keributan.

“Paman buta ini baik sekali!” berteriak seorang anak kecil.

“Hari ini hari baik!” kata yang lain. “Kita bertemu dengan kakek tua hampir mati di kuil rusak, kemudian dengan paman buta ini. Kalau banyak orang seperti mereka berdua, alangkah senangnya hidup kita!”

Kun Hong tertarik lalu mendekat.
“Anak-anak yang baik, siapakah kakek tua hampir mati?”

“Dia seorang kakek tua, tinggi besar seperti raksasa, tapi dia menderita sakit dan hampir mati. Biarpun hampir mati, dia amat baik, membagi-bagikan barang dan uangnya kepada kami!” kata seorang anak.

“Apakah dia tidak punya keluarga? Kenapa tinggal di kuil rusak?” Kun Hong mendesak, hatinya terharu.

“Dia bilang tidak punya keluarga, sebatangkara dan kuil rusak itu memang tidak digunakan lagi. Dia luka-luka, yang paling hebat luka di tengkuknya, ihhh banyak sekali darahnya keluar.”

Kun Hong segera memegang tangan anak itu, begitu cepat sehingga bocah itu kaget. Tak seorangpun diantara mereka ingat betapa anehnya seorang buta dapat menangkap tangan anak itu seperti dapat melihat saja.

“Anak baik, hayo kau antarkan aku ke kuil itu,” katanya.

“Mau apa kau kesana? Dia berpesan supaya orang jangan mengganggunya,” anak itu ragu-ragu.

“Aku bisa mengobati luka-lukanya, siapa tahu bisa menyembuhkannya.”

“Wah, baik sekali ini!” Anak-anak itu bersorak. “Bawa dia kesana, dua orang yang baik hati bertemu dan berkumpul. Paman buta kalau betul bisa menyembuhkannya, tentu dia senang hati!”

Beramai-ramai tujuh orang anak itu mengantarkan Kun Hong ke sebuah kuil rusak yang berada di luar dusun, sunyi dan tak pernah didatangi orang kecuali anak yang suka bermain-main di tempat sunyi seperti itu.






No comments:

Post a Comment