Ads

Wednesday, January 16, 2019

Pendekar Buta Jilid 024

“Buntalan pakaian sudah kubawa, mahkota sudah kupakai. Bagaimana kita akan naik?”

Sesekali Kun Hong tak pernah menduga di dalam hatinya bahwa ucapan-ucapan yang bersifat kelakar baginya itu ternyata mendatangkan kesan luar biasa bagi Loan Ki, membekas amat dalam dihatinya.

“Kau duduklah di pundak kananku, pedangmu siap menghalau perintang diatas. Aku akan merayap naik.” Kun Hong lalu berjongkok untuk memudahkan Loan Ki duduk di pundaknya.

Tapi gadis itu tidak segera duduk. Dengan mata terbelalak kagum gadis itu memandang Kun Hong. Ia tahu bahwa agaknya si buta ini hendak mempergunakan Ilmu Pek-houw-yu-chong yang mengandalkan ginkang dan Iweekang yang amat tinggi sehingga membuat orang dapat merayap seperti seekor cecak pada dinding yang terjal.

Kalau si buta ini sudah dapat melakukan ilmu ini, berarti bahwa tingkat kepandaian si buta ini jauh melampauinya, malah jauh lebih lihai daripada ayahnya sendiri, Sin-kiam-eng!

Di samping kekaguman ini, juga jantungnya berdebar-debar mengingat bahwa ia harus duduk diatas pundak orang, suatu perasaan yang belum pernah ia rasai sebelumnya dan Hal ini tanpa ia sadari disebabkan oleh kelakar pujian tadi.

Iapun maklum mengapa pemuda buta itu menyuruh ia duduk diatas pundaknya. Memang hanya itulah jalan satu-satunya yang paling baik. Dengan duduk di pundak, selain ia dapat ikut “membonceng” naik, juga ia bertugas sebagai mata pemuda itu, dengan mahkota diatas kepala itu sebagai pengganti obor penerangan, memang begini lebih aman daripada si buta itu harus merayap naik seorang diri, sungguhpun harus diakui bahwa untuk dapat mempergunakan Ilmu Pek-houw-yu-chong dengan diboncengi pundaknya, benar-benar merupakan hal yang luar biasa sekali.

“Hayo, lekas kau duduk, tunggu apa lagi?”

Kun Hong bertanya heran ketika belum juga Loan Ki duduk di pundaknya. Tanpa berkata apa-apa gadis itu lalu duduk diatas pundak kanan Kun Hong yang segera bangkit berdiri.

“Hati-hati jangan banyak bergerak, tapi awas melihat rintangan diatas,”

Mulailah Kun Hong merayap keatas. Memang hebat tenaga dalam pemuda buta ini, dengan punggungnya menempel dinding, dia menggunakan tangan kanan dan kedua kaki untuk merayap naik, kedua kakinya bergantian mendorong dinding sebelah depan, tangan kanannya mencari pegangan batu menonjol untuk menarik tubuhnya keatas, sedangkan punggungnya dipergunakan sebagai alat penahan tubuhnya supaya tidak merosot ke bawah! Tangan kiri yang memegangi tongkat tetap siap menjaga datangnya bahaya serangan.

Kagum sekali Loan Ki. Sedikit demi sedikit mereka naik dan akhirnya sampai juga ke pinggiran sumur. Dengan girang Loan Ki melihat bahwa disitu tidak ada ular. Ia lalu meloncat keluar, dan menarik tangan Kun Hong untuk membantu pemuda ini keluar pula, bantuan yang sebetulnya tidak perlu bagi pemuda lihai itu.

“Tidak ada ular disini…….” bisik Loan Ki. “Entah kemana mereka pergi.”





“Agaknya ular-ular itu takut kepada cahaya mutiara Ya-beng-cu, Ki-moi. Bagus sekali, dengan mahkota ini kita akan keluar tanpa khawatir diganggu ular-ular berbisa itu.”

“Kalau begitu mari kita keluar sekarang juga, Hong-ko. Kita mencari tempat istirahat lain, tadi kita telah tersesat memasuki tempat ini.”

Mereka lalu merangkak keluar, Loan Ki yang mengenakan mahkota merangkak di depan. Batu penutup lubang disingkirkan dan benar saja tidak ada ular berani menghadang mereka. Agaknya ular-ular itu ketakutan melihat cahaya mutiara itu dan pergi meninggalkan lubang.

Setelah tiba di luar, Loan Ki meloncat turun, diikuti oleh Kun Hong. Girang hati mereka mendapat kenyataan bahwa disitu sunyi sekali, tak tampak seorangpun manusia. Dan lebih girang lagi hati Loan Ki melihat adanya bulan yang cukup terang di angkasa. Begitu menginjak tanah dan berada di udara terbuka, kedua orang muda ini merasa nyaman sekali sehingga berkali-kali mereka menarik napas panjang, menyedot hawa seperti orang kehausan mendapat minum air segar!

“Hong-ko, bulan bersinar, aku dapat melihat jalan. Lebih baik kita tinggalkan daerah ini.”

Kun Hong tidak membantah dan demikianlah di bawah sinar bulan tiga perempat itu kedua orang muda ini dengan hati lapang meninggalkan tempat yang penuh pengalaman mengerikan tadi langsung menuruni puncak yang penuh batu karang.

Kurasa tidak baik kita berkeliaran di malam hari, apalagi tempat ini agaknya mengandung banyak rahasia. Lebih baik kita mengaso malam ini dan besok pagi kita berusaha keluar dan kembali ke daratan.

“Mana ada tempat bermalam yang baik di tempat ular ini, Hong-ko?”

“Paling baik diatas pohon besar. Bahaya satu-satunya hanya ular, akan tetapi dengan adanya mahkota pusaka itu, kita tak usah khawatir.”

Demikianlah, dua orang muda itu meloncat keatas pohon besar, memilih cabang besar yang enak diduduki dan beristirahat melewatkan malam. Kun Hong duduk bersila diatas cabang pohon, tak bergerak seperti patung.

Tahu bahwa orang muda yang sakti itu duduk bersamadhi, Loan Ki tidak mau mengganggunya, hanya memandang bayangan orang buta itu dengan penuh kekaguman. Berkali-kali ia mendengar bisikan hatinya sendiri,

“……. sayang matanya buta……. sayang dia buta……. sayang…….”

Ia merasa jengkel akan bisikan perasaan ini karena ia benar-benar tak mengerti mengapa ia merasa sayang akan kebutaan Kun Hong.

“Orang seperti dia tidak seharusnya dikasihani,” ia menghibur diri, “biarpun buta, dia melebihi sepuluh orang pendekar melek (dapat melihat)…….”

Akhirnya ia tertidur juga diatas cabang pohon. Seorang ahli silat tinggi seperti Loan Ki memang tidak khawatir akan terjatuh di waktu tidur, karena ia sudah terlatih akan kebiasaan ini dan sudah banyak ia merantau dan seringkali tidur di dalam hutan seorang diri.

**** 024 ****





No comments:

Post a Comment