Ads

Monday, January 14, 2019

Pendekar Buta Jilid 019

Berdebar jantung Kun Hong. Teringat dia akan semua pengalamannya di puncak itu, tentang Cui Bi apalagi. Dia termenung sejenak. Bagaimana dia tidak akan tahu tentang hal itu? Dia sendiri berada disana, malah dia mengambil bagian terpenting (baca Rajawali Emas).

“Aku tahu……. aku hadir disana…….” Dia cepat menambah untuk menghilangkan. “Aku bersama ayah ibuku…..” Akan tetapi dia segera teringat bahwa tidak perlu dia menyebut-nyebut ayah bundanya.

“Twako, siapa ayahmu? Tentu tokoh hebat…….”

Sudah terlanjur bicara, Kun Hong tak dapat mundur lagi.
“Ayahku adalah Kwa Tin Siong, ketua Hoa-san-pai.”

Gadis itu segera meloncat lagi keatas.
“Walah! Kiranya putera Hoa-san-ciang-bunjin (ketua Hoa-san-pai)! Maaf……. maaf, ya, Twako? Kiranya kau seorang besar, keturunan jagoan, putera seorang ketua Hoa-san-pai yang terkenal!”

“Hush, jangan melebih-lebihkan, malah kuminta, jangan kau menyebut-nyebut nama keturunanku. Aku sudah menjadi seorang buta, miskin dan hidup sebatang-kara, aku tidak suka nama keturunanku dibawa-bawa. Kau jangan menyebutku Kwa-twako lagi.”

“Habis harus menyebut apa? Namamu Kwa Kun Hong……. hemm, baiknya kusebut Hong-ko (kakak Hong) saja. Bagus, kan?”

Kembali jantung Kun Hong berdebar. Mendiang Cui Bi kekasihnya dahulu juga menyebutnya Hong-ko, dan suara gadis ini begitu mirip suara Cui Bi, seakan Cui Bi belum mati dan kini berada di sampingnya!

“Sesukamulah,” dia mengusir kenangan yang mengganggu hatinya itu, “tapi kau sendiri belum memperkenalkan namamu.”

Gadis itu tertawa riang.
“Hong-ko, namaku buruk sekali. Aku lebih suka dipanggil Bi-yan-cu…….” Nada suaranya manja.

Kun Hong juga tersenyum lebar.
“Apa kulitmu hitam?”

“Siapa bilang hitam? Kulitku putih kuning, malah ayah bilang kulitku amat bagus dan sehat, tidak seperti kulit gadis-gadis kota dan puteri-puteri istana yang pucat-pucat kekurangan darah. Lihat lenganku ini……. eh, kau mana bisa lihat! Kenapa kau mengira kulitku hitam, Hong-ko?”

Biarpun matanya tak dapat melihat, Kun Hong dapat membayangkan betapa gadis itu memandangnya dengan bibir yang mungil cemberut.

“Aku ingat bahwa burung walet (yan-cu) bulunya hitam, dan sepanjang ingatanku, tidak ada burung walet yang cantik. Maka julukanmu Bi-yan-cu (Walet Cantik Jelita) amat tidak cocok kalau kulitmu tidak sehitam bulu burung walet. Nah, kurasa betapapun buruknya namamu, tidak akan seburuk julukanmu.”

“Wah, kau pandai mencela, Hong-ko. Awas, lain kali kuminta kau mencari julukan baru untukku. Namaku sebetulnya adalah Tan Loan Ki. Nah buruk, kan? Seperti nama laki-laki.”

“Tidak buruk. Nama Loan Ki manis benar, juga julukanmu itu sebenarnya sudah tepat, mengingat bahwa kau memiliki gerakan yang lincah dan cepat seperti burung walet. Siauw-poi (adik kecil), mulai sekarang aku akan menyebutmu Ki-moi (adik Ki), boleh kan?”

Tiba-tiba mereka berhenti bicara karena terdengar seruan orang dari jauh,
“Betina liar itu tentu takkan lari jauh!” terdengar suara seorang wanita yang serak.

“Hemm, kalau kutangkap ia, akan kujadikan bakso. Anak kurang ajar itu!” Sambung seorang laki-laki yang suaranya besar.

Kun Hong mengerutkan keningnya. Otaknya yang cerdas segera menghubungkan sebutan “betina liar” tadi dengan Loan Ki.

“Ki-moi, kau tertawa mengejek! Siapa mereka dan mengapa marah-marah?”





“Dasar pelit!” Gadis itu mengomel. “Kehilangan nasi dan masakan begitu saja mencak-mencak seperti merak kehilangan ekor.”

“Wah, jadi yang kita makan tadi…..” Kun Hong berseru kaget.

“Heh-heh, barang curian tentu. Habis dari mana kalau tidak mencuri?” enak saja jawaban ini. “Kau menyesal, Hong-ko? Nah, kau muntahkanlah kembali.” Ia lalu tertawa-tawa menggoda.

“Jangan main-main, Ki-moi. Kurasa dua orang yang datang ini bukan bermaksud baik dan mereka mempunyai kepandaian yang tak boleh kau pandang ringan begitu saja!”

Baru saja Kun Hong mengeluarkan kata-kata ini, dua orang itu sudah tiba disitu dan terdengar bentakan yang perempuan.

“Nah, ini dia si bocah liar bersama seorang buta!”

Yang laki-laki membentak,
“Gadis kurang ajar, kembalikan makanan dan arak tadi…….” dia berseru kaget melihat mangkok-mangkok dan arak yang sudah kosong, “Wah, celaka si keparat, sudah disikat habis!”

Kun Hong hanya dapat menaksir keadaan dua orang yang datang itu dengan pendengarannya. Laki-laki itu sedikitnya berusia empat puluh tahun dan si wanita sukar diduga karena suaranya serak dan kasar, akan tetapi tentu tidak lebih muda daripada yang laki-laki. Gerakan kaki si wanita itu ringan membayangkan ginkang yang tinggi sedangkan derap kaki yang mengandung tenaga Iweekang membuat tanah di sekitarnya seperti tergetar.

Akan tetapi Loan Ki yang melihat dua orang itu mendapat kesan yang lebih mengagetkannya. Wanita itu berpakaian serba hitam dengan tambalan kain lebar berwarna putih ditalikan di leher menggantung ke bawah. Mukanya penuh bopeng (burik), rambutnya masih hitam dan disisir rapi. Matanya besar sebelah dengan pandangan galak, sedangkan tangan kanannya memegang sebuah senjata besi yang aneh bentuknya, bergagang dua dan ujungnya runcing. Kiranya itu adalah sebuah penjepit arang yang biasa dipergunakan di dapur untuk mengambil arang, tangan kirinya memegang sebuah kipas dapur yang lebar dan bergagang besi pula. Memang aneh kedua alat dapur ini karena ukurannya selain lebih besar daripada biasa, juga terbuat dari besi yang kelihatan kokoh kuat mengerikan.

Adapun laki-laki itu yang juga berpakaian serba hitam, memakai ikat kepala kuning, matanya lebar seakan-akan hendak meloncat keluar dari tempatnya, tubuhnya tinggi besar mukanya hitam, kedua lengan tangannya yang tak berbaju penuh bulu hitam. Tangan kanannya memegang sebuah pisau pemotong babi yang lebar dan mengkilap saking tajamnya seukuran golok tapi bentuknya persegi.

Loan Ki adalah seorang anak perempuan yang semenjak kecilnya hidup di dunia kangouw dan sudah banyak bertemu dengan orang-orang aneh. Karena itu munculnya dua orang ini tidak mengagetkannya, juga suara mereka tidak membuat ia gentar, bahkan ia tertawa ketika berdiri dan menyambut mereka dengan suara mengejek.

“Kalian ini dua orang kasar datang-datang marah tidak karuan membuka mulut menyemburkan kata-kata kotor, sebetulnya hendak mencari siapakah?”

Akan tetapi dua orang itu tidak menjawab, saling pandang dan memandang kearah mangkok-mangkok kosong, lalu membanting-banting kaki, memaki-maki,

“Keparat, anjing-anjing kelaparan! Dihabiskannya semua, celaka. Twa-nio (nyonya) akan memukuli kepalaku sampai bengkak-bengkak karena arak seperti itu sudah habis dari simpanan. Aduh, celaka dua anjing kelaparan!”

Laki-laki muka hitam itu berteriak-teriak, matanya makin melotot ketika dia memandang ke arah Loan Ki.

“Dan aku……. ah, aku yang kasihan……. dari mana aku harus mendapatkan ikan emas itu setelah ang-sio-hi tinggal tulang-tulang ikan saja? Mampus aku kalau sio-cia memaksa aku menyelam di telaga untuk memperoleh ikan baru…… celakanya, sio-cia takkan mau sudah kalau belum kudapatkan ikan yang serupa dengan yang tadi.”

Setelah puas memaki-maki, wanita itu menudingkan penjepit arangnya ke muka Loan Ki.

“Hayo mengaku, kau gadis busuk. Tentu kau telah mencuri makanan dari dapurku, malah menotok roboh dua orang pembantuku!”

“Dan kau yang mencuri guci penuh arak simpanan dari pembantuku!” bentak laki-laki itu sambil mengacung-acungkan golok pemotong babinya.

Loan Ki tersenyum manis.
“Betul aku, Uwak dan Empek yang baik. Tapi ketahuilah bahwa perutku dan perut si dia ini lapar sekali. Aku sedang mencari pengisi perut kami yang kosong, hidungku tertarik oleh bau sedap dan gurih, lalu melihat masakan-masakan itu tak dapat aku menahan keinginan hatiku lagi. Maafkan saya, Uwak dan Empek, kelak kalau kalian kelaparan dan kebetulan berada di rumahku kalian boleh balas mencuri tiga kali lipat banyaknya. Aku berjanji takkan marah kalau kalian menyikat habis masakan-masakanku dari dapur rumahku. Nah, bukankah sudah adil janjiku ini?”

“Adil matamu……!” nenek itu memaki.

“Adil mukamu……. yang jelita!” kakek itupun memaki.

Kun Hong menggeleng-gelengkan kepala. Dua orang ini adalah orang-orang aneh, tapi Loan Ki benar-benar telah mengeluarkan janji yang tak masuk di akal dan seenak perutnya sendiri.

Mana mungkin pencuri di “bayar” dengan janji kalau kelak dua orang itu kelaparan boleh balas mencuri di dapur rumahnya? Tak masuk di akal dan alasan anak-anak, maka diapun lalu bangkit berdiri, menjura dengan hormat kepada dua orang itu sambil berkata,

“Jiwi Locianpwe harap sudi memaafkan kami berdua yang muda. Sesungguhnya, tadi siauwte yang kelaparan dan siauwte minta adik siauwte ini supaya mengemis makanan. Siapa kira dia tidak berani mengemis malah mencuri. Untuk hal ini, siauwte mohon sudilah kiranya jiwi Locianpwe memaafkan kami berdua.”

Dua orang itu saling pandang, wajah mereka berseri. Selama hidup baru kali ini semenjak menjadi pekerja dapur mereka menerima kata-kata yang enak sekali memasuki telinga mereka. Mereka memandang Kun Hong dan mengangguk-anggukkan kepala.

“Orang muda baik, biarlah kalau memang kau kelaparan. Paling-paling aku akan dimaki twa-nio,” kata kakek itu dengan suara sabar sekali.

“Pemuda buta yang tampan, kau amat sopan. Ikan itu dapat kucarikan gantinya dengan menjala, juga daging babi dan ayam masih banyak. Siocia dapat kubujuk. Dua orang locianpwe harus bersikap sabar, bukan begitu, Sun-laote?” kata si nenek dan kakek itupun mengangguk-angguk membenarkan.

“Hong-ko, mereka ini hanyalah seorang koki masak dan seorang tukang jagal, kenapa kau sebut-sebut mereka locianpwe segala? Wah, bisa kepala mereka menjadi makin besar dan kulit muka mereka makin tebal!” tiba-tiba Loan Ki mencela Kun Hong yang menjadi kaget sekali melihat cara temannya ini “merusak” suasana yang sudah begitu baik.

Celaka, pikirnya, benar-benar bocah setan, tidak mengerti siasat damai yang dia lakukan. Benar saja kekhawatirannya. Dua orang itu mengeluarkan seruan marah, memaki-maki lagi dan wanita itu menerjang maju, menyerang Loan Ki dengan penjepit arangnya.

Loan Ki tertawa mengejek, menghindarkan serangan ini dengan menggeliatkan tubuhnya ke belakang dan tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar kearah mukanya. Kaget juga gadis ini, karena ternyata susulan serangan kipas ini amat cepatnya. Ia menjejakkan kaki keatas tanah, tubuhnya mencelat ke belakang dan terhindar dari hantaman kipas. Di lain saat ia telah menghadapi wanita galak itu dengan pedang di tangan dan senyum simpul menghias bibir.

Kun Hong tidak senang melihat perkembangannya menjadi pertempuran. Akan tetapi karena dari gerakan-gerakan nenek itu dia maklum bahwa kepandaian Loan Ki masih jauh lebih tinggi, maka dia mendiamkannya saja, hanya berkata halus,

“Ki-moi, sesudah mencuri, jangan kau membunuh atau melukai orang! Kalau kau melanggar aku tidak mau bicara lagi denganmu!”

Loan Ki hanya tertawa lirih dan sebentar saja nenek itu menjadi bingung dan berkunang-kunang matanya. Gerakan gadis ini benar-benar lincah sehingga baginya seakan-akan gadis itu mempunyai lima buah bayangan yang mengeroyoknya dari segala penjuru!

Ilmu serangannya menjadi kacau-balau dan dengan nekat dan ngawur ia menyerang membabi-buta, menepak-nepak dengan kipas dapurnya seperti orang berusaha menepuk lalat yang terlalu gesit.

“Sun-laote, kau bantu aku menangkap bocah liar ini!” Akhirnya nenek itu berteriak minta bantuan kepada temannya.






No comments:

Post a Comment