Ads

Friday, January 25, 2019

Pendekar Buta Jilid 054

“Heh, keparat! Tua bangka gila dari mana berani merusak bambu peliharaan di Pek-tiok-lim………..?” bentak dua orang penjaga yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata pedang.

Tentu saja mereka ini marah sekali melihat betapa seorang kakek tinggi besar, sambil tertawa-tawa mencabut, menendang, dan melempar-lemparkan bambu-bambu putih di hutan itu begitu mudah seperti seorang mencabuti dan membuang-buang rumput kering saja!

Semenjak Pek-tiok-lim dimiliki oleh majikan mereka, jangankan manusia, setanpun kiranya takkan berani merusak tanaman disitu. Eh, tahu-tahu sekarang ada seorang kakek tua ini seperti seorang gila merusak tanaman dan di belakang kakek itu berdiri seorang laki-laki berpakaian mentereng yang tertawa-tawa juga.

Kakek itu bukan lain adalah Song-bun-kwi. Dia sudah mulai merusak bambu-bambu yang berada diluar hutan, dalam usahanya menyerbu Pek-tiok-lim untuk mencari Thai-lek-sin, menantangnya dan sekalian menantang pemilik hutan ini, yang menurut orang she Teng itu adalah seorang tokoh besar berjuluk Sin-kiam-eng. Sengaja Song-bun-kwi mencari perkara. Hatinya yang mengkal terbawa dari Min-san belum mencair dan dia harus mendapatkan sesuatu untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya.

Melihat munculnya dua orang penjaga yang memakinya, kakek itu diam saja seperti tak mendengar dan melanjutkan pekerjaannya merusak tanaman disitu. Tentu saja dua orang penjaga itu marah sekali. Sambil membentak dan memaki mereka menerjang kakek itu dengan kepalan tangan.

Akan tetapi biarpun tak tampak kakek itu bergerak menangkis atau memukul, tahu-tahu dua orang itu sendirilah yang terjengkang ke belakang dengan kepala benjol-benjol karena terbanting keatas tanah yang berbatu! Mereka kaget, heran berbareng marah. Sambil mengutuk keras mereka mencabut pedang.

“Kakek gila, kau sudah bosan hidup!” teriak mereka sambil menerjang, kini dua batang pedang itu menyambar dari kanan kiri.

Namun Song-bun-kwi terus saja merobohkan dan mencabuti bambu-bambu putih tanpa memperdulikan sambaran kedua pedang. Seperti juga tadi, dia tidak nampak bergerak menangkis atau mengelak apalagi memukul, tapi tahu-tahu dua orang itu terjengkang kekanan kiri dan pedang mereka terlepas dari tangan. Celakanya kini mereka jatuh menyusup ke tumpukan bambu yang sudah dicabut sehingga pakaian mereka robek semua dan tubuh mereka juga babak-bundas berdarah karena tertusuk batang-batang bambu.

“Ha-ha-ha, anjing-anjing rendah. Apa mata kalian buta berani menyerang lo-cianpwe ini? Lebih baik lekas panggil kesini majikan kalian untuk bicara.” Teng Cun Le menggunakan kesempatan ini untuk memancing keluar Sin-kiam-eng.

Dua orang itu merangkak bangun lalu tiba-tiba seorang diantara mereka meniup sebuah terompet kecil yang berbunyi nyaring. Song-bun-kwi terus saja melangkah maju sambil merusak pohon-pohon bambu dikanan kiri.

Teng Cun Le mengikuti jejak langkahnya, sama sekali tidak berani menyeleweng karena tahu bahwa disitu banyak tempat rahasia. Sebentar saja mereka telah memasuki hutan.

Tiba-tiba terdengar suara keras, tanah yang diinjak Song-bun-kwi melesak ke bawah dan tubuh kakek itu tergelincir masuk! Teng Cun Le menjadi pucat wajahnya. Baiknya tanah yang melesak kebawah itu belum diinjaknya dan tepat pinggirnya berada di depan kakinya sehingga dia dapat menyaksikan betapa tubuh kakek tinggi besar itu tergelincir.

Hebat dan ngerinya, dari bawah tanah menyambar puluhan batang bambu runcing seakan-akan dilontarkan keatas, tentu saja tubuh kakek yang sedang tergelincir itu seperti dihujani bambu runcing dari bawah!

Akan tetapi Song-bun-kwi tidak kaget, malah mengeluarkan suara ketawa mengejek. Kedua kakinya menendang kekanan kiri, lengan bajunya juga mengebut ke sekeliling tubuhnya dan ketika empat buah bambu runcing yang tepat menyambar di bawah tubuhnya sudah mendekati kaki, dia malah……….. menerima ujung bambu runcing itu dengan kedua kakinya!

Teng Cun Le hampir meramkan mata saking ngerinya karena kalau kakek ini tewas, bukankah berarti dia sendiri juga terancam malapetaka? Akan tetapi, anehnya, bambu runcing empat buah itu sama sekali tidak menembus kaki si kakek, malah seperti tangan-tangan orang mendorong kakek itu mencelat kembali keatas dan dilain saat kakek itu sudah melompati sumur besar yang terjadi karena tanah ambles itu!

Dari tepi lain, kakek itu menoleh kepadanya dan memberi isyarat supaya dia melompat. Teng Cun Le cepat menggunakan ginkang melompati sumur itu dan bergidiklah dia melihat betapa ujung-ujung bambu runcing itu tampak hitam kehijauan, tanda bahwa ujungnya diberi racun!





Kini makin tebal kepercayaannya akan kelihaian si kakek. Dia kini dapat menduga bahwa kakek itu tadi telah mempergunakan ginkang yang luar biasa sekali untuk menerima serangan bambu runcing dan rnempergunakan sebagai landasan untuk melompat keatas. Betapa hebatnya! Menggunakan landasan benda runcing untuk menggenjot tubuh keatas hanya dapat dilakukan oleh ahli-ahli silat kelas tertinggi. Diam-diam dia mulai menduga-duga siapa adanya kakek yang sakti ini dan kadang-kadang Teng Cun Le merasa bulu tengkuknya berdiri. Dia maklum bahwa dia telah memasuki pintu perjalanan yang amat berbahaya.

Belum seratus langkah mereka maju, dari depan dan kanan kiri muncullah belasan orang bersenjata pedang atau tombak. Mereka segera mengurung dan seorang diantara mereka membentak,

“Kalian berdua menyerah saja untuk kami bawa menghadap majikan kami.”

Teng Cun Le melirik dan melihat betapa orang-orang itu makin banyak saja, juga kini beberapa orang muncul di belakangnya dan sebentar saja mereka dikurung lebih dari tiga puluh orang yang dikepalai oleh empat orang yang kelihatannya gagah dan kuat. Diam-diam dia bersiap sedia dan meraba gagang goloknya.

Song-bun-kwi tertawa bergelak, lalu menoleh kepada Teng Cun Le sambil berkata,
“Kau bilang majikan Pek-tok-lim tokoh yang gagah? Huh, agaknya hanya seorang kaya yang memelihara banyak anjing-anjing pemakan tahi belaka!”

Hebat hinaan ini. Empat orang penjaga tanpa diperintah pemimpinnya lalu membentak marah dan mengerjakan tombak mereka. Mereka adalah orang pemain tombak yang kuat karena mereka menerima latihan dari majikan mereka sendiri. Ujung tombak-tombak itu tergetar saking besarnya tenaga yang menggerakkan ketika menusuk kearah Song-bun-kwi dari empat jurusan.

“Tua bangka mau mampus masih amat sombong!” bentak seorang diantara mereka.

Melihat cara mereka menerjang dengan tombak, Teng Cun Le masih berdebar gelisah karena benar-benar kali ini puluhan orang yang mengurung mereka adalah orang-orang yang kuat dan tak boleh dipandang rendah seperti halnya dua orang penyerang pertama tadi. Melihat getaran ujung tombak itu dia sendiri merasa sangsi apakah dia akan dapat menangkan empat orang lawan ini sekaligus.

Akan tetapi dengan amat tenang sambil mengeluarkan suara mendengus, Song-bun-kwi menggerakkan kedua lengan bajunya. Hebat kesudahannya. Terdengar suara pletak-pletak terpatahkannya gagang-gagang tombak itu mata tombak itu secara aneh cepat sekali menyambar kearah tuan masing-masing.

Empat orang itu memekik ngeri dan tak seorangpun diantara mereka yang dapat membebaskan diri dari serangan mata tombak mereka sendiri itu yang menancap ke dada atau perut mereka sampai tak tampak lagi. Keempatnya roboh terjengkang, berkelojotan dan sebentar kemudian tak bergerak lagi untuk selamanya.

Hebat akibat sepak terjang kakek ini. Teng Cun Le sendiri sampai mengkirik ngeri dan memandang dengan mata terbelalak. Celaka, pikirnya, tidak dinyana sama sekali bahwa kakek ini begini ganas, sekali turun tangan membunuh empat orang. Maksudnya memancing kakek itu ke Pek-tiok-lim sebetulnya hanya hendak dia “boncengi” saja, dan hendak dia pergunakan kepandaian kakek ini untuk memaksa Sin-kiam-eng mengembalikan mahkota kuno.

Siapa kira sekarang kakek itu agaknya hendak berpesta seperti tadi di restoran, kalau tadi berpesta makan minum, sekarang hendak berpesta membunuhi orang. Kalau begini caranya, kecil harapannya untuk minta kembali mahkota, karena perkelahian ini akan menjadi permusuhan hebat dan dia mau tidak mau akan terlibat di dalamnya. Celaka sekali!

Memang benar apa yang dikhawatirkan oleh Cun Le itu. Para anak buah Sin-kiam-eng menjadi kaget dan marah bukan main ketika menyaksikan tewasnya empat orang teman mereka. Sambil berteriak-teriak mereka lalu menyerbu dan dilain saat terjadilah pertempuran hebat.

Song-bun-kwi dikeroyok oleh puluhan orang, dipimpin oleh empat orang gagah itu yang hebat pula ilmu pedangnya. Akan tetapi, Song-bun-kwi melayani mereka sambil tertawa bergelak-gelak seperti seorang anak kecil mendapat permainan bagus.

Harus diketahui bahwa Song-bun-kwi ini dahulu merupakan manusia berwatak iblis yang amat jahat dan kejam di samping perangainya yang aneh, kesukaannya hanya satu, yaitu berkelahi dan mengalahkan orang lain. Maka tidak aneh kalau sekarang, dalam kemarahannya terhadap cucunya, dia pergi dengan tangan dan hatinya gatal-gatal untuk mencari permusuhan dengan siapapun juga.

Tentu saja dia kurang gembira kalau bertemu dengan lawan yang rendah tingkat kepandaiannya, dan barulah dia bergembira kalau bertanding melawan jagoan yang setingkat. Makin kosen lawannya, makin gembiralah hatinya. Karena sifat yang aneh ini pula maka dia mati-matian mencari Thai-lek-sin.

Kasihan sekali para pengeroyok itu. Mereka seperti serombongan nyamuk menyerang api. Siapa dekat dengan kakek itu pasti roboh, kalau tidak terus tewas tentu luka-luka. Siapa yang sudah roboh takkan dapat bangun untuk mengeroyok kembali karena luka yang dideritanya tentu patah tulang!

Sambil dengan enaknya membabati para pengeroyoknya seperti orang membabat rumput, kakek itu berseru berulang kali,

“Panggil si tua bangka Thai-lek-sin kesini, ha-ha-ha, dialah lawanku, panggil dia kesini……….!”

Sementara itu, Teng Cun Le hanya berdiri di belakang Song-bun-kwi, siap dengan golok di tangannya tapi dia tidak menggerakkan golok kalau tidak diserang orang. Akan tetapi para pengeroyok juga tidak ada yang menyerangnya karena melihat betapa orang ini tidak mengamuk seperti kakek itu.

Pada saat anak buah Pek-tiok-lim itu kocar-kacir dihajar kedua lengan baju Song-bun-kwi yang amat lihai, tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang amat cepat dan ringan gerakannya, kemudian segulung sinar pedang menyambar kearah Song-bun-kwi.

“Ha-ha-ha, bagus!”

Kakek itu yang terkejut sedetik, tertawa sambil cepat berjungkir balik ke belakang untuk menghindarkan diri daripada ancaman pedang yang gerakannya amat kuat ini. Girang hatinya bahwa akhirnya muncul seorang lawan yang tangguh ilmu pedangnya. Ketika dia sudah turun lagi keatas tanah, dia memandang dan melihat seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tegap bermuka tampan dan gagah, berdiri di depannya dengan sebatang pedang di tangan.

Sikap laki-laki ini gagah dan berwibawa, sepasang matanya mencorong seperti mata harimau, tarikan mulutnya membayangkan kekerasan dan keangkuhan hati, pakaiannya berbentuk sederhana namun terbuat daripada sutera halus. Sungguh seorang yang gagah perkasa nampaknya dan mudah diketahui bahwa orang dengan sikap seperti ini sudah pasti memiliki ilmu silat yang tinggi.

Sebaliknya, laki-laki itu ketika melihat wajah Song-bun-kwi, segera kelihatan terkejut dan cepat menegur,

“Kiranya Song-bun-kwi Kwee lo-enghiong yang datang! Kwee lo-enghiong, apa artinya ini semua? Mengapa kau orang tua datang-datang mengamuk dan membunuh banyak anak buah dan muridku?”

Song-bun-kwi juga kaget ketika mengenal majikan Hutan Bambu Putih ini. Tak disangkanya sama sekali bahwa yang berjuluk Sin-kiam-eng itu kiranya adalah Tan Beng Kui, kakak kandung Tan Beng San ketua Thai-san-pai. Akan tetapi sebagai seorang tokoh aneh yang tak mau kalah dan selalu membawa kehendak sendiri, dia tertawa bergelak dan berkata,

“Ha-ha-ha, kaukah majikan Pek-tiok-lim? Sungguh kebetulan sekali bertemu denganmu disini. Hayo kau suruh Thai-lek-sim si tua bangka itu keluar, biar melayani aku bertanding seribu jurus. Atau kau juga gatal tangan hendak memamerkan ilmu pedangmu? Ha-ha, kalau begitu biar aku mewakili Beng San memberi hajaran kepadamu!”

Yang amat sangat kaget hatinya adalah Teng Cun Le. Ketika mendengar bahwa kakek itu adalah Song-bun-kwi, dia merasa seakan-akan semangatnya terbang melayang meninggalkan raganya. Tentu saja dia sudah pernah, bahkan sering kali, mendengar nama Song-bun-kwi sebagai iblis yang ganas. Siapa kira sekarang dia telah main-main dengan iblis itu! Meremang bulu tengkuknya seketika karena maklum bahwa main-main dengan seorang terkenal sebagai iblis ini sama artinya dengan main-main dengan nyawanya sendiri!






No comments:

Post a Comment